“Apa Sih” Radja Jiplak APT: Senjakala Kreativitas atau Geber Cuan Instan?
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
Lagu terbaru Band Radja, “Apa Sih,” menjadi gunjingan panas netizen. Ghibah dan tuduhan kuat sebagai karya yang jelas-jelas menjiplak. Intrik ini bermula dari kesamaan mencolok intro lagu tersebut dengan “Pretty Fly” milik The Offspring, ditambah lagi dengan elemen musikal yang terdengar serupa dengan “APT” Bruno Mars dan Rosé. Tentu saja kombinasi ini sontak meletupkan polemik, “Apakah Radja benar-benar kehilangan kreativitas, atau justru tengah menjalankan strategi pemasaran yang kontroversial demi instan cuan?
Garis Tipis Interpolasi vs. Plagiarisme
Memang dalam dunia musik, keberadaan konsep interpolasi sudah diakui sebagai bagian dari sebuah proses kreatif. Berbeda dengan sampling, interpolasi menciptakan kembali bagian musik tertentu, sering kali dengan izin dan kredit resmi kepada pencipta aslinya. Contoh terbaik adalah “APT” Bruno Mars, yang menyebut Michael Chapman dan Nicholas Chinn sebagai pencipta lagu “Mickey” yang menjadi inspirasi melodinya.
Namun, kasus Radja berbeda. Hingga kini, belum ada informasi resmi mengenai pencantuman kredit kepada The Offspring atau Bruno Mars dalam lagu “Apa Sih” tersebut. Nah, jika terbukti tidak mencantumkan, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran etika bahkan hukum. Dalam hukum hak cipta internasional, seperti yang dijelaskan oleh William F. Patry dalam “Moral Panics and the Copyright Wars,” aspek niat dan pernyataan eksplisit memainkan peran penting dalam menentukan legalitas suatu karya.
Apakah Radja, yang selama ini dikenal melalui lagu-lagu bernuansa melayu-dut-pop-rock seperti “Jujur” dan “Benci Bilang Cinta,” kini terkesan bergeser ke ranah kontroversi demi sensasi. Tentu saja langkah ini membuat fans lama mereka merasa teralienasi.
Pakar kreativitas, Sir Ken Robinson dalam bukunya, “Out of Our Minds: Learning to Be Creative” menyatakan bahwa “Kreativitas membutuhkan keberanian untuk tetap relevan tanpa kehilangan identitas.” Dus dalam konteks ini, langkah Radja bisa diartikan sebagai upaya relevansi yang keliru, dimana mereka rela mengorbankan orisinalitas demi viralitas.
Blunder Marketing Kontroversial
Memang dalam dunia pemasaran, strategi menciptakan kontroversi tentunya bukanlah hal baru. Teori exposure effect yang dicetuskan oleh pakar marketing, Robert Zajonc menyatakan bahwa semakin sering suatu objek dipaparkan, semakin besar kemungkinan objek tersebut akan diingat. Masalahnya adalah apakah popularitas dengan sentimen negatif bisa menopang karier untuk jangka panjang?
Jika mengacu pada pendapat Profesor Jonah Berger dalam “Contagious: Why Things Catch On”, ia menjelaskan bahwa konten yang memicu emosi kuat, baik positif maupun negatif, cenderung lebih mudah menyebar. Namun, setelah itu ia juga memperingatkan bahwa “Sentimen negatif yang berlebihan dapat merusak kredibilitas merek, terutama jika tidak diikuti oleh konten berkualitas.”
Selanjutnya jika dilihat dari sudut pandang psikologi konsumen, loyalitas terhadap merek – dalam hal ini band – dibangun di atas pengalaman emosional yang konsisten. Maka ketika Radja memutuskan mengguncang basis penggemarnya dengan kontroversi seperti itu, yang menjadi risiko terbesar mereka adalah kehilangan pendukung setia. Fenomena ini pernah diungkapkan oleh Oliver (1999) temuan studinya yang diberi tajuk “Whence Consumer Loyalty?” yang menunjukkan bahwa kekecewaan yang signifikan dapat memicu pergeseran loyalitas konsumen ke merek pesaing.
Dari sudut pandang hukum dan etika dalam musik, pada kasus ini jika terbukti Radja tidak mencantumkan kredit kepada pencipta aslinya, maka mereka dapat menghadapi tuntutan hukum yang merugikan. Menurut pakar hukum hak cipta dari Columbia Law School, Professor Jane C. Ginsburg, “Ketidakjelasan dalam memberikan kredit tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai integritas seni itu sendiri.”
Cermin Realitas
Bisa jadi kasus indikasi penjiplakan dalam lagu baru “Apa Sih” oleh Band Radja ini adalah refleksi kompleks dari dinamika industri musik modern, di mana kreativitas sering kali berhadapan dengan tekanan pasar. Radja mungkin tidak sepenuhnya bersalah dalam konteks interpolasi, tetapi langkah ini mempertegas kesan bahwa mereka telah memasuki fase senjakala kreativitas.
“Mengorbankan seni demi popularitas sesaat mungkin memberikan popularitas singkat, tetapi kehilangan kepercayaan dari pendukung sejati akan menjadi bayaran yang mahal,” seperti yang dituliskan Seth Godin dalam “The Practice.”
Di akhir hari, Radja harus menjawab pertanyaan fundamental: Apakah mereka ingin dikenang sebagai pelopor atau sekadar penumpang gelombang viralitas?
Band Radja, saatnya menjawab, “Apa sih yang sebenarnya kalian kejar?” Tabik.[]
Sponsor