Lukisan “Tikus Garuda”: Tawa dan Air Mata Berdampingan Mengkritik Penguasa
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di tengah hiruk-pikuk realitas yang kerap mengaburkan batas antara megah dan mendung, sebuah kanvas muncul sebagai manifesto kritis penuh ironi. Lukisan berjudul “Tikus Garuda” karya Rokhyat, yang sempat menggemparkan Badri Gallery di Banjarmasin, bukan hanya sekadar karya seni visual, ia adalah cermin sinis yang memantulkan kenyataan pahit bangsa kita. Seolah-olah sang Garuda yang sakral menyembunyikan seekor tikus licik, lukisan ini dengan cerdik mengolok sistem yang seharusnya megah namun tergerus korupsi dan kemunafikan.
Dalam tradisi kritik sastrawi dan seni yang menggugah, kita sering mendengar pepatah Oscar Wilde, “Kebenaran jarang bersahabat dengan keindahan.” Namun, apakah mungkin keindahan itu justru lahir dari kegetiran realita? Rokhyat, dengan kuas dan warna, membuktikan bahwa tawa dan air mata bisa berdampingan. Ia mengundang kita untuk menertawakan keganjilan sistem—sebuah sindiran halus yang tak pernah bermaksud menyakiti, melainkan membuka mata untuk melihat apa yang selama ini tersembunyi.
Sebagaimana yang pernah dikemukakan Jean-Paul Sartre, “Keberadaan mendahului esensi.” Dalam kanvas Tikus Garuda, keberadaan tikus—simbol para koruptor yang menggerogoti kekuatan negara—ditempatkan di dalam tubuh Garuda, lambang keagungan dan kekuatan. Pesan ini menggugah kita untuk menyadari bahwa idealisme bangsa kita kerap ternoda oleh realita pahit yang selalu mengintai di balik topeng kebanggaan nasional. Tak heran jika lukisan ini mendapat perhatian panas, bahkan sampai harus diamankan agar “tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”
Dari sudut pandang teori pascastrukturalisme, makna sebuah karya tidak pernah statis melainkan selalu berubah sesuai interpretasi si penikmat. Di sinilah kekuatan satir muncul: dengan humor yang menggelitik, seni mampu menyampaikan kritik sosial tanpa harus menyudutkan secara langsung. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Salvador Dali, “Seni bukan hanya untuk dilihat, tetapi juga untuk dirasakan dan direnungkan.” Lewat sentuhan kuas Rokhyat, kita diajak untuk merenung sekaligus tersenyum getir, menyadari bahwa di balik canda tawa terdapat pesan mendalam mengenai keadilan dan integritas.

Ironi hidup memang seringkali menyamar dalam bentuk yang paling tak terduga. Lukisan ini—dengan guratan yang tajam dan simbolisme yang kental—seolah menyindir realitas di mana semboyan Bhinneka Tunggal Ika tergoyahkan oleh darah konflik dan kepentingan sempit. Seperti yang dikatakan oleh Plato, “Seni adalah cermin jiwa,” dan dalam cermin ini, kita menyaksikan bayangan kelam para pejabat dan elit yang seolah lupa bahwa negara dibangun atas fondasi kejujuran dan kerja keras.
Ironi lainnya tersaji ketika ruang pamer yang tadinya menampilkan Tikus Garuda kini digantikan oleh karya berjudul Terlahir sebagai Petarung. Mungkinkah ini pertanda bahwa dalam era kebobrokan moral, perlawanan pun harus bertransformasi dari sindiran halus menjadi pertempuran terbuka? Namun, janganlah kita lupakan bahwa kritik yang menggelitik—seperti humor yang menyehatkan—adalah obat yang lembut namun ampuh untuk melawan ketidakadilan.
Dalam catatan sejarah seni, para filsuf dan seniman telah lama menegaskan bahwa tawa adalah bahasa universal yang mampu menyatukan perbedaan. Kritik lewat seni, dengan segala kejenakaannya, justru memberikan ruang bagi dialog yang lebih manusiawi. Di tengah politik yang kerap menjadikan keseriusan sebagai tameng, sindiran cerdas seperti yang dituangkan oleh Rokhyat adalah angin segar yang mengingatkan kita akan kekuatan kritik tanpa harus menyakiti.
Akhir kata, Tikus Garuda adalah lebih dari sekadar karya seni—ia adalah renungan, canda, dan seruan untuk menyadari betapa absurdnya sistem yang kita jalani. Seperti yang dikatakan Aristoteles, “Dalam segala hal, seni adalah cermin yang memantulkan kebenaran, dan tawa adalah sinarnya yang menembus gelapnya realita.” Marilah kita terus tertawa, mengkritik, dan merangkul perubahan, karena melalui gelitik yang lembut, seringkali terbit harapan yang paling terang. Tabik. []
Sponsor