Typo pada Logo Baru Kemenkebud, Kecerobohan Kebut Semalam?
Oleh: WA Wicaksono – Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan
SENI.CO.ID — Dalam semarak acara “Echoes of Indonesian Culture” pada 13 Desember 2024, Kementerian Kebudayaan (Kemenkebud) Republik Indonesia resmi memperkenalkan logo barunya. Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan penuh kebanggaan menyebutkan bahwa logo ini merupakan cerminan dari keberagaman budaya Indonesia yang terjalin harmonis.
“Logo ini menggambarkan keberagaman budaya di Indonesia yang terjalin harmonis untuk bersama-sama menjalin kesatuan bangsa Indonesia,” ujar Fadli.
Namun, layaknya kebudayaan itu sendiri –kaya, berlapis, dan terbuka untuk interpretasi, hadirnya logo baru ini tidak luput dari sorotan publik. Jika simbol-simbol dalam logo ini adalah wastra–kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri yang mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan, contohnya batik, tenun, songket dan sebagainya, maka kritik yang dilontarkan masyarakat adalah benang-benang lain yang ikut merajut perdebatan di ruang publik.
Logo dan Filosofinya: Emas, Cokelat, dan Cerita yang Tersirat
Secara visual, logo ini memberdayakan warna emas dan cokelat. Emas, sebagai lambang kekayaan dan kesejahteraan, berpadu dengan cokelat yang menggambarkan tradisi dan kekuatan budaya. Elemen-elemen lainnya seperti lima helai ekor (Pancasila), empat sayap (keragaman budaya), dan anyaman (gotong royong) memperkaya simbolisme logo tersebut. Kekayaan makna filosofi yang mendalam ini, seakan-akan menyerupai puisi visual yang penuh makna.
Sayangnya, di balik kemegahan simbolisnya yang disajikan, ada lontaran kritik tajam yang datang dari netizen. Diinisiasi oleh seorang pengguna media sosial berakun “Gump n Hell”, ia menggarisbawahi adanya beberapa kesalahan ketik (“typo”) dalam penjelasan elemen logo yang dirilis, termasuk kata “DALIN” yang diduga kata yang benar adalah “DAUN.” “Bagaimana publik bisa menghargai budaya jika presentasinya sendiri ceroboh?” sindirnya dalam salah satu postingannya.
Pun akronim “Kemenkebud” yang dipilih, juga tak luput dari sasaran kritik. Sebagian warganet yang menyarankan agar akronim tersebut diganti menjadi “Kemendaya” yang dinilai lebih nyaman didengar. “Jangan sampai masyarakat salah tangkap dan berpikir itu singkatan dari ‘kementerian kebud semalam,” seloroh kritis salah seorang netizen.
Yang jelas, adanya kesalahan teknis dalam penyampaian informasi resmi, terutama pada peluncuran identitas visual seperti logo ini, dinilai oleh pakar komunikasi visual Laura Christina Luzar sebagai bentuk “kealpaan yang dapat merusak kredibilitas institusi.” Dalam penelitiannya, Luzar menegaskan bahwa logo yang efektif harus sederhana, mudah diingat, dan menyampaikan pesan secara jelas – kriteria yang, menurut sejumlah kritik, kurang terpenuhi dalam implementasi logo Kemenkebud kali ini.
Seni dan Politik Identitas
Ternyata di balik selarit kontroversi yang terletup tersebut, peluncuran logo baru Kemenkebud menjadi arena perdebatan yang lebih luas, salah satunya tentang bagaimana budaya direpresentasikan di tengah persimpangan tradisi dan modernitas. Memang, proses pembuatannya yang dikurasi melalui sayembara yang diikuti 3.201 peserta dari seluruh Indonesia tersebut bisa dianggap menunjukkan semangat demokratisasi dalam seni.
Reza Rasenda, sang desainer pemenang logo ini, menyebutkan bahwa motif wastra yang ia gunakan mencerminkan “semangat merajut kebudayaan dengan gotong royong.”
Namun, di sisi lain, peluncuran logo ini juga memperlihatkan bahwa estetika visual tak bisa berdiri sendiri. Ada lapisan politik identitas yang memengaruhi bagaimana publik menerimanya. Di bawah kepemimpinan Fadli Zon, yang dikenal dengan retorika kebudayaannya yang vokal, Kemenkebud tampaknya berupaya meneguhkan posisi budaya sebagai pilar kebangsaan. Tapi, apakah upaya ini sudah cukup untuk menyatukan masyarakat dalam semangat budaya yang sama?
Munculnya kritik terhadap logo ini mengajarkan bahwa budaya bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal ketelitian dan penghormatan terhadap audiens. Sebagaimana diungkapkan oleh kritikus budaya, Prof. Bambang Sugiharto, “Budaya adalah narasi yang terus hidup. Dalam setiap simbol dan representasi, ada tanggung jawab untuk menjaga cerita itu tetap otentik dan relevan.”
Jadi, pada akhirnya, logo baru Kemenkebud bukan lagi sekadar representasi visual, tetapi juga menjadi percakapan yang terus berkembang. Ia adalah simbol, sekaligus undangan untuk berdialog –-baik tentang makna budaya, maupun cara kita menghormati dan merayakannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti layaknya anyaman, kekuatan logo ini akan ditentukan oleh bagaimana ia mampu mengikat elemen-elemen yang berbeda menjadi satu kesatuan yang kokoh.***
Sponsor