SENI.CO.ID — Pekan ini Redaksi Seni menurunkan puisi dari penyair Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kali ini Puisi yang diangkat adalah tentang kehidupan, cinta dan simbolistik. Ada 5 puisi yang ditampilkan dari karya Sihar membaca ruang, metafor dan bahkan religi dan imaji Sihar pada realitas kekinian. Selamat menyimak….
***
PUISI PUISI SIHAR RAMSES SIMATUPANG
DUKA BATU
yang abadi sesungguhnya adalah kediaman batu. kelam dan terang melewati musim-musim. bercinta atau kedinginan. semua jadi tak pantas tercatat. pernah didengarnya kericik air atau sepoi angin. juga panas yang meretakkan tanah itu. lalu semua pergi dan tak melintas kembali. airmata apa yang dapat diperas dari batu. duka apa yang dibahasakannya. malam hanya separuh wajah; kedinginannya pun selalu lepas. siang hanya setengah rekah; teriknya copot lalu meninggalkan jejak keropeng saja. sudah dikelopeknya semua – bukan hanya debu atau kerak. ladang pembantaian memang nyeri: tapi sungguh, tak menyisakan rupa!
RAHASIA KOTA
hujan dan suhu dingin di kota ini adalah cara tepat untuk membungkus rahasia kepadamu. gejolak itu sudah lama terkubur oleh lembabnya dedaun. bersama gerimis atau hujan lebat, orang-orang pasti sibuk lalu lupa menyimak tentang suara resah yang pernah tersimpan di waktu silam. di pojok kota, aku bahagia, karena sajak malam ini setia mendandaniku di setiap waktu agar tak berubah. tak ingin membicarakan kenapa yang terkubur itu tetap tak berbau sama sekali; meski terus digempur oleh sisa gerimis. itulah, mengapa aku suka berkubang di udara kota ini…
SAJAK MERDEKA
di dunia maya ini, kami tak menimang atau merendahkan puisi. sebagaimana mayanya waktu, tak lagi kami takut pada pasar, jalanan, kursor layar komputer, atau kenangan yang mungkin padam ketika telepon genggam pecah dilumat si pemimpi. semaya di dalam diri, semua tereja begitu saja, sebagaimana sajak di koran yang menemani kabar pembunuhan, globalisasi, matinya tradisi dan pejabat yang korupsi. begitupun kami tak lagi galau pada puisi liris, narasi apalagi esai, juga teriak “aku galau” di iklan televisi. bromocorah sedang merobek batok kepala kami, sajak kami tetap saja berteriak, jumawa, “aku masih hidup, saudara, aku masih hidup”. telah lolos pelor itu dari batok kepala kami, dan dari perut kami yang syahdan pernah agak kempes menahan lapar. aih bisa saja, aktivis telah cedera di pigura kaca itu, masuk ke hidangan cepat sajimu, lebih dari sepuluh tahun yang lalu. tapi, sungguh Tuhan, kami tak galau sekali pun kami tak berhasil mencipta sunyi atau mimpi. sebab mata orang-orang itu sudah gagal membaca airmata, dan telinga tak lagi mampu membedakan mana tangis, mana durjana. perut kami menelan sampah dari sungai waktu, sampah yang dibawa hujan, setelah kemarau membusukan ikan-ikan. tapi kami pernah panen, serupa nelayan-nelayan asing itu. ya, kami pernah disana, walau mungkin mereka lupa. ya Tuhan, kami terlalu percaya pada puisi, sedegil dan sebajingan apa pun maknanya yang pernah ditorehkan ke muka kami bahkan sampai tubuh dan perut kami cacah karenanya, kiranya sajak itu tak pernah mencintai engkau, karena kami terlanjur meletakkannya ke tempat yang tak pernah engkau sangka: sebuah museum tua yang isinya selembar bendera merah-putih lusuh lengkap dengan tongkat pahlawan kami. dulu, berdasarkan data sejarah itu, moyang kamilah yang pernah menjahit, menetak dan meruncingkannya. sekali lagi, moyang kami. kami bahkan curiga hingga kini, orang asing itu, bahkan engkau, bukan keturunan moyang kami. wangsit moyang itu jelas tertera di mimpi-mimpi kami sejak puluhan tahun lalu – sejak kemerdekaan itu. kami yakin, tak ada nama engkau dan nama mereka disana!
MAKLUMAT POLITIK CINTA
sesungguhnya, apa yang kau harap bila sejarah itu datang kembali. lalu kematian berderap menghampirimu. sementara rohroh kawan dan saudara kita meratap di langit. dan di tiap tempat, orang melahirkan ketakutan. mantan kekasih yang telah meninggalkan dia, tibatiba datang dan berkata, “peluklah orang itu, maka zaman moyang kami segera kembali…” aku layangkan maklumat . di tengah merinding kabar bekas mempelai tua yang menawarkan almanak penuh lumut. arsip busuk dan layak dibenamkan. betapa kita merawat kotak pandora dalam segelas sirup perjamuan sambil menyeringai. ledakannya kelak memerah lebih dari cairan stroberi atau jus tomat. hei, hei, mengapa juga kau biarkan darah bersemburat. ngilu membayangkan otak dan buku bacaan kita berkarat; siapa yang sudi bila masamasa itu datang kembali. syahdan, bukankah ingin kekelaman itu punah dalam hidup kita, hai kaum rahib, kaum pujangga serta pandita tercinta. kau pinakkan apa dari orang yang bakal menggubah doa menjadi duka? tangisku adalah ratap ngilu kawan terserempet peluru, dua puluh tahun lalu. adalah duka nama yang mati di tanda tanya; sebagaimana mendiang ibu yang gagal mendapatkan jawab dari puluhan-ratusan-ribuan orang dikubur tanpa nama atau hilang tanpa nisan. kabar apa yang mau kau bawa. hendak kau harap ketakutan dan penindasan datang dari kertap gigi kaum kosong yang bersenjata ambisi dan amarah? inilah maklumat airmata bacin yang melumur tubuhku, dua puluh tahun lalu. yang kau pandang bukan apa-apa tapi senyatanya adalah kedegilanmu, hai kaum rahib, kaum pujangga serta pandita tercinta. sesungguhnya, apa yang diharap bila dentang itu terdengar lagi. seakan orang lupa bahwa kita pernah rubuh. bagaimana sejarah ambyar dan porakporanda. pada tiap tempat, sungguh, orangorang memperanakkan kebodohan. dan puisi kini siasia di tebal tembok maki durjana di tengah kota – juga di seantero negeri; maka sajak ini sungguh tak semujarab dua puluh tahun lalu.
SAJAK MUSAFIR : buat r. tono
pada kita, hanya akan ada sebuah kitab, almanak dan doa. mengantuk menunggu pembaringan di ujung jalan itu. panggung selalu siap dipadamkan, sebagaimana pena dan kertas kelak diistirahkan di meja perjamuan. lalu kita bertanya di dalam lengang, bagaimana senyum Sutradara menunggu di akhir simpang, entah berapa simpang yang membawa kita menuju awal – di saat kita berangkat. pada kita, hanya akan ada sebuah panggung, metafora dan keabadian. terjaga menunggu keberangkatan di ujung jalan itu. cerita kelak ditamatkan, sebagaimana suaramu kelak digaungkan di panggung kudus itu. lalu kita bertanya di tengah masa, bagaimana keabadian Sutradara lebih panjang dari bait dan babak. entah berapa lakon yang diantarkanNya menuju akhir – di saat kita pergi.
TENTANG JALANAN
malam masih menguntit di langkahlangkah kaki para pejalan dan gelandangan kota. melupakan langkah digital kaum kantoran yang merasa mewakili sejarah ini. sunyi dan dingin juga setia menggigil. tanpa jaket, kertap gigi dan mata pisau. di sini, biografi kota tak pernah berubah. dada kota bolong dikerikiti tikus atau kalong nyasar mencari buah menggantung di kanopikanopi apartemen. yang diam dan suci akan terbunuh. nats kaum jalanan tak pernah menjelma bunyinya; nampak sekali tuts kaum milenial dan pandita viral tak pernah sampai di kunyahan mulut mereka yang di sini. makanlah sampah dan teriaklah “bedebah” pada hidup yang tetap kejam. tak perduli pada makhluk lemah yang nyasar kemalaman; siap jadi korban, terbantai entah yang keberapa ratus kali…
*****
Tentang Penyair:
Nama lengkap, Sihar Ramses Sakti Simatupang. Lulusan Fakultas Sastra Universitas Airlangga dan Pascasarjana Pengkajian Seni Instirut Kesenian Jakarta. Pernah menjadi Redaktur Budaya di Harian Umum Sinar Harapan. Pengalaman mengajar di SMA Erudio School of Art dan Fakultas Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara. Bergabung di Perkumpulan Penulis ALINEA, Indonesian Writers Inc (IWI) dan Ikatan Wartawan Online (IWO). Karya kumpulan tunggalnya antara lain kumpulan puisi Metafora Para Pendosa (Rumpun Jerami, 2004), kumpulan cerpen Narasi Seorang Pembunuh (Dewata Publishing, 2004), kumpulan puisi Manifesto (Q Publisher, 2009), kumpulan puisi Semadi Akar Angin (Q Publisher, 2014) dan Kabar Burung Pecah di Jendela (Tarebooks, 2020). Novelnya, Lorca – Memoar Penjahat tak Dikenal (Melibas, 2005), Bulan Lebam di Tepian Toba (Penerbit Kakilangit Kencana – Prenada Media Group terbit tahun 2009 dan meraih nominasi di Khatulistiwa Literary Award 2009 juga penghargaan dari penerbit Italia, Metropoli d’Asia), Misteri Lukisan Nabila (Penerbit Nuansa Cendekia, Bandung, 2013) dan Lorca Inocencio(2017). Sedang menyiapkan novel Rumah Marsak.
*****
CATATAN REDAKSI
Media SENI.CO.ID akan menerbitkan puisi-puisi karya penyair yang kirim ke redaksi melalui email: redaksiseni@gmail.com atau redaksi@seni.co.id. Adapun puisi yang dimuat akan mendapat honorarium yang diterima penulis puisi, dikirim setelah puisi dimuat. Honorarium berupa dana yang akan di transfer sesuai jumlah puisi yang dimuat dan pasti akan dikasih bonus kopi asli pilihan sebanyak 200 gram. Terima kasih.
REDAKSI