Pop Puisi: Antologi Pink (Part 6)
KARYA Taufan S. Chandranegara
Pop Puisi Pink (Part 6)
I/
Carangan menulis kisah. Raja Dewa, terpantau media publik tengah bercengkerama
dengan Semar “Ya, cukup sudah, badai datang-badai pergi, tak pasti berlalu.”
Gunungan terbakar di angkasa, musik cadas mengguncang langit. Ra! Ra! Huru!
Hara! Mencoba menggelar risalah serupa tapi tak sama-Kurusetra? “Ho! Ho! Enak
aja! Sabar dong!” Suara Togog, ngeledek “Gue telen lu!”
II/
Kresna, memanah matahari. Begawan Ismaya, menelan rembulan, Togog, menelan
prasasti Kala Bendu, tak bakalan menguncang zaman, untuk sementara waktu, namun,
sebaliknya, megatruh jadi mainan dadu. “Sialan! Gue hajar lu”, gareng marah besar.
Gareng, mencegat musikalisasi abakadabra alap-alap berkelamin ganda. Petruk,
meretas kabut bayang-bayang mewaspadai tanda-tanda semafor “No way out. You
know! Ente mau ngoceh apa azzaaa deh, kara-ko-ko, sar-sir-sor! Bodok amat. You!
Gue sentil lu! Hih! Gemesin deh. Tutup mulut-mu, bau, belum gosok gigi.”
III/
Jagat buana, gelap gulita. Semar, kentut di angkasa! Dedel-duel! Cuaca! Porak
poranda. Batara Kala, memainkan simfoni iklim. Matahari main mata.
“Ohoi! Siapa biangkerok di balik rusuh sukma” Bimasena, telah menyerap Dewa
Ruci, mengangkat kuku pancanaka, samudera membangkitkan, gelombang
mengombak gigantik, melanda, luluh-lantak derap raksasa suara-suara sumbang
hipokrisi.
IV/
“Ajoi! Hajar! Aku lipat kedalam bumi!” Amuk Bimasena “Putra Bima! Musnahkan
begundal ini!” Melempar khianat dalam lipatan, segera digulung oleh, Anteraja,
kedalam episentrum bumi. Gatotkaca, terbang menuju kahyangan melindungi,
kebijaksanaan.
Duet sukma Raja Dewa, dengan, Begawan Ismaya, menghancurkan para neo-adu
sapi, kepalsuan, sembunyi muka, di balik lipatan kursi-kursi sang zaman, namun,
gunungan masih tetap terbakar di langit “Siapa maling sembunyi di balik api,
Kakanda?”
V/
Begawan Ismaya, membuka kitab kelahiran babad cipta Kala Bendu “Andika Raja
Dewa! Musuh kita pesulap sukma dalam bayang-bayang di balik bayangan. Bahaya!”
“Kentut lagi Kakanda!” Suara, Raja Dewa, menggelagar di angkasa.
Serupa tak berupa, Begawan Ismaya, kembali jadi Semar, mengentuti angkasa.
Jelegar! Jelegur! Angkasa meledak-ledak, berjatuhan bagai hujan meteor, para khianat
berubah rupa menjadi tuyul terkeok-keok.
VI/
Semar, kembali menembakkan kentut, para tuyul kelojotan, meledak serentak. Sirna
segala bala pembawa sial, para kesatria Pandawa, tak boleh terkecoh oleh bayang-
bayang palsu serupa dewa kahyangan, “Waspadai pakaian-kepalsuan.” Panakawan,
serentak membentengi para satria.
VII/
Di angkasa, mengalun lagu ‘here come the sun’ The Beatles, bersusulan suara merdu,
John Lennon, melantunkan ‘the war is over now’ walaupun perang hakikat terus
berkobar, wajib tetap waspada, zaman, terus menulis babad peradaban nang-ning-
nong.
Gunungan kahuripan, kokoh di layar kisah pewayangan, mewaspadai bayang-bayang
membayang berkelebatan. “Pank! Pink! Ponk! Hajar!” Gending kemaslahatan
mengangkasa.
Jakarta Indonesia, November 23, 2020