Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni-penulis.
Langit luas itu, ada, banyak angin sepoi-sepoi, ada badai, ada awan badai kumulus, di balik mendung ada panas, demikian pula sebaliknya, ada hujan ada panas-jadi embun, ada api ada asap, ada angin puting beliung, datang-pergi, kapan saja di mana saja.
Ada bencana, ada keberuntungan, perilaku ada dua kan, baik-buruk, jelek-cakep, kiri-kanan, seolah-olah saling melengkapi. Apa benar begitu? Enggak tau deh, mungkin, tergantung pada perintah dari syaraf otak di kepala makhluk hidup-manusia.
Sepintas selalu terlihat ringan, serupa iklan minuman ringan. Serupa pula dengan beragam istilah, di dalamnya mengandung atau terkandung arti, inheren, tujuannya dari kerangka pemikiran-desain.
Mau ke Pasar baru naik angkot, karena suatu hal akhirnya naik taksi. Mau beli baju jadi beli ember. Mau beli ember jadi beli mobil.
Pengaruh pada perilaku makhluk hidup tergantung pada siklus atau pola ketika itu, langsung-maupun tak langsung, waktu lampau, disadari atau tidak, terlihat tidak-namun disadari, hingga titik kulminasi tertentu-jadi keputusan, memutuskan, untuk membeli atau menjual. Mungkin, karena, makhluk hidup punya database, program natural, tekno-sains natural-di otak, berisi sejumlah sel eksak tak terhingga.
Ada berbagai ilmu, semisal, psikoanalisis, arsitektur, ilmu-ilmu sosial-merupakan ilmu temuan ras-manusia, pun berdasar pada hal sains-tekno natural, alias, sains-tekno ilahi-makhluk hidup hanya mampu sampai pada kelas meniru-tiruannya saja.
Antara lain contoh ringan, hand phone, hidup dari frekuensi-gravitasi (natural), siapa pembuat sains-tekno natural itu? Apakah makhluk hidup sekelas ras-manusia? Bener nih, mampu membuat frekuensi dan gravitasi? Yakin bisa?
Mungkin, itu sebabnya pula, ilmu dari hasil meniru-ilmu manusia bersifat dualisme, ada manfaat-ada mudarat, positif-negatif, oleh sebab-akibat, manusia hanya mampu meniru.
Sains-tekno ilahi, hanya mengenal kesimbangan, seratus persen unsur mencipta, penciptaan, baik-benar (eksak natural). Bukan bersifat destruktif-nuklir.
Hasil serapan manusia tergantung pada, apapun, jawabannya, ada, pada otak personal makhluk hidup-manusia. Kalau dunia manusia mengenal kalimat, ‘mau kemana, mau jadi apa’, dalam arena siklus serapannya-terolah di sel-sel otak personalnya. Kalau di dunia binatang, hamba tidak tahu.
Contoh lagi nih, semisal, makhluk hidup sekelas manusia, memilih kata ‘Neo’, untuk bertahan hidup, inheren untuk makan-minum, lantas memilih, semisal, ‘Neokanibalisme’, ini lebih berbahaya dari, isme, apapun.
Neokanibalisme-bersifat adaptif, bahkan bisa jadi superbunglon atau marmut, semisal, contoh lagi nih, pada ranah watak koruptif, pada oknum ras-manusia tertentu, tak pernah habis di makan zaman, di benua manapun.
Sila buktikan sendiri, sebab ini ‘analisis autodidak dari trotoar’, bukan kelas akademis atau laboratorium. Salam Indonesia Keren. Negeri para sahabat.
Jakarta Indonesia, Februari 13, 2023.