Home AGENDA Garis yang Tak Pernah Tua, karya Salim Martowiredjo

Garis yang Tak Pernah Tua, karya Salim Martowiredjo

0

Loading

Garis yang Tak Pernah Tua

ADA kesunyian yang indah di Balai Budaya Jakarta menyaksikan goresan karya Salim Martowiredjo (84) sejak awal Oktober ini. Di dinding putih yang bersih, goresan tangannya menghadirkan dunia yang sederhana namun penuh jiwa. Pameran ilustrasinya untuk cerita anak karya Sitor Situmorang ini untuk buku cerita Anak Gajah, Harimau dan Ikan  — sebuah karya yang menarik  yang terasa seperti pengakuan hidup seorang seniman yang setia pada garisnya.
Bagi Salim, melukis bukan lagi soal teknik atau gaya, tapi tentang kesetiaan pada kehidupan. Ia melukis seperti orang menulis doa. Bambang Bujono, pengamat seni rupa yang membuka pameran ini, menyebutnya dengan indah:
“Salim itu melukis seperti orang menulis doa. Ia tidak berjarak dari subjeknya. Setiap garisnya adalah bentuk kepercayaan — bukan kepada teknik, tapi kepada kehidupan.”
Dan memang, dari setiap ilustrasi — gajah yang memandang langit, harimau yang berdiam dalam sunyi, ikan yang berenang di arus lembut — kita seperti diajak kembali kepada keheningan masa kecil, saat dunia masih polos dan jujur.
Dialog Antara Kata dan Garis
Pameran ini menghidupkan kembali kisah anak-anak dari Sitor Situmorang, sastrawan yang memandang alam sebagai saudara manusia. Di tangan  Salim, teks dan gambar menjadi satu kesatuan yang utuh: kata menjadi rupa, rupa menjadi jiwa.
Kurasi pameran ini tidak berpretensi besar. Penataan ruangnya sederhana, memungkinkan pengunjung berjalan perlahan dan membaca setiap potongan cerita yang ditempel di dinding. Ilustrasi Salim berdialog dengan teks Sitor tanpa saling menenggelamkan — seperti dua teman lama yang akhirnya bertemu lagi setelah puluhan tahun berpisah.
Bambang Bujono menjelaskan atas karyanya Salim di Balai Budaya adalah rumah bagi generasi yang percaya bahwa seni adalah ingatan. “Pameran Salim ini bukan nostalgia, tapi bukti bahwa garis yang jujur tak bisa dilenyapkan waktu.”
Kesetiaan pada Hidup
Di usia senjanya, Salim Martowiredjo tidak berhenti melukis. Ia melukis seperti sedang mengucap syukur. Dalam setiap garisnya, kita menemukan kesabaran, luka, sekaligus harapan.
“Saya melukis seperti sekarang,” katanya lirih, “karena saya masih ingin hidup di dunia ini.” Kalimat itu menembus waktu. Ia seperti menegaskan bahwa seni bukan sekadar karya, tapi cara bertahan hidup.
Pameran ini menjadi ruang kecil yang memancarkan makna besar: bahwa dalam dunia yang serba cepat dan bising, kejujuran masih bisa ditemukan dalam garis tangan seorang seniman tua. Ia tak ingin menjadi penting, tapi justru karena itu — ia menjadi abadi.
Melukis seperti sekarang berarti berdamai dengan waktu, menyatu dengan masa, dan percaya bahwa seni tidak lekang oleh zaman. Salim Martowiredjo membuktikan bahwa ilustrasi bukan sekadar pelengkap cerita, tetapi bahasa jiwa yang bisa menembus generasi.
Balai Budaya Jakarta kembali menjadi ruang yang berdenyut — tempat seni berbicara lembut tapi dalam, tempat doa diucapkan lewat garis dan warna.
Dan dalam setiap karyanya, kita seperti mendengar bisikan halus:
“Selama masih ada kertas, selama masih ada cahaya, aku akan melukis seperti sekarang. dan membaca dari kisah dan teks yang disajikan” Selamat…
– Aendra Medita
Foto-foto: dok seni.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here