ESTETIKA YANG DIBUNGKAM
CERPEN Dharma Saputra Diningrat
DI sebuah kota yang sibuk dengan wacana seni dan perubahan sosial, ada seorang guru bernama Raka. Ia bukan sekadar pengajar, melainkan pemikir yang menggagas konsep estetika yang penuh makna—suatu pandangan bahwa seni harus tumbuh dari keragaman, bukan dipaksa dalam satu bentuk.
Salah satu muridnya yang semi cerdas adalah Ayuningsih, seorang gadis yang dulu selalu duduk di barisan depan, mencatat dengan penuh semangat setiap gagasan gurunya.
Dulu, Ayuningsih adalah murid yang kritis. Ia mengagumi cara Raka membongkar tatanan lama yang membelenggu seni.
Tapi waktu berlalu, keadaan berubah. Ayuningsih kini adalah seorang pejabat tinggi di institusi budaya itu. Ia punya kekuasaan untuk menentukan arah kebijakan seni di lembaga itu.
Namun, alih-alih meneruskan gagasan gurunya yang cerdas akan konsep-konsep, Ayuningsih justru menerapkan aturan-aturan ketat yang membatasi ekspresi seni.
Suatu hari, Raka menerima kabar bahwa sebuah sajian seni yang digagasnya selama bertahun-tahun tiba-tiba dilarang.
Alasan resminya: “Tidak sesuai dengan visi kebudayaan yang dicanangkan pemerintah.” Raka tahu siapa yang ada di balik keputusan itu. Ia menemui Ayuningsih di kantornya.
“Aku mendengar kabar buruk,” kata Raka dengan nada tenang, tapi matanya tajam.
Ayuningsih tersenyum tipis. “Bukan kabar buruk, Guru. Ini tentang keteraturan. Seni butuh aturan agar tidak liar.”
“Lalu bagaimana dengan estetika penuh makna? Apa kau lupa bahwa seni adalah kebebasan?”
Ayuningsih berhadapan dengan dingin. “Aku tidak lupa, Guru. Tapi sekarang aku bertanggung jawab atas kebudayaan lembaga ini. Aku harus memastikan seni berjalan sesuai dengan visi pembangunan.”
Raka menatap muridnya lama. Ia melihat sesuatu yang dulu tak ada di mata
Ayuningsih: ketakutan. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan. “Kau seperti Ken Arok,” kata Raka akhirnya.
Ayuningsih mengernyit. “Maksudmu?” “Kau dulu muridku. Sekarang kau mengambil posisi atas dan membungkam suaramu sendiri, seperti Ken Arok membunuh Tunggul Ametung demi tahta.
Kau pikir kau membangun peradaban, tapi sesungguhnya kau hanya mengulang sejarah.”
Ayuningsih terdiam.
Hari itu, Raka pergi tanpa mendapat jawaban yang pasti.
Namun, ia tahu, murid yang dulu ia banggakan telah memilih jalannya sendiri.
Dan seperti sejarah yang selalu berulang, seorang murid yang lupa pada gurunya akan segera menghadapi pelajaran hidupnya sendiri.***
Sponsor