Home COMMERCIAL ART Semiotika “Indonesia Gelap” dalam Logo Danantara

Semiotika “Indonesia Gelap” dalam Logo Danantara

0
IST
Logo Danantara Indonesia | IST

Loading

Semitotika “Indonesia Gelap” dalam Logo Danantara

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono* 
Di dunia bisnis dan juga pemerintahan, logo bukanlah sekedar gambar visual yang estetis semata. Ia merupakan wajah, janji, dan identitas dari jenama, perusahaan, lembaga atau bahkan negara itu sendiri. Tentu saja logo yang kuat diharapkan dapat menanamkan kepercayaan, membangun koneksi emosional, dan memberikan kesan pertama yang tak terlupakan, dan berkelanjutan. Lihat saja, Nike dengan swoosh-nya, Apple dengan buah apel tergigitnya, dan McDonald’s dengan lengkungan emasnya —- tentunya semua itu lebih dari sekedar desain, mereka adalah ikon global.
Ketika sebuah entitas baru lahir, logo adalah pernyataan pertama kepada dunia. Ia harus mencerminkan nilai-nilai yang ingin dijunjung, harapan yang ingin diwujudkan, dan arah yang ingin dicapai. Namun, apa yang terjadi ketika logo justru menghadirkan pesan yang tak diinginkan?
Ada Indonesia Gelap di Logo Danantara
Ketika pemerintah Indonesia meluncurkan Danantara, harapan besar disematkan pada entitas ini. Didesain sebagai kekuatan baru dalam pengelolaan investasi strategis negara, Danantara diimpikan menjadi pilar kokoh yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam presentasi dan pernyataan resmi yang telah dilakukan sejauh ini, optimisme terpancar —-Danantara akan menjadi jembatan menuju masa depan yang lebih cerah, lebih berdaulat, dan lebih sejahtera.
Namun, di balik semangat dan narasi yang menggema, dibalik harapan, mimpi dan cita-cita yang dibawa, ternyata saya melihat ada satu ironi yang mestinya terasa mencolok yaitu pemilihan warna hitam sebagai latar belakang logo Danantara. Sebuah warna yang bukannya melambangkan kebangkitan, menurut saya pribadi justru berpotensi menjadi simbol dari sesuatu yang lebih suram.
Kita seharusnya tahu, dalam dunia branding, warna bukan sekadar estetika. Ia adalah bahasa visual yang berbicara langsung ke alam bawah sadar manusia. Paul Rand, desainer legendaris yang menciptakan logo IBM dan ABC, pernah berkata, “Desain adalah duta diam merek Anda.” Warna dalam sebuah logo adalah komunikasi yang tidak terucapkan, tetapi secara instan menciptakan asosiasi dan emosi dalam pikiran audiens.
Hitam, dalam konteks merek, sering kali melambangkan keanggunan, kekuatan, dan eksklusivitas. Lihat bagaimana Chanel, Rolex, dan Apple memanfaatkan hitam untuk menghadirkan citra premium dan berkelas. Namun, branding bukan hanya soal makna internal yang ingin disampaikan oleh pemilik merek, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat menafsirkannya.
Menghadapi Realitas Sosial: Hitam yang Menjadi Gelap
Di Indonesia, hitam bukan hanya warna netral. Dalam budaya Nusantara, hitam sering dikaitkan dengan kesuraman, kemisteriusan, dan bahkan duka. Dalam politik, hitam dapat melambangkan ketertutupan, otoritarianisme, atau intimidasi. Dan kini, di tengah situasi sosial-politik yang bergejolak, saya merasa hitam dalam logo Danantara bersinggungan dengan fenomena yang jauh lebih luas yaitu penegasan atas tagar #IndonesiaGelap yang digaungkan dalam berbagai aksi protes baru-baru ini.
Di jalanan dan media sosial, tagar “Indonesia Gelap” menjadi simbol perlawanan terhadap kondisi yang dianggap meredupkan harapan rakyat. Ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, isu keterbukaan informasi, dan berbagai kebijakan ekonomi yang membahas keadilannya telah membuat frase ini menjadi lebih dari sekedar metafora. Dalam atmosfer ini, kemunculan Danantara dengan logo berlatar hitam bukan lagi sekedar persoalan desain, namun bisa menjadi simbol yang tak disengaja dari ketidakpuasan rakyat.
Tak Ada Benar atau Salah dalam Kreativitas
Memang, dalam dunia seni dan desain, kreativitas selalu bersifat subjektif. Tak ada benar atau salah yang mutlak dalam pemilihan warna, bentuk, atau konsep visual. Milton Glaser, pencipta logo ikonik I ❤ NY, pernah berkata, “There are three responses to a piece of design – yes, no, and WOW! Wow is the one to aim for.” Sebuah desain bisa diterima secara luas, bisa pula memicu perdebatan. Justru, keberhasilan sebuah logo sering kali terletak pada bagaimana ia mengundang diskusi dan refleksi.
Dalam konteks logo Danantara, bukan berarti penggunaan hitam adalah sebuah kesalahan. Sebaliknya, ia bisa menjadi strategi visual yang disengaja untuk membangun kesan otoritas dan ketegasan. Namun, ketika konteks sosial dan politik ikut berbicara, menurut saya kok ada baiknya mempertimbangkan bagaimana desain tersebut dipersepsikan oleh publik. Karena branding bukan hanya tentang ekspresi kreatif, tetapi juga tentang resonansi dengan audiens.
Alina Wheeler, seorang pakar strategi merek dan penulis Designing Brand Identity, pernah menekankan bahwa “A brand is not just what it says it is. It is what the audience perceives it to be.” Dalam konteks Danantara, niat awal bisa saja positif —-memproyeksikan stabilitas, profesionalisme, dan otoritas. Namun, di tengah kondisi sosial yang sedang bergejolak, hitam bisa menjadi warna yang justru mengukuhkan narasi negatif yang tidak diinginkan.
Di dunia desain, ada banyak solusi untuk menghindari kesalahan ini. Beberapa perusahaan besar, seperti Microsoft dan Google, secara cermat menggunakan palet warna cerah dan ramah untuk membangun citra keterbukaan dan inovasi. Bahkan lembaga keuangan global yang ingin menampilkan profesionalisme memilih biru tua kehitaman dibanding hitam pekat, untuk tetap mencerminkan otoritas tanpa meninggalkan kesan yang terlalu eksklusif atau tertutup.
Dus, dalam kasus Danantara, saya kepikiran untuk mencoba solusi desain yang lebih strategis semisal:
Penggunaan warna sekunder seperti emas, biru, atau hijau untuk menyeimbangkan kesan hitam yang terlalu dominan. Gradasi atau tekstur yang lebih dinamis, agar latar belakang tidak terasa stagnan dan kaku. Eksplorasi warna gelap yang lebih adaptif, seperti biru tua atau abu-abu karbon, untuk tetap mempertahankan kesan profesional tetapi lebih komunikatif.
Sebelum Terlambat
Sebagai entitas yang ingin menjadi masa depan investasi Indonesia, Danantara seharusnya menjadi simbol harapan, bukan perpanjangan dari kegelapan yang dirasakan sebagian rakyat. Perjalanan masih panjang, dan logo bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan sebuah institusi. Namun, dalam dunia yang semakin visual, membiarkan warna berbicara tanpa strategi yang matang bisa menjadi kesalahan yang mahal.
Jika Danantara benar-benar ingin membawa cahaya bagi perekonomian Indonesia, maka mungkin inilah saatnya meninjau ulang warna yang mereka pilih untuk melambangkannya. Karena di negeri ini, warna bukan hanya warna —-ia bisa menjadi cerminan dari suatu era, entah itu terang atau gelap. tabik. []

*) Penulis adalah Pendongeng, Analis Seni Komersial dan Pencitraan

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here