'Apostle' (2025), Acrylic on Canvas (150 x 100 cm)
“Dari Mitos ke Realitas: Membaca Dilema Ikarian Alexander Chris”
SENI.CO.ID—SORE itu kota Bandung sedang diguyur hujan yang cukup lebat dan panjang, namun ada sebuah tubuh terjatuh lunglai di sebuah galeri di Bandung utara. Dialah Ikarus dengan sayap burung berbalut lilin buatan sang ayah, Daedalus yang berusaha melarikan diri dari penjara di labirin Pulau Kreta. Padahal sebelum melarikan diri Daedalus, dia sudah mewanti-wanti anaknya ; “Terbanglah di tengah-tengah, Anakku. Jangan terlalu rendah, karena ombak akan membasahi sayapmu. Tapi jangan pula engkau terbang terlalu tinggi, karena panas matahari akan melelehkan lilinnya.”
‘Fall of Icarus (2025)’, Mixed Media Sculpture, 180 x 180 x 50 cm (Putih) ‘The Projection of Icarus (2025)’, Resin Mixed Media, 180 x 180 x 50 cm ( emas)‘Fall of Icarus (2025)’, Mixed Media Sculpture, 180 x 180 x 50 cm
Tapi rupanya Ikarus yang masih muda ini malah terjebak pada sensasi terbang yang luar biasa, yaitu terbang di udara, kebebasan, dan cahaya matahari terasa memabukkan setelah terpenjara di labirin Pulau Kreta yang mengerikan, sehingga iapun melupakan peringatan ayahnya. Dan kita semua sudah sangat hafal akhir kisah dari hikayat mitologi Yunani mahsyur ini. Ikarus akhirnya terjatuh di laut.
Lalu ribuan tahun kemudian pasca Ikarus mati ada seorang anak muda asal Cianjur berusia 26 tahun, Alexander Chris, mencoba menafsirkan tragedi Ikarus dalam realita kehidupan di zaman hipermodern yang serba paradoksal ini dalam bingkai artistik penuh kegetiran.
Menurut Chris, dilema Ikarus adalah dilema kita semua. Kita seolah terkonstruksi pada impian – impian hidup yang fatamorganik.
“Apakah ingin mengejar impian setinggi-tingginya, atau yang rendah-rendah saja meski beresiko terjerembab? Atau cari jalan selamat saja. Di tengah-tengah,” ungkap Chris.
‘Shameful Thorne’ (2025), Oil on Canvas (150 x 180 cm)
Chris yang merupakan sarjana Sejarah lulusan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, tentu memiliki ethos sebagai peneliti. Dia melakukan riset cukup mendalam tentang krisis identitas manusia, termasuk dilema spritualitas dan kehidupan profan. Kurator pameran, Heru Hikayat, mengatakan Chris telah berusaha memotret realitas di zaman kini dengan baik sehingga karya – karyanya sarat dengan makna simbolik Ikarian (sebuah istilah yang dinisbatkan pada kesamaan watak Ikarus dengan manusia modern), pribadi kompleks yang bebas, ambisius, tanpa rasa takut namun penuh absurditas.
Melalui karyanya Chris seolah ingin mengulang – ulang pesan yang diberikan seorang Daedalus kepada anaknya, Ikarus. Jika hidup ingin dijalani secara baik dan selamat, tidaklah harus dengan melawan hukum – hukum alam. Pesan Daedalus seperti mencerminkan filosofi Yunani: hidup yang seimbang. Dia tidak terjebak dengan ambisi yang menjulang, tidak pula terlalu rendah namun terbebas dari rasa takut.
‘Para Penyintas #5’ (2025), Acrylic on Canvas (100 x 100 cm)‘Para Penyintas #2’ (2025), Acrylic on Canvas (100 x 100 cm)‘Para Penyintas #3’ (2025), Acrylic on Canvas (100 x 100 cm)
Karya yang paling menarik perhatian pengunjung dalam pameran di Galeri Orbital Dago, Bandung kali ini tentu patung realis Sang Ikarus sendiri. Patung Fall of Icarus seperti menjadi puncak narasi, sosok bersayap yang telah jatuh, menyisakan renungan tentang harga ambisi dan batas keberanian.
“Dilema Ikarian” mengajak kita untuk menimbang kembali makna kemajuan: apakah terbang tinggi selalu berarti bahagia, atau justru mengantarkan kita pada kejatuhan yang lain?
Karya lukis Chris tentu merupakan bagian tafsir visual dari Dilema Ikarian manusia modern. Secara teknis melukis, seperti dikatakan Heru, Chris menggunakan gaya realisme fotografis dengan detail yang nyaris membeku dan metaforis.
Kedua patung Ikarus yang ikonik itu merepresentasikan gesture final dari tragedi Ikarus, satu tentang akhir hidupnya yang tragis dengan tubuh sudah tidak berdaya lagi seolah menjadi simbol dari impian tinggi yang tidak bisa diraih. Karena itu patung diberi judul ‘The Projection of Icarus’ ini dibiarkan melayang tergantung dan dibalut warna emas sebagai metafor atas ambisi dan impian yang selalu ada di setiap peradaban manusia.
Karya ‘Shameful Throne’ yang bergaya seni lukis renaisans ingin menyampaikan pesan satire tentang ambisi kekuasaan. Yang semua orang perjuangkan. Lukisan ini menjadi terkesan paradoksal, karena hal itu jelas tidak bisa dicapai oleh Ikarus sendiri. Sebuah realita yang ingin disampaikan oleh Chris tentang bagaimana syahwat kuasa mendominasi peradaban manusia.
Secara komposisi dan teknis, karya ‘Apostle’ menjadi karya lukis yang kuat secara visual. Dari semua karya lukis yang dipamerkan ‘Apostle’ merupakan karya yang mengandung pesan spritual yang kuat. Chris pun mengerjakan karya ini dengan intensitas yang lebih kuat, baik dalam menggarap obyek lukisan dan background-nya. Sehingga yang menarik karena Chris menggunakan warna turquoise yang kuat untuk mendukung hadirnya sebuah sosok lelaki yang penuh luka. Di dalam dunia psikiatrik warna turquoise sering dipakai sebagai warna untuk terapi kejiwaan, yaitu untuk menenangkan sang pasien. Hadirnya warna yang kita kenal di sini sebagai warna hijau Toska justru dibenturkan dengan obyek manusia penuh luka. Mungkin Chris sedang berharap datangnya seorang Utusan Tuhan (Apostle) baru untuk memperbaiki dunia yang sudah diliputi syahwat saling menguasai. Entahlah …
Untuk karya seri ‘Para Penyintas’ yang berupa 4 lukisan bertema sama, Chris seolah ingin loncat ke zaman kini dengan masalah yang kurang lebih sama dengan dilema Ikarian. Meski seri Para Penyintas bukan hanya menampilkan wajah, tapi kisah hidup dan beban manusia biasa untuk bisa “bertahan”.
Ini bukan realisme sosial seperti pada era pelukis Lekra, melainkan realisme eksistensial, menyoroti kondisi batin, kehilangan arah, dan perjuangan dalam sistem modern. Dunia yang semakin paradoksal digambarkan Chris dengan kenaifan manusia modern, sebuah potret realitas sosial yang diliputi: ambisi, keterasingan, dan daya tahan manusia modern. Tokohnya adalah orang-orang yang hidup dalam sistem anonim, akrab, namun penuh dilema.
Ada yang menarik dalam pameran kali ini adalah adanya semacam keunikan , di mana seperti sang seniman melakukan pengelompokan karya dengan 3 teknik melukis yang berbeda cukup signifikan. Pertama satu lukisan dengan gaya seni renaisans yang berjudul ‘Shameful Throne’, kedua berjudul ‘Apostle’ yang lebih menggambarkan teknis melukis realisme fotografis begitu sublim, sedangkan serie ‘Penyintas’ gaya melukis Chris sedikit bergeser ke gaya comical yang paletnya lebih kasar dan namun kuat, meski tetap realis namun tidak menonjolkan efek getir.
Chris sendiri mengaku senirupa konstektual Jogyakarta cukup mempengaruhi karya-karyanya. Sebagai seniman autodidak berlatar belakang pendidikan sejarah, tentu karya seni yang ditampilkan Alexander Chris merupakan suatu hal yang menarik dan perlu diapresiasi. Kedalaman dalam menggali subject matter setiap tema karyanya akan mempengaruhi karir melukisnya di masa yang datang. Tentu jika ethos kesenimanan digabungkan dengan intensitas riset yang mendalam maka sangat terbuka peluang menghasilkan karya seni yang kuat di masa depan.***
Lucky L. Hakim (seni.co.id)
Pameran Alexander Chris di Galeri Orbital Dago, Jl. Rancakendal No.7, Cigadung, Kota Bandung berlangsung sampai 9 November 2025.