Home AGENDA “SPECTRUM OF JOURNEY ART+DESIGN” – Tafsir atas Perjalanan Estetik dan Etik Hagung...

“SPECTRUM OF JOURNEY ART+DESIGN” – Tafsir atas Perjalanan Estetik dan Etik Hagung Sihag

0

Loading

“SPECTRUM OF JOURNEY ART+DESIGN” – Tafsir atas Perjalanan Estetik dan Etik Hagung Sihag
SENI — Sebuah Spektrum yang Bernapas dari Dalam Pameran digital VirtuArts #09 yang diselenggarakan oleh BINUS Digital bersama School of Design BINUS University tidak sekadar menjadi ruang pamer daring, tetapi menjadi wahana introspektif yang menandai satu fase penting dalam perjalanan seorang pendidik-seniman: Hagung Sihag (Hagung Kuntjara Sambada Wijasa).
Pameran bertajuk “Spectrum of Journey Art + Design” ini menjadi retrospektif yang menyatukan dua dunia: seni dan pendidikan, idealisme dan praksis, spiritualitas dan profesionalitas. Ia menandai berakhirnya masa tugas Hagung sebagai Ketua Program Studi DKV Creative Advertising (2011–2025), sekaligus menjadi perayaan tiga dekade perjalanan visualnya.
Namun, di balik parade karya yang beragam — dari drawing digital, patung grafis, poster sosial, hingga fashion art — tersembunyi sesuatu yang lebih dalam: refleksi eksistensial seorang guru seni yang menyadari bahwa penciptaan adalah bagian dari pengajaran, dan pengajaran adalah bagian dari penciptaan.
VirtuArts: Ruang Virtual sebagai Ekstensi Ruh Estetika
VirtuArts, platform pameran digital yang digagas BINUS sejak beberapa tahun lalu, menjadi panggung bagi kreativitas Binusian untuk menembus batas fisik galeri. Dalam edisi ke-9 ini, VirtuArts bertransformasi menjadi ruang memori digital — semacam arsip hidup dari perjalanan intelektual dan artistik Hagung Sihag.
Ruang maya ini bukan sekadar dokumentasi, melainkan arena tafsir. Pengunjung diajak menelusuri lapisan waktu melalui karya-karya yang tertata seperti aliran sungai — setiap karya adalah fragmen dari sebuah perjalanan panjang.
Ada “Kuat Seperti Akar – Dalam Diam Terus Bertumbuh” (2021), lahir di masa pandemi, yang menjadi metafora keheningan produktif seorang seniman di tengah isolasi sosial. Ada “Save The Ocean” (2025) yang menyoroti krisis ekologi dan konsumsi plastik, seolah menegur gaya hidup urban yang rapuh. Dan ada “Sajodo Setangkep” (2025), sepasang kain umbul-umbul yang berbicara tentang keseimbangan, kesetiaan, dan rasa syukur.
Kesemuanya, bila dibaca bersamaan, membentuk peta spiritual dari perjalanan seorang desainer grafis yang tak lagi sekadar mengolah bentuk, tetapi mengolah kesadaran.
Antara Petruk dan Ekologi: Bahasa Visual yang Berlapis
Salah satu narasi paling menarik dalam pameran ini adalah figur Petruk — tokoh punakawan dalam tradisi wayang Jawa — yang berulang kali hadir dalam karya Hagung sejak 2018.
Dalam “Yen Mabur Ojo Lali Mudun” (2018), Petruk menjadi simbol kesadaran diri di tengah euforia kemajuan teknologi: terbang boleh, tapi jangan lupa turun kembali ke tanah, ke akar.

Screenshot

Di tangan Hagung, Petruk bukan lagi figur humoris, melainkan refleksi moral. Ia hadir di antara lapisan flat illustration digital, menantang pandangan modern tentang kemajuan: apakah kita sedang naik, atau justru melayang kehilangan pijakan?
Karya lain seperti “Keep Calm and Carry On – Ojo Dumeh” (2018) menafsirkan kembali semboyan perang Inggris menjadi kritik sosial khas Jawa: “ojo dumeh”—jangan sombong. Ini adalah sintesis Timur dan Barat, lokal dan global, khas gaya berpikir Hagung yang hibrid, tapi tak kehilangan akar budaya.
Sementara itu, karya “Save the Ocean” (2025) dan “Ekologi Jangan Lupe Yee” (2022) memperlihatkan kesadaran ekologis yang konsisten. Melalui teknik digital yang bersih dan komposisi yang terkendali, Hagung menegaskan bahwa isu lingkungan bukan sekadar tren, melainkan tanggung jawab visual: tugas seniman untuk menciptakan kesadaran melalui estetika.
Desain sebagai Jalan Hidup
Sebagai akademisi, Hagung Sihag memandang desain bukan sekadar alat komunikasi komersial, melainkan medium pembentukan karakter dan kebudayaan visual.
Karya-karyanya, seperti “Generasi Emas – Generasi Bangsa” (2016) dan “Soekarno Urban Bost – Exhibition” (2016), memperlihatkan bagaimana desain mampu berfungsi sebagai media ideologis — membangun semangat nasionalisme baru yang relevan bagi generasi digital.
Ia juga menggarap proyek-proyek sosial seperti “Desa Wisata Pasirmulya” (2018) dan “Setyo Budoyo” (2019), yang menghubungkan desain dengan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, desain bukan lagi ruang estetika semata, tapi alat transformasi sosial.
Di sinilah tampak keunikan Hagung: ia tak pernah memisahkan estetika dari etika. Desain, baginya, selalu harus mengandung nilai moral, kesadaran budaya, dan keberpihakan pada kehidupan.
Antara Dunia Akademik dan Dunia Nyata
Pameran ini juga membaca ulang posisi seniman-akademisi dalam sistem pendidikan tinggi seni di Indonesia. Hagung Sihag menjadi contoh bagaimana praktik profesional dan dunia akademik dapat bersinergi, bukan bertentangan.
Selama menjabat sebagai Ketua Program Studi DKV Creative Advertising BINUS, ia memposisikan kampus sebagai laboratorium eksperimental, tempat mahasiswa dan dosen bersama-sama menciptakan karya yang tidak hanya memenuhi kurikulum, tetapi juga memiliki resonansi sosial.
Karya seperti “Ini Cara Main Gue” (2018) — sebuah kampanye kreatif mahasiswa — menunjukkan bahwa Hagung memahami pendidikan sebagai kolaborasi, bukan hierarki. Ia mengajarkan bukan hanya teknik, tapi juga attitude, bukan hanya estetika, tapi juga empati.
Dalam banyak wawancara, Hagung kerap menegaskan: “Mengajar itu bukan mentransfer ilmu, melainkan menyalakan semangat.”
Pameran ini, dengan demikian, dapat dibaca sebagai api kecil yang ia tinggalkan untuk generasi berikutnya.
Medium, Materi, dan Metafora
Kekuatan pameran ini terletak pada keberagaman medium yang digunakan — dari acrylic on canvas hingga digital illustration, dari print on fabric hingga wearable fashion art.
Hagung tampak tak mengenal batas antara seni murni dan desain terapan. Ia menolak dikotomi itu.
Dalam “The Guardian of the Sea” (2024), misalnya, ia berkolaborasi dengan merek fesyen CoverMeNot dan menampilkan karya di panggung Jakarta Fashion Week. Di sini, karya seni bukan hanya untuk dilihat, tapi juga dikenakan, dihidupi, dan dipertemukan dengan tubuh.
Konsep “wearable art” ini mencerminkan pemikiran desain yang kontekstual — di mana estetika tak berhenti di dinding galeri, tapi menubuh dalam pengalaman publik.
Sementara “Kipa-Kipa” (2025), patung grafis berlapis akrilik, memperlihatkan keberanian untuk bereksperimen dengan material industri. Ia mengubah benda sehari-hari menjadi artefak visual yang memadukan unsur tradisional dan futuristik.
Hagung menggunakan material seperti besi las, stainless steel, dan stiker akrilik bukan sekadar sebagai bahan, tapi sebagai simbol ketahanan dan keabadian — mungkin cerminan atas prinsip hidupnya sendiri: konsisten, kokoh, namun tetap lentur menghadapi perubahan zaman.
Tafsir Kuratorial: Dari Dokumentasi ke Refleksi
Kurator Ardiansyah membaca pameran ini sebagai retrospektif yang bersifat retrospeksi aktif — bukan sekadar melihat ke belakang, tetapi juga menatap ke depan.
Karya-karya Hagung disusun tidak kronologis murni, melainkan tematik. Pola ini menciptakan pengalaman membaca visual yang menyerupai montase: antara karya lama dan baru saling berdialog, saling menafsir.
Sebagai penonton, kita tidak hanya melihat “apa yang sudah terjadi”, tapi juga “bagaimana seniman ini terus tumbuh”.
Inilah yang membuat Spectrum of Journey Art + Design terasa hidup — ia bukan arsip yang beku, melainkan organisme visual yang terus berdenyut.
Purna Bakti, Bukan Purna Karya
Pameran ini diselenggarakan bertepatan dengan masa purna bakti Hagung Sihag dari jabatan strukturalnya. Namun, justru di titik ini karya-karyanya menunjukkan vitalitas yang luar biasa.
Tidak ada kesan menua atau berjarak; sebaliknya, karya-karya terbaru seperti “Sajodo Setangkep Series” (2025) dan “Save The Ocean” (2025) terasa segar, penuh semangat eksploratif.
Barangkali di sinilah pelajaran paling berharga dari pameran ini: kreativitas tidak mengenal pensiun.
Hagung Sihag mengajarkan bahwa seorang seniman sejati justru semakin tajam seiring waktu, karena setiap fase kehidupan membawa kedalaman makna baru.
Membaca Nilai: Antara Akar dan Cahaya
Jika harus dirangkum dalam satu kalimat, seluruh karya Hagung Sihag berbicara tentang akar dan cahaya.
Akar adalah simbol kedalaman—tradisi, keluarga, kebudayaan lokal yang ia warisi dari sang ayah, pemilik “Studio Reklame & Lettering – Sanggar SA” di Kediri.
Cahaya adalah pengetahuan, pendidikan, dan kebaruan—hal-hal yang ia temukan dalam dunia akademik dan globalisasi visual.
Antara akar dan cahaya itulah Hagung berdiri. Ia menolak untuk menjadi “seniman global” yang tercerabut, tapi juga enggan menjadi “seniman lokal” yang tertutup.
Dalam keseimbangan itulah ia menemukan bentuknya: desainer yang berjiwa seniman, dan seniman yang berjiwa pendidik.
 Warisan Sebuah Spirit
Lebih dari sekadar katalog karya, “Spectrum of Journey Art + Design” adalah pernyataan hidup.
Ia menegaskan bahwa dalam dunia desain yang serba cepat, refleksi menjadi semakin penting. Bahwa teknologi boleh mempercepat proses, tetapi nilai hanya tumbuh dalam kesabaran.
Dan bahwa seorang guru sejati tidak diingat karena apa yang ia ajarkan, tetapi karena apa yang ia wujudkan.
Dalam salah satu halaman pengantar katalog VirtuArts, tertulis kutipan dari Jim Henson:
“Kids don’t remember what you try to teach them. They remember what you are.”
Kalimat itu seolah menjadi epitaf yang paling tepat untuk Hagung Sihag. Karena sejatinya, perjalanan seni ini bukan tentang “apa” yang dia buat, tetapi tentang siapa dia — dan bagaimana kehadirannya telah menumbuhkan generasi baru desainer dan seniman yang sadar pada akar, tanggap pada zaman, dan setia pada nilai kemanusiaan.
Data Pameran
Pameran: VirtuArts #09 – Spectrum of Journey Art + Design
Seniman: Hagung Sihag
Kurator: Ardiansyah
Penyelenggara: BINUS Digital x DKV Creative Advertising – School of Design BINUS University Oktober 2025
Media: Platform daring https://binus.ac.id/virtuarts
Jumlah karya: ±35 karya (2004–2025)
Teknik: Acrylic, digital drawing, iPad sketch, print on fabric, wearable art, mural, statue
Akhir kata Pameran ini adalah perenungan visual atas perjalanan batin dan intelektual seorang pendidik seni. Ia menunjukkan bahwa di balik layar desain dan ilustrasi, selalu ada nilai-nilai yang mengakar — nilai tentang kesetiaan, kerja, dan kemanusiaan.
Dan dalam hal ini, Hagung Sihag bukan hanya menutup kariernya dengan karya, tetapi membuka ruang baru bagi tafsir, inspirasi, dan dialog lintas generasi.Tabik

(AendraMedita)***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here