
SENI.CO.ID – Dalam upaya mengangkat suara dan aspirasi seniman perempuan, Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Puan Seni menggelar Sarasehan Seniman Perempuan di Aula PDSHB Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, pada Selasa (4/3/2025). Acara tersebut dihadiri puluhan pegiat seni dari berbagai disiplin—musik, teater, seni rupa, hingga sastra—yang menyuarakan tantangan dalam mewujudkan kesetaraan gender serta menghadapi pelecehan seksual dan intelektual dalam dunia seni.
Menampung Aspirasi dan Cerita Pahit
Sarasehan tersebut menjadi wadah bagi para seniman perempuan untuk membuka cerita pengalaman pribadi yang seringkali tersembunyi. Nadine Nadila, seorang pelaku teater, mengungkapkan pengalaman pahit yang dialaminya sejak masa sekolah.
“Saya menyesal baru mempelajari soal kesetaraan gender belakangan ini, padahal pengalaman yang mengguncang mental itu saya alami dari saat sekolah. Pencerahan-pencerahan ini harus sampai ke pelajar juga,” ungkap Nadine.

Ia menuturkan, pengalaman tersebut pernah “dilumrahkan” oleh sebagian kalangan, bahkan ada yang mengatakan, “tidak apa-apa, kalau sama sutradara itu, pasti jadi.” Nadine pun mengusulkan agar edukasi pencegahan pelecehan seksual dilakukan sejak dini, khususnya kepada pelajar yang rentan.
Isu diskriminasi tidak hanya berhenti pada aspek seksual, namun juga merambah ke ranah intelektual. Kartika Jahja dari Institute Ungu menyoroti stempel “expired date” yang kerap menimpa seniman perempuan.
“Pelecehan intelektual masih ada di bidang tertentu yang dianggap belum bisa dilakukan perempuan, seperti sound engineer. Hal ini menghambat regenerasi pegiat seni perempuan,” jelas Kartika.
Gema Swaratyagita, seorang komponis dari Perempuan Komponis: Forum & Lab, menambahkan bahwa diskriminasi semakin terasa ketika seniman perempuan memasuki fase keibuan. Menurutnya, harapan bahwa seorang ibu harus menunggu minimal dua tahun setelah melahirkan untuk berkarya membuat banyak di antara mereka berhenti berkarya secara kreatif.

Strategi Advokasi untuk Perubahan
Dalam upaya merumuskan strategi advokasi yang lebih sistematis, anggota Komite Seni Rupa dan Komisi Simpul Seni DKJ, Aquino Hayunta, mengungkapkan bahwa temuan-temuan dalam sarasehan akan dipetakan dan didiskusikan bersama Puan Seni. Hal ini menjadi langkah awal penyusunan strategi guna mengatasi permasalahan yang telah lama menghantui seniman perempuan di Jakarta.
Bendahara Puan Seni Indonesia, Irawita, juga menegaskan bahwa tidak menutup kemungkinan akan diadakan pertemuan serupa untuk menindaklanjuti hasil pemetaan dan merancang kebijakan advokasi yang lebih konkret.
Sarasehan Seniman Perempuan ini menjadi titik tolak penting dalam membuka dialog yang lebih luas tentang kesetaraan dan perlindungan terhadap hak-hak seniman perempuan. Dengan keberanian untuk berbagi pengalaman, diharapkan perubahan signifikan dapat segera terwujud, memberikan ruang yang lebih aman dan mendukung bagi perempuan berkarya di dunia seni. |WAW-SENI
