Seni, Pasar, dan Tantangan Kejujuran Ekspresi
Oleh: Aendra Medita*)
DI setiap zaman, seni selalu berdiri di persimpangan jalan: antara menjadi ruang ekspresi murni dan menjadi komoditas yang diperdagangkan. Persimpangan ini tidak hanya melibatkan seniman, tetapi juga galeri, kolektor, kurator, bahkan algoritma media sosial.
Pertanyaannya selalu sama: masihkah ada ruang bagi kejujuran ekspresi di tengah pasar seni yang semakin riuh dengan transaksi, angka, dan investasi?
Seni sebagai Napas Kebebasan Pablo Picasso pernah berkata, “Seni mengguncang jiwa dari debu kehidupan sehari-hari.” Kalimat ini mengingatkan kita bahwa seni pada hakikatnya bukan sekadar objek untuk dipajang atau diperjualbelikan, melainkan sebuah cara manusia membersihkan jiwanya dari rutinitas dan penindasan.
Namun, realitas di lapangan sering berbeda. Banyak seniman muda yang merasa terjebak dalam standar pasar: apa yang laku, itulah yang dibuat. Pola produksi massal ala pabrik kini merembes ke dunia seni rupa. Misalnya, kita melihat kecenderungan seni dekoratif yang dibuat untuk memenuhi permintaan interior modern di kafe-kafe atau hotel.
Estetika dikemas rapi, warna seragam, tapi esensi kritis nyaris hilang. Di sini muncul pertanyaan reflektif: apakah seni masih sebuah ruang kebebasan, ataukah ia sekadar dekorasi yang mengikuti arus konsumsi?
Pasar sebagai Keniscayaan Tidak adil bila pasar hanya dilihat sebagai “musuh.” Faktanya, sejak zaman Renaissance, para seniman hidup dari patronase dan pasar. Leonardo da Vinci tidak mungkin menciptakan The Last Supper tanpa dukungan patron.
Bahkan Vincent van Gogh, yang sering dijadikan simbol seniman miskin dan terabaikan, juga sangat berharap lukisannya laku di pasar. Hari ini, pasar seni global tumbuh menjadi industri bernilai miliaran dolar.
Data dari Art Basel menunjukkan bahwa penjualan seni global mencapai lebih dari USD 65 miliar pada tahun 2023. Di Indonesia sendiri, meski skalanya lebih kecil, geliat pasar seni tidak bisa dipandang sebelah mata. Lelang-lelang karya seni rupa kontemporer di Jakarta dan Bali menunjukkan peningkatan signifikan.
Pasar, dengan segala hiruk-pikuknya, memang memberi ruang hidup bagi seniman. Tetapi ia juga menuntut kompromi. Seorang kolektor mungkin lebih memilih karya yang aman dipajang di ruang tamu ketimbang karya yang menohok kekuasaan.
Akibatnya, karya-karya kritis seringkali tersingkir ke pinggiran. Tantangan Kejujuran Ekspresi Seniman besar sepanjang sejarah kerap menolak tunduk pada pasar. Wassily Kandinsky, pelopor seni abstrak, menulis dalam bukunya Concerning the Spiritual in Art (1912), bahwa seni harus lahir dari kebutuhan batin, bukan dari permintaan eksternal.
“Setiap karya seni adalah anak dari zamannya, tetapi banyak dari mereka juga menjadi ibu bagi masa depan.” Kandinsky menekankan bahwa seni sejati harus berangkat dari kedalaman spiritual, bukan sekadar dekoratif. Pandangan ini relevan bagi seniman Indonesia masa kini.
Apakah karya yang lahir hanya sekadar mengikuti selera kolektor, ataukah ia benar-benar mengandung suara zaman?
Di Indonesia, kita punya contoh keberanian kejujuran ekspresi dari seniman seperti Affandi. Ia melukis dengan energi, dengan jari dan tubuhnya sendiri, menolak batasan teknik yang kaku. Affandi sering berkata bahwa ia melukis karena “tidak bisa tidak,” karena ada dorongan batin yang terlalu kuat. Karya-karyanya bukan sekadar benda seni untuk dijual, melainkan cermin pergulatan hidupnya. Bandingkan dengan fenomena hari ini: banyak karya seni rupa kontemporer diproduksi seperti branding.
Seniman membangun persona, membuat seri karya yang mirip-mirip agar mudah dikenali pasar, lalu mengulanginya demi memenuhi permintaan kolektor. Tidak salah, karena setiap seniman berhak hidup dari karyanya. Tetapi di titik ini, kejujuran ekspresi seringkali menjadi taruhan.

Seni dan Media Sosial: Antara Demokratisasi dan Reduksi
Satu faktor baru yang memperumit situasi seni adalah media sosial. Instagram, TikTok, dan platform sejenis telah mengubah cara kita melihat dan membeli karya seni. Di satu sisi, media sosial mendemokratisasi akses. Seniman muda dari kota kecil kini bisa dikenal luas tanpa harus menembus galeri besar.
Contoh konkret adalah fenomena seniman muda Indonesia yang menjual karya langsung lewat Instagram, bahkan ada yang berhasil menembus pasar internasional tanpa perantara. Namun di sisi lain, media sosial cenderung mereduksi karya seni menjadi sekadar konten visual yang harus menarik dalam beberapa detik. Ukuran “berhasil” tidak lagi mendalam atau kritis, melainkan jumlah likes dan followers. Andy Warhol, jauh sebelum era digital, pernah berkata, “In the future, everyone will be world-famous for 15 minutes.” Kutipan ini terasa semakin nyata hari ini.
Banyak seniman yang viral sekejap, tetapi karya mereka tidak meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah seni.
Menggugat Korupsi Seni
Masalah lain yang mengemuka adalah “korupsi seni”—bukan hanya dalam arti finansial, tetapi juga korupsi makna. Seni kerap dipakai sebagai alat legitimasi kekuasaan. Pameran didukung korporasi besar bukan untuk mendukung kebebasan berekspresi, tetapi untuk membangun citra hijau, ramah lingkungan, atau “berbudaya.” Hal ini pernah dikritik oleh Banksy, seniman jalanan Inggris yang misterius.
Dalam salah satu tulisannya, ia menulis sinis, “Art should comfort the disturbed and disturb the comfortable.”
Seni, bagi Banksy, seharusnya mengusik kekuasaan, bukan menjadi alat kosmetik bagi wajah kekuasaan yang busuk. Di Indonesia, kita juga sering melihat proyek seni yang kehilangan roh, hanya menjadi aksesori bagi program CSR perusahaan atau pencitraan pejabat. Alih-alih menjadi ruang kritik, seni terkooptasi menjadi brosur.
Seni sebagai Ruang Perlawanan
Namun, tidak semua suram. Masih banyak seniman yang berani melawan arus pasar. Kita bisa menengok praktik seni komunitas yang lahir di kampung-kampung, di jalanan, atau di ruang alternatif. Contoh: di Yogyakarta, muncul kelompok seni yang menggarap mural kritis di ruang publik. Karya mereka tidak dijual, bahkan sering dihapus aparat, tetapi justru di situlah letak kekuatan: mereka mengembalikan seni kepada publik, bukan hanya kepada kolektor. Begitu pula dalam teater, kita melihat karya W.S. Rendra yang legendaris, Mastodon dan Burung Kondor (1973), yang menjadi suara perlawanan terhadap rezim. Rendra membuktikan bahwa seni tidak harus tunduk pada pasar untuk punya dampak sosial. Di kancah global, Ai Weiwei dari Tiongkok adalah contoh seniman yang tidak mau tunduk. Ia menggunakan seni sebagai kritik keras terhadap pemerintah otoriter, meskipun berulang kali ditangkap dan diasingkan. Ai Weiwei mengingatkan kita bahwa seni sejati sering lahir dari keberanian.
Seni, Pendidikan, dan Masa Depan
Bagaimana masa depan seni di tengah tarik-menarik pasar dan kejujuran ekspresi? Jawabannya mungkin terletak pada pendidikan seni. Jika pendidikan seni hanya berorientasi pada skill teknis, maka seniman baru akan lahir sebagai pengrajin pasar. Tetapi jika pendidikan seni menekankan pemikiran kritis, sejarah, dan keberanian bereksperimen, maka seniman baru bisa lahir dengan integritas. Seperti kata Joseph Beuys, seniman konseptual Jerman, “Setiap orang adalah seniman.” Baginya, seni bukan sekadar soal kanvas atau patung, melainkan tentang kesadaran kreatif yang bisa mengubah masyarakat. Pendidikan seni seharusnya melahirkan manusia yang sadar akan kekuatan kreatifnya, bukan hanya tenaga kerja industri seni.
Antara Pasar dan Integritas
Pada akhirnya, seni memang tidak bisa sepenuhnya lepas dari pasar. Seniman butuh hidup, karya butuh pembeli. Tetapi pasar tidak boleh menjadi satu-satunya arah. Kejujuran ekspresi harus tetap dijaga, meskipun konsekuensinya berat.
Seperti yang pernah dikatakan Jean-Michel Basquiat, “I don’t think about art when I’m working. I try to think about life.” Basquiat mengingatkan kita bahwa seni bukan soal memikirkan seni itu sendiri, melainkan soal kehidupan—tentang kejujuran menghadapi realitas, tentang keberanian menafsirkan zaman. Di tengah dunia yang makin pragmatis, mungkin inilah tugas seniman: menjaga agar seni tetap menjadi suara jujur manusia, bukan sekadar komoditas yang tergadai di meja transaksi. Dan nilai estetika memang bukan dalam sebuah wacana terjadi dari sebuah proses yang kuat dn konsistensi senimannya. Tabik.
*)seorang analis dan jurnalis seni.co.id