Home AGENDA Sebuah Catatan, Menteri yang Berganti, Seni Berlanjut Terus

Sebuah Catatan, Menteri yang Berganti, Seni Berlanjut Terus

0
gambar hanya pelengkap untuk tulisan pengantar kegelisahan/ist

Loading

Sebuah Catatan, Menteri yang Berganti, Seni Berlanjut Terus

Setiap kali kabinet berguncang, kabar pergantian menteri selalu menjadi headline. Nama-nama baru muncul, wajah-wajah lama diturunkan. Bahkan diungkap kisahnya. Ada pujian bahkan ada jejak rekam digital yang juga kadang “mengerikan”
Ada yang dianggap gagal, ada yang dinilai tidak sejalan, ada pula yang tersisih karena pusaran politik yang lebih besar dari dirinya. Begitulah permainan kursi kekuasaan di republik ini.
Namun, di balik gemuruh politik itu, satu pertanyaan kembali menggema: apa kabarnya Budaya kita? Budyaa Seni kita, seperti halnya rakyat kecil di pelosok, jarang sekali ditempatkan dalam pusat diskusi politik. Pergantian menteri lebih sering dibicarakan dalam konteks ekonomi, investasi, dan stabilitas. Padahal, budaya dan seni adalah jiwa bangsa, roh yang mengikat kebersamaan, dan cermin paling jujur dari dinamika masyarakat.
Jika ekonomi adalah tulang, maka budaya adalah darahnya. Tanpa seni budaya, bangsa ini akan berjalan kaku, kering, dan kehilangan rasa. Namun, setiap kali ada menteri baru di bidang apapun rame. Dan  menteri yang baru muncul menteri kebudayaan juga masih penuh perdebata karena selama ini pendidikan yang memayungi seni, kita selalu disuguhi pidato manis:
“Kami akan mengangkat seni, kami akan menjaga kebudayaan, kami akan menguatkan identitas bangsa.”
Kata-kata itu berulang sejak era orde lama, orde baru, reformasi, hingga kini. Tetapi sejarah mencatat, seni di negeri ini lebih sering dibiarkan hidup dari inisiatif seniman sendiri, bukan dari kebijakan yang konsisten.
Politik Berganti, Panggung Tak Pernah Sepi
Pergantian menteri, dalam logika politik, adalah simbol reset. Sebuah harapan baru diciptakan, sebuah janji baru ditebarkan. Tapi bagi seniman, panggung tidak pernah menunggu siapa yang duduk di kursi menteri. Teater tetap dipentaskan meski gedung reyot dan tak memadai. Pameran tetap digelar meski dana minim dan tanpa sponsor.
Penyair tetap membaca puisi meski penonton hanya belasan. Atau lebih dikit dan lentasa kucing hitam. Hmmm Seni tidak pernah tunduk sepenuhnya pada kursi yang ada silakan anad berebut.
Justru sebaliknya, seni budyaa sering menjadi pengingat bahwa kekuasaan itu fana. Seniman menulis, melukis, menyanyi, dan menari untuk merekam perubahan zaman, termasuk drama politik di dalamnya. Maka, pergantian menteri ini, sejatinya bukan sekadar peristiwa politik, melainkan juga bahan bakar baru bagi ekspresi.
Seorang perupa kawan saya (tak perlu syaa sebut namanya) mungkin sudah menyiapkan kanvas besar bertuliskan satire: wajah menteri lama dihapus, lalu dicat ulang dengan wajah menteri baru. Seorang penyair  mungkin menulis bait getir:
“Menteri pergi, janji tinggal di kertas.” Seorang musisi indie kawan saya 9tepatnya teman SMP saya)  sudah menggubah lirik tentang kursi kekuasaan yang terus berpindah, sementara kursi penonton di panggung tetap kosong. Kini dia lebih suka merekam dan menyebatrnyakannya di WA-WA Group.
Harapan Lama, Janji Baru
Seni Budaya membutuhkan keberpihakan. Tetapi keberpihakan itu jarang benar-benar hadir. Menteri baru biasanya datang dengan semangat gebrakan, tetapi sering tersandung pada birokrasi yang rumit dan politik anggaran yang sempit.
Seniman hanya bisa berharap, lagi-lagi berharap, agar janji kali ini sedikit lebih nyata daripada sebelumnya. Apakah seorang menteri baru akan berani memberi anggaran memadai untuk pendidikan seni  budaya di sekolah-sekolah? Apakah menteri baru akan mendukung ruang-ruang alternatif agar komunitas seni bisa bertahan tanpa harus mengemis sponsor?
Apakah menteri baru akan memandang seniman sebagai pekerja budaya yang butuh jaminan hidup, bukan sekadar penghias acara seremonial? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul, tapi jawabannya kerap samar. Seni terlalu sering ditempatkan di pinggir, dianggap hanya sebagai hiburan, padahal ia adalah fondasi peradaban.
Seni sebagai Penjaga Ingatan
Jika kursi menteri adalah simbol kekuasaan yang berganti, seni adalah ingatan kolektif yang abadi. Siapa yang ingat pidato panjang seorang pejabat di tahun 1970-an? Hampir tak ada. Tapi siapa yang lupa pada lagu-lagu Iwan Fals yang mengkritik kekuasaan? Siapa yang lupa pada lukisan-lukisan Affandi, Hendra Gunawan yang merekam wajah bangsa? Siapa yang lupa pada puisi-puisi Wiji Thukul yang menyuarakan perlawanan? Sejarah membuktikan, seni selalu lebih panjang umurnya dibanding politik.
Menteri bisa berganti setiap lima tahun, bahkan lebih cepat (karena perombakan) Tapi karya seni bisa bertahan berabad-abad. Itulah sebabnya, seniman tak boleh tunduk pada hitungan kursi menteri. Sebaliknya, menteri lah yang seharusnya belajar dari seni: bagaimana menjaga konsistensi, bagaimana tetap hidup meski serba terbatas, bagaimana menyampaikan kebenaran meski suara dipelintir.
Suara Seniman untuk Menteri Baru
Maka, catatan minggu ini bukan sekadar catatan tentang pergantian menteri. Ini adalah seruan kepada menteri baru: lihatlah seni dengan sungguh-sungguh. Jangan hanya hadir saat festival besar dengan kamera televisi menyala. Jangan hanya membacakan teks pidato ketika pembukaan pameran. Datanglah ke sanggar kecil di kampung. Duduklah di lantai gedung teater yang bocor. Rasakan denyut musik jalanan yang dimainkan anak muda di trotoar. Dari situlah, Anda akan tahu bahwa seni adalah napas rakyat, bukan sekadar program kerja kementerian. Kebijakan yang baik tentang seni tidak hanya soal anggaran. Ia soal cara pandang. J
ika seni dipandang sebagai inti kebudayaan, maka segala kebijakan akan mengalir dari sana. Tapi jika seni hanya dipandang sebagai pelengkap, maka nasibnya akan terus berada di pinggir, meski menteri berganti seribu kali.
Seni Tidak Menunggu
Hari ini, kita melihat kursi menteri berganti lagi. Wajah baru muncul dengan senyum penuh optimisme. Tetapi seni tidak akan menunggu. Seniman tetap menulis, tetap melukis, tetap bernyanyi. Karena seni lahir dari kejujuran, bukan dari pergantian kursi kekuasaan. Jika menteri baru mau belajar, seni akan menyambut. Jika tidak, seni tetap berjalan. Dan kelak, sejarah akan mencatat: siapa saja menteri yang sekadar lewat, dan siapa saja yang benar-benar meletakkan batu untuk bangunan kebudayaan bangsa. Pada akhirnya, tulisan ini saya ingin tegaskan minggu ini ingin menegaskan: menteri bisa berganti, tapi seni akan selalu bertahan. Dan untuk kawan saya yang sednag siapkan konsep program seni yang wow segeral siaapkan saja..bro Bambang…kerena kan pengakuanmu sudah melakukan relation dengan seniman baik yang akademis mau seniman yang lainnya. Tabik…!.

(ame)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here