![]()
Sastra, Kejujuran, dan Pembusukan Makna
Oleh: AENDRA MEDITA*)
(Tulisan ini bagian dari refleksi tentang otentisitas, kepalsuan, dan perlawanan makna dalam dunia sastra kontemporer.)
Pengantar Redaksi
Di tengah maraknya festival, penghargaan, dan euforia sastra digital, sering muncul pertanyaan mendasar: masihkah sastra menjadi ruang kejujuran, atau telah berubah menjadi panggung pencitraan? Tulisan ini mencoba menggali kembali akar moral dan spiritual dari penciptaan, dengan menelusuri jejak tokoh-tokoh besar dari Dostoevsky hingga Pramoedya.
Ketika Sastra Menjadi Panggung Citra
Di balik tepuk tangan dan panggung apresiasi, sering tersembunyi sesuatu yang getir: hilangnya makna sejati. Sastra yang dahulu lahir dari kegelisahan kini sering lahir dari strategi.
Kita hidup di masa di mana banyak karya dirancang seperti iklan—dengan target pasar, segmentasi pembaca, dan kemungkinan viral.
Albert Camus pernah menulis dalam The Myth of Sisyphus, absurditas muncul ketika manusia mencari makna di dunia yang tak memberikannya. Namun kini absurditas itu berlipat: manusia menciptakan makna semu lewat penghargaan. Camus juga pada tahun itu (1942) membahas konsep absuditas dan pemberontakan dalam mengahadpi kehiudupan yang tanpa makna atau tujuian ilahi. Dalam karya ini, Camus mengadopsi tokoh mitologi Yunani, Sisifus, yang dihukum untuk selamanya mendorong batu ke puncak gunung hanya agar batu itu berguling kembali, sebagai metafora perjuangan manusia yang tak berkesudahan.
Sastra berubah dari pengakuan jiwa menjadi panggung reputasi. Chairil Anwar dulu berteriak, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Itu bukan ambisi narsistik, melainkan perlawanan terhadap kefanaan. Kini banyak penulis yang berteriak bukan karena gelisah, melainkan karena ingin didengar algoritma.
Rekayasa Penghargaan dan Institusionalisasi Kepalsuan
Penghargaan sastra dimulai sebagai bentuk penghormatan terhadap kejujuran artistik. Namun dalam praktiknya, penghargaan sering menjadi arena politis, tempat selera, ideologi, dan kepentingan bersilang.
Tolstoy tidak pernah menerima Nobel Sastra, meski karyanya mengguncang nurani dunia. Sebaliknya, beberapa nama dipilih karena aman secara politik. Begitu pula di Indonesia—sering penghargaan diberikan bukan kepada yang paling mengguncang, tapi kepada yang paling “selaras”.
Rendra menulis, “Kebenaran memang tidak perlu banyak pendukung, ia berdiri sendiri.” Tapi dalam dunia yang diatur oleh sponsor, media, dan jejaring, kebenaran sering tak punya tempat. Sastra kehilangan taringnya karena ingin diterima.
Karya Besar Tidak Lahir dari Kompetisi
Karya besar tidak pernah lahir di podium, melainkan di ruang sunyi.
Dostoevsky menulis Crime and Punishment setelah keluar dari kamp Siberia. Kisah Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky adalah perjuangan mental dan moral Rodion, seorang mantan mahasiswa hukum miskin di St Petersburg. Raskolnikov membunuh seorang rentenir tua yang tidak bermoral dengan tujuan membenarkan tindakannya dengan teori bahwa orang-orang “luar biasa” tidak terikat oleh hukum.
Pramoedya menulis Bumi Manusia dan tetreloginya di penjara Pulau Buru yang dahsyat.
Mereka tidak menulis demi penghargaan, melainkan karena menulis adalah satu-satunya cara bertahan hidup sebagai manusia.
Virginia Woolf dalam A Room of One’s Own menekankan bahwa kejujuran menulis menuntut kebebasan batin. Tapi hari ini, kebebasan batin itu terkikis oleh tekanan pasar dan algoritma. Kita menulis bukan karena ingin jujur, tetapi karena takut tidak relevan.
Kejujuran Sebagai Tindakan Politik
Dalam dunia yang mengagungkan pencitraan, kejujuran adalah bentuk perlawanan.
Menulis dengan jujur—tanpa pamrih, tanpa perhitungan—adalah tindakan politik yang sunyi namun radikal.
Camus menyebut, manusia absurd bukanlah yang menyerah, tetapi yang melawan tanpa ilusi. Maka sastrawan sejati menulis tanpa janji akan kemenangan, tapi dengan kesetiaan pada nurani.
Rendra menolak penghargaan yang tak ia percayai, Pramoedya tetap menulis meski dilarang. Mereka adalah saksi bahwa sastra bukan sekadar ekspresi estetika, melainkan pilihan etis untuk tidak tunduk pada kepalsuan.
Budaya Menjilat dan Runtuhnya Standar
“Jangan jilat-jilat,” kata seorang penyair muda di media sosial—sebuah seruan yang mungkin terdengar kasar, tapi mengandung kebenaran pahit.
Budaya menjilat telah menjadi epidemi dalam dunia sastra: dipoles menjadi “dukungan komunitas”, “solidaritas literer”, padahal sering menyembunyikan kepentingan pribadi.
Ketika penghargaan bisa direkayasa melalui kedekatan, ketika nama dipuji bukan karena isi, melainkan relasi, maka yang mati bukan sekadar nilai estetika—melainkan nurani kolektif.
Kafka menulis The Trial untuk mengungkap absurditas sistem yang menindas individu. Kini kita hidup di versi halus dari dunia Kafka: birokrasi sastra, kurasi algoritmik, dan jaringan sosial yang menentukan siapa pantas disebut “penting”.
Kembali ke Kealami
Berbuat alami adalah bentuk kebijaksanaan yang nyaris hilang. Dalam menulis, kealamian berarti menolak berpura-pura. Menulis karena memang ada yang harus dikatakan, bukan karena ingin disebut penulis.
Kealamian ini hidup dalam karya-karya besar: Dostoevsky menulis dari luka batin, Camus dari kegelisahan eksistensial, Pramoedya dari kemarahan historis, Chairil dari gairah hidup yang liar. Mereka menulis bukan untuk lomba, bukan untuk panggung, melainkan untuk memahami diri sendiri.
Pembodohan Makna Hakiki
Ketika sastra kehilangan kejujuran, makna menjadi dangkal.
Kita hidup dalam zaman pembodohan makna: ketika yang viral dianggap penting, ketika penghargaan lebih tinggi dari permenungan, ketika bentuk mengalahkan isi.
Sastra lalu berubah menjadi kosmetik intelektual—cantik di permukaan, kosong di dalam.
Kembali ke Keheningan
Di tengah kebisingan promosi dan kompetisi, kita perlu belajar diam.
Keheningan adalah tempat di mana makna kembali berbicara tanpa mediator.
Menulis, membaca, dan berpikir adalah bentuk doa yang sunyi—bukan ritual formal, tapi cara manusia kembali mengenal dirinya sendiri.
Dalam diam, kata-kata menemukan maknanya yang sejati.
Menolak Menjadi Pura-Pura
Sastra tidak butuh piala. Ia butuh keberanian.
Kita boleh menghargai karya orang lain, tapi jangan menjilat. Kita boleh menerima apresiasi, tapi jangan memperdagangkan makna.
Sastra sejati tidak tunduk pada lembaga, pasar, atau algoritma. Ia hanya tunduk pada kebenaran manusia yang paling dalam.
Mungkin tindakan paling radikal hari ini bukan menulis yang paling indah, tetapi menulis dengan paling jujur.
Biarlah sastra kembali menjadi cermin tanpa make-up, tempat manusia menatap dirinya sendiri dengan apa adanya.
Dan seperti kata Camus: “Di tengah musim dingin yang panjang, aku menemukan dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.”
Sastra yang jujur akan selalu menemukan musim panasnya sendiri—bahkan di tengah pembusukan makna. Sastra adalah ruang jujur yang semestinya ditempatkan pada yang sebenarnya ada. bukan mengada-ada. Tabik.








