Obrolan Seni Wedang Jahe
Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis
Nah, zaman berlari mungkin boleh beristilah atau keismean seperti ruparupa ismeseni meriah bahagia gembira. Barangkali seniman sebagai personal bebas, pemilik rahasia hati. Publiknya tentu tetap boleh menikmati karya sang seniman, di panggung, di ruangan multimodern, di galerigaleri atau di manapun sang seniman menggelar karyanya.
Hampir mirip istilah politik umum; seni wajib jujur adil alias jurdil. Nah. Ketika sebuah karya dilahirkan oleh seorang seniman, seumpama. Apapun bentuk karya itu; ekspresionis atau impresionis ataupun abstrak. Bisa juga realisme plus modern-meminjam istilah umum seni, berseni atau berkesenian.
Mungkin saja, sang seniman memilih judul karya dari hasil cernaan sebab akibat lingkungan sekitar ataupun lebih luas, bergantung pada kehendak wawasan karya telah dilahirkan oleh sang seniman tersebut. Bukankah demikian. Kalau bukan juga enggak apaapa, sebab pilihan judul untuk sebuah karya seni tetaplah domain entitas estetika nurani bening sang seniman.
Sang kreator seni, pastilah tabu, mencongak kiri kanan, apalagi untuk sekadar memberi judul karyanya. Apakah demikian. Kalau tak jua demikian, ya oke sajalah tak apaapa pula. Salam damai selalu, lagilagi di zaman berlari, bergantung pembawa tutur kabar berita. Simpangsiur ataupun tidak, bentuk kabar berita tersebut bergantung pasar adonan musiman. Semisal, kalau sedang musim duren, misalnya nih, maka ramailah pasar duren, semua enak, semua lezat, bagaikan tak tampak lagi dunia lain nun di sana di kaki langit berbeda. Tak tampak pula opsi alternatif lebih baik di sisi berbeda, meski setara nilai intrinsiknya.
Karena pasar telah memberi kabar, duren memang enak sekaligus lezat, meskipun artian enak atau lezat, nyaris serupa, mungkin. Sekalipun kadangkadang samarsamar menjangkau lapangan absurd. Namun informasi terlanjur bilang, duren ini lezat. Misalnya, ada, saja deh, pelanggar batas garisgaris penyeberangan pejalan kaki, sekalipun ada lampu ramburambu lalulintas. Seperti hamba dengan sahabat saat pulang off road-naik jeep kabin terbuka masih dekil and dekumel, hamba asik duduk baca koran tanpa sabuk pengaman. Sahabat hamba, sudah menegur hamba “Bro sabuk pengaman”, sebelum berhenti di lampu merah Bunderan Patung Api Sudirman arah Semanggi, namun hamba asyik baca koran. Ini kejadian masa lampau.
Mobil berhenti oleh lampu lalu lintas sebagaimana telah di atur tatatertibnya. Lantas terdengar suara santun namun tegas. “Selamat siang Bapak. Mohon maaf. Sabuk pengamannya mohon dipakai.” Kaget hamba. Suara petugas tertib lalulintas, muncul tepat di pintu kiri kendaraan, menegur hamba amat santun. Mati berdiri hamba malunya babak belur deh. Hamba benarbenar keok. Serasa semua mata melotot memperhatikan hamba di tengah padat lalu lintas siang itu.
Bersegera hamba meminta maaf “Mohon tidak diulangi lagi ya Pak.” Suara santun, tegas, petugas itu, membuat hamba K.O. Asli malu banget. Sejak peristiwa malumaluin diri hamba itu. Senantiasa, chek and recheck, kalau naik kendaraan sekalipun nebeng. Terima kasih Pak Polisi, anda telah mendidik hamba.
Sang Pencipta, memberi ruh kehidupan untuk jasmani, agar menjadi, jasmani hebat, baik, benar, lurus akalbudi kesinambungan untuk anak cucu kelak. Ada keteladanan tersampaikan terang temarang. Bagai kisah takdir Sang Empu ahli seni pembuat keris; cogan alam sakti multiguna. Tak satupun tau sejak kapan pusaka sakti itu selesai. Lantas pusaka itu menghilang jadi kisah di babad zaman. Muncul menjadi kisah sejarah keteladanan, kepiawaian Sang Empu. Sebuah karya seni apapun itu telah memiliki takdirnya sendiri sebagaimana fitrah Ilahi. Amin.
***
Jakarta SENI Indonesia, September 12, 2024.
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.