Multiverse – Metaverse Asia – Europa Mediations Biennale 2025: Gelombang Cahaya
Laporan : Mayek Prayitno (Antara Jerman, Perancis dan Belanda)
FAJAR modernitas telah membawa dampak dan perubahan yang sangat signifikan terutama sains, perkembangan teknologi dan konsekuensi dari geopolitik. Gejala dan isu “perang dagang” adalah bagian tak terelakkan dari tarik ulur kepentingan global yang melesak dalam media sosial, akibatnya mereka yang menjadi korban kekuatan militer dan politik menarik empati dari seluruh dunia.
Dalam berbagai upaya diplomatif, tindakan preventif itu setidaknya dapat meredam agresi dari kekuatan besar. Hal ini juga mendorong komunitas – komunitas dari seluruh dunia terutama dunia seni rupa untuk mempromosikan diversitas dan perdamaian secara lebih intensif yang dibangun melalui jejaring kebudayaan yang tersebar diberbagai negara.
ScreenshotScreenshot
Dunia hari ini sudah tidak lagi soal hegemoni dan invansi, akan tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk mendengar dan melihat satu sama lain, saling menerima, hidup berdampingan dalam semesta polikulturalisme, multilateral dan metaverse.
Setiap narasi personal dan komunal dianggap signifikan yang digali dari sumber – sumber kultural, sains, filsafat bahkan utopia. Tradisi dan modernisasi tidak lagi dikotomis. Keduanya merupakan satuan dari multiverse yang terikat secara eksistensial. Melalui konektifitas ini, ikatan – ikatan alami kesadaran manusia berkembang secara dialektis, antara rasa dan logika, imajinasi, empati dan rasionalitas. Entitas itu bersatu padu, berkait – kait dalam menyiasati keberadaan dan persimpangan diantara tekhnologi digital dan analog.
Pameran seni rupa Biennale Multiverse – Metaverse ini merupakan respon terhadap apa yang sedang berkembang ditengah kecanggihan artifisial dan AI. Masyarakat dunia sudah tidak asing lagi dengan dunia metaverse, ia menjadi bagiannya, tertanam dalam pikirannya (inception) dan menjadi kebutuhan primal. Keakraban dengan infrastruktur digital meluaskan dataran virtual baru dan perspektif lain yang bergantung pada kecepatan sinyal. Dalam proses analog itu yang kemudian diambil alih oleh bahasa mesin komputer melalui kode binar, ia menghasilkan cahaya dan citra digital. Di tahun 1960an tekhnologi analog diadaptasi dalam video art, lalu menjadi kanon media alternatif dan eksperimental dalam seni rupa kontemporer dunia. Salah satu seniman asal Jerman yang identik dengan media eksperimental itu adalah Joseph Beuys.
Sekarang digitalisasi, analog dan cahaya sebagai media eksperimental digunakan untuk menghasilkan ekperiensi, intensi dan persepsi tertentu terhadap audien.
Sebanyak 25 seniman dan kolektif ; Andita Purnamasari Sari, Awahab, Leny Weichert, Mantra Ardhana, Mayek Prayitno, Alex Long Yuan, Tao Ya Lu, Vira DG, Helmut Hennig, Uwe Rieger dan Yinan Liu, Cacpar Mutke & Michal Urbanski, Filip Gajewski, Wotjek Ratke, Franz Betz, Hanno Kubler, Anne Nissen & Steffen Konnig, Max Elzholz, Oliver Niemoller, Ulrika Eller-Ruter dan Deborah Geppert. Mereka berasal dari berbagai negara : Jerman, Polandia, Indonesia, Taiwan, Ukraina, China dan Denmark, menggarap karya – karya yang penuh dengan gelombang cahaya : video dan instalasi. Karya seni video Mantra Ardhana memvisualisasikan obyek – obyek antara figur dan stilasi alam yang terus bergerak dan berubah bentuk hingga mengalami deformasi bentuk dengan cahaya warna yang terang.
Sementara karya instalasi Leny Weichert berkisah mengenai representasi warisan lokal gambar gua Maros ribuan tahun yg lalu, dinding gua dibentuk dengan pencahayaan yang artistik. Memasuki karya ini seperti masuk dalam aura gua yg dikontemporerisasi dengan menggunakan lorong gedung. Instalasi lainnya diimpresikan oleh seniman Mayek Prayitno dengan efek pencahayaan yang berubah – ubah warna, merasakan karyanya seperti berada didalam kerumitan semesta lain, ia beralegori tentang koneksi tersembunyi oleh neuron, hubungan sosial, tradisi, modernitas dan kompleksitas peradaban. Karya video lainnya milik Andita Purnama Sari, ia mengagas dunia yg gelap tapi menaruh harapan, visualnya sangat dramatik. Lain lagi dengan karya Vera, asal Ukraina. Ia menggunakan peralatan Virtual Reality beserta kontrolnya untuk berinteraksi melalui sensor. Ia memadukan imersifitas hasil gerakan tangan oleh sensor terhadap cahaya yg ditembakkan oleh proyektor pada dinding gedung. Menghasilkan goresan virtual yang ekspresif dan artistik.
Karya instalasi berikutnya Oliver, seniman Jerman, memberi persepsi yang berbeda terhadap ruang geometri yang tak terbatas. Cahaya disekitar karya itu membuat fokus pada obyek geometri penthagram yang didalamnya terdapat bayangan cermin dari penthagram tersebut memperlihatkan kedalaman tanpa batas. Video lain ditembakkan ke jendela gedung hingga tampak dari dalam dan diluar, dikreasi oleh Awahab dengan figur – figur seperti metafora wayang, naga dan obyek lainnya. Figur itu bergerak secara repetitif. Yang lebih gigantik seperti fasad dan kesan imersif digarap oleh Helmut Hennig, seniman asal Jerman, yang menyelimuti gedung Faust, ia sibuk dengan instalasi dan proyeksi video diruang publik dengan memanfaatkan cahaya – cahaya warna.
Direktur Kunsthalle sekaligus kurator Harro Schmidt, Artis Kurator Leny Weichert dan kurator Christiane Oppermann mengaransemen dan memproyeksikan gelombang cahaya itu didalam dan diluar gedung Kesselhaus dan juga gedung Kulturzentrum Faust, Hannover, Jerman. Ia mengarahkan berbagai teknis karya seni eksperimental itu dibeberapa sisi dan fasad gedung. Sehingga salah satu gedung heritage, bekas pabrik kasur dengan mesin ketel yang besar itu tampak kian artistik, paduan antara besi – besi tua konstruksi mesin pabrik, cahaya dan citra digital semakin menunjukkan kemegahannya.
Proyek Biennale Multiverse – Metaverse yang berorientasi pada Light Wave ini diinisiasi oleh Kulturzentrum Faust, Kunsthalle, yang bekerja sama dengan Kersan Art Foundation Yogyakarta. Pameran ini berlangsung dari tanggal 26 september hingga 19 oktober 2025. Dan akan diselenggarakan di Galeri Sangkasa Yogyakarta pada 26 november – 15 Desember 2025.***