Home BERITA Mozaik

Mozaik

0

Loading

Cerpen  Taufan S. Chandranegara

Mandat hidup, tak sekadar kuasa usaha titipan, di situ ada gemuruh halilintar musim kesuburan penghujan. Merembes ke tanah mencipta mata air, menghidupi bibit unggul alami. Tercipta hutan hijau bermanfaat, tanah, memelihara benih beriman, ikhlas. Ketika Spiritualitas  tidak digubris oleh kemodernan mesin penyedot akal sehat.  Limbah adab menumpuk di lautan. Perbincangan magma kuliner antar momok sihir hitam, gagap. Tak mampu membaca tanda-tanda kebaikan iklim anugerah langit maha luas.

“Selalu menjadi bahasan tak kunjung selesai.”

“Ada keanehan beterbangan di malam hari. Seperti ramai kasak-kusuk, tanpa terlihat sosoknya.”

“Wow banget.”

“Nah itu.”

“Isu politik kebatinan merebak. Membuat warga was-was.”

“Keanehan bikinan.”

“Serba tak jelas.”

“Serupa rancangan misteri.”

“Semacam itu tapi tidak serupa.”

“Berbeda bentuk namun bertujuan sama.”

“Nah itu.”

“Bahaya laten mengintai.”

“Kau paham maksud dari tujuan itu.”

“Samar terlihat.”

“Lantas. Tak ada upaya untuk itu.”

“Tak guna tampaknya.”

“Dugaan tak mendasar.”

“Lihat saja polanya.”

“Lingkungan hutan di bukit sebelahnya pun nyaris habis.”

“Penebangan liar untuk kepentingan entah.”

“Lantas upaya warga desa.”

“Berani protes dianggap perlwanan.”

“Wow!”

“Banget.”

Polusi dekonstruksi romansa mengharu biru tak serupa kisah humanis. Senjata perang diputar ulang menghias layar perak.  Karcis  tontonan dibayar mahal. Gegap  gempita reklame jempol nomor wahid, jual obat keliling buat sakit gigi, berlabel masuk angin. Sembelit perut melilit, nonton antrian barisan semut sekalipun loket tontonan berikut masih tutup, kandidat belum bersolek. Berebutan seni politik ini itu awang gemawang, menyentuh pola imajiner “Meong!” Absurd dalam bungkus kertas kado. Tak serupa kopi dari kebun sendiri, beraroma asli tradisi jujur-leluhur, tanpa hipnosis zaman.

“Seru amat ya.”

“Bisa dibilang begitu.”

“Sosok misterius menguasai tanah tradisi telah dirawat warga turun temurun. Hidup warga pas-pasan dari mengolah lahan terbatas, itupun dengan upah rendah.”

“Wow!”

“Banget. Wow.”

“Apa solusi selanjutnya.”

“Stagnan.”

“Menghadapi tembok tebal'”

“Nah itu kau paham.”

“Pola lama masih bersemi.”

“Kau punya ide atau usulan.”

“Tidak. Mereka punya kekuatan pendamping tak kasat mata.”

“Nah itu.”

“Dunia mistik hitam istilah saja sih, pelakunya tetap oknum misterius, mungkin di ranah itu kekuatan mereka.”

“Oknum? Wah.”

“Gawatkan.”

“Bahaya.”

“Sangat membahayakan.”

“Mendadak semua lokasi desa dianggap angker. Ada saja cerita aneh muncul.”

“Politik isu. Itu pola lama.”

Lantas, plagiarisme bunting oleh kelaminnya sendiri. Alibi, merupa jual beli duplikasi sambal terasi tanpa tomat. Seolah-olah, mengandung anak kandung, dari sperma unggul. Sekalipun suryakanta kala memantulkan kebenaran cahaya matahari, menerangi, plagiarisme desain susastra kepalsuan, tanpa benang penyulam kain.

Syair Guru Langit

Guru Langit, hanya memiliki kemuliaan keteladanan memberi pengajaran prosa kehidupan, perilaku tertib berbudi.

Guru Langit, memberi pelajaran pemecahan deret hitung susastra bening kejujuran, bekal meniti jenjang menuju arena kreativitas.

Guru Langit, tidak mengajarkan plagiarisme masuk angin. Guru Langit, benih inti kebeningan.  

Senja tak pernah berubah di ufuk edarnya. Fajar sidik seanantiasa indah sepanjang zaman. Tak ada aklamasi mozaik plagiarisme simsalabim abakadabra di sana.

***

Jakarta SENI, Januari 25, 2025.

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here