CATATAN Aendra MEDITA *)
SANGAT kaget ada sebuah logo untuk sebuah lembaga negara kementerian lagi. Kementrian ini baru sih yaitu Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia tapi kok bisa Typo. Hehehe…
Dulu, saat saya pernah bertugas di sebuah konsultan Advertising and Public Realtions (PR) ternama di Indonesia dan yang melahirkan perusahaan awalnya perusahaan reklame (hanya media luar) yang dimiliki Mochtar Lubis dan berjalannya waktu beralih ke orang ternana juga suami istri ahli bidang komunikasi Nasional, yaitu Indra Abidin dan Miranti Abidin. Maksud penjelasan ini saya banyak sekali bergelut salain dalan braindtrom pembuat strategi untuk sejumlah korporat dan juga konsultan dalam bentuk event atau untuk merancang logo-logo penting.
Tahun 1999 ada satu buku berjudul “No Logo” kebetulan saya pegang dan punya buku itu. Buku pada gambar adalah No Logo karya Naomi Klein, sebuah buku yang banyak dianggap sebagai “kitab suci” bagi gerakan anti-korporasi global. Buku ini mengeksplorasi dampak buruk dari dominasi merek global pada masyarakat, ekonomi, dan budaya. Naomi Klein adalah seorang jurnalis, penulis, dan aktivis politik asal Kanada yang dikenal luas karena kritiknya terhadap kapitalisme global, neoliberalisme, dan dampak merek besar terhadap masyarakat dan lingkungan.
Naomi Klein kelahir pada 8 Mei 1970 di Montreal, Kanada, ia telah menjadi salah satu penulis terkemuka dan suaranya masuk dalam gerakan progresif global. Naomi Klein punya latar Belakang berasal dari keluarga yang terlibat dalam aktivisme sosial. Ibunya adalah pembuat film feminis, sementara ayahnya seorang dokter yang menolak Perang Vietnam. Ia juga ini membentuk pandangannya tentang keadilan sosial dan politik. Pendidikan dan Awal Karier Klein belajar di University of Toronto, tetapi keluar sebelum lulus untuk mengejar karier jurnalistik. Klein memulai sebagai jurnalis yang meliput isu-isu sosial dan politik di berbagai media.
Buku karya penting “No Logo” (1999), dan buku ini menjadi karyanya yang paling terkenal dan sering disebut sebagai “kitab suci” gerakan anti-globalisasi. No Logo mengeksplorasi dampak buruk budaya merek, termasuk eksploitasi pekerja dan dominasi merek dalam kehidupan sehari-hari. Ada juga buku The Shock Doctrine (2007) yang mengungkap bagaimana pemerintah dan korporasi menggunakan krisis, seperti bencana alam atau konflik, untuk menerapkan kebijakan neoliberal yang menguntungkan segelintir orang. Klein menyebut pendekatan ini sebagai “kapitalisme bencana.” Buku lainnya This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate (2014) berfokus pada hubungan antara kapitalisme dan krisis iklim, menyerukan perubahan sistemik untuk menyelamatkan planet. Buku On Fire: The Burning Case for a Green New Deal (2019) Klein menyoroti pentingnya Green New Deal sebagai solusi radikal terhadap krisis iklim.
Klein juga punya pandangan dan aktivisme Anti-Kapitalisme dan jadi kritikus keras kapitalisme neoliberal, dimaan menurutnya memperdalam ketimpangan dan merusak lingkungan. Keadilan Lingkungan bagi dia merupakan advokat kuat dalam melawan perubahan iklim, menyerukan transisi ke energi terbarukan, dan mendukung gerakan keadilan lingkungan. Selain itu ia juga aktivisa Hak Asasi Manusia yang kuat, ia sering berbicara tentang perlunya melindungi hak-hak pekerja, perempuan, dan masyarakat adat dari eksploitasi korporasi dan selalu melakukan perlawanan terhadap Privatisasi. Dalam berbagai karyanya, Klein mengkritik privatisasi layanan publik, seperti kesehatan dan pendidikan, yang sering mengorbankan masyarakat miskin.
Pengaruh Naomi Klein dan buku dan ide-idenya telah memengaruhi gerakan sosial di seluruh dunia, termasuk gerakan anti-globalisasi, gerakan iklim, dan perlawanan terhadap neoliberalisme. Ia juga sering menjadi pembicara di berbagai forum internasional dan media, berbagi wawasan tentang tantangan global dan solusi progresif. Naomi Klein adalah salah satu intelektual publik yang terus menyerukan perubahan sistemik demi keadilan sosial dan lingkungan.
Naomi Klein membahas fenomena branding yang telah berkembang melampaui produk ke ruang publik, gaya hidup, dan identitas budaya. Buku NO LOGO ini membahas Budaya Branding, Klein menjelaskan bagaimana merek-merek besar menciptakan ilusi gaya hidup dan status sosial melalui iklan, sehingga membuat konsumen merasa terhubung secara emosional dengan produk mereka. Ia juga menyoroti gerakan perlawanan terhadap korporasi, termasuk aksi boikot, gerakan anti-globalisasi, dan organisasi yang mendorong transparansi serta keadilan. Secara keseluruhan, No Logo merupakan panggilan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan di tengah kekuatan besar merek dan korporasi global.
No Logo oleh Naomi Klein bisa menjadi panduan yang sangat baik, terutama bagi mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang bagaimana merek dan kapitalisme global memengaruhi kehidupan sehari-hari, serta cara melawan dampak buruknya. Memahami Dampak Branding di Kehidupan Kita. Buku ini membuka mata terhadap cara perusahaan menggunakan merek untuk menciptakan nilai emosional yang jauh melampaui dan ini membantu Anda mengenali strategi manipulatif dalam periklanan dan bagaimana tidak terjebak dalam konsumerisme berlebihan. Buku ini juga membantu memahami hubungan antara kekuatan korporasi, pemerintah, dan ketimpangan global. merek yang etis dan berkelanjutan. Menjadi Bagian dari Perubahan dan No Logo tidak hanya tentang kritik, tetapi juga tentang pemberdayaan individu untuk melawan hegemoni merek besar melalui pilihan sehari-hari. Kemandirian dan Kreativitas, bagaimana dominasi merek membatasi kreativitas lokal dan budaya independen.
Nilai ini mengajarkan pentingnya mendukung inisiatif lokal dan menghargai keanekaragaman budaya Dan buku ini mengungkap bagaimana korporasi besar mencoba mendominasi ruang publik, budaya, dan bahkan nilai-nilai moral.
Lantas pertanyaan selanjutnya apa?
Saya sedang berpikir kenapa logo Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia itu yang resmi memperkenalkan logo barunya. Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan penuh kebanggaan menyebutkan bahwa logo ini merupakan cerminan dari keberagaman budaya Indonesia yang terjalin harmonis. “Logo ini menggambarkan keberagaman budaya di Indonesia yang terjalin harmonis untuk bersama-sama menjalin kesatuan bangsa Indonesia,” ujar Fadli.
Namun, layaknya kebudayaan itu sendiri –kaya, berlapis, dan terbuka untuk interpretasi, hadirnya logo baru ini tidak luput dari sorotan publik. Jika simbol-simbol dalam logo ini adalah wastra–kain tradisional yang memiliki makna dan simbol tersendiri yang mengacu pada dimensi warna, ukuran, dan bahan, contohnya batik, tenun, songket dan sebagainya, maka kritik yang dilontarkan masyarakat adalah benang-benang lain yang ikut merajut perdebatan di ruang publik. Secara Logo dan Filosofinya: Emas, Cokelat, dan Cerita yang Tersirat secara visual, logo ini memberdayakan warna emas dan cokelat. Emas, sebagai lambang kekayaan dan kesejahteraan, berpadu dengan cokelat yang menggambarkan tradisi dan kekuatan budaya. Elemen-elemen lainnya seperti lima helai ekor (Pancasila), empat sayap (keragaman budaya), dan anyaman (gotong royong) memperkaya simbolisme logo tersebut. Kekayaan makna filosofi yang mendalam ini, seakan-akan menyerupai puisi visual yang penuh makna.
Sayangnya, di balik kemegahan simbolisnya yang disajikan, ada lontaran kritik tajam yang datang dari netizen. Diinisiasi oleh seorang pengguna media sosial berakun “Gump n Hell”, ia menggarisbawahi adanya beberapa kesalahan ketik (“typo”) dalam penjelasan elemen logo yang dirilis, termasuk kata “DALIN” yang diduga kata yang benar adalah “DAUN.” “Bagaimana publik bisa menghargai budaya jika presentasinya sendiri ceroboh?” sindirnya dalam salah satu postingannya.
Pun akronim “Kemenkebud” yang dipilih, juga tak luput dari sasaran kritik. Sebagian warganet yang menyarankan agar akronim tersebut diganti menjadi “Kemendaya” yang dinilai lebih nyaman didengar. “Jangan sampai masyarakat salah tangkap dan berpikir itu singkatan dari ‘kementerian kebud semalam,” seloroh kritis salah seorang netizen.
Yang jelas, adanya kesalahan teknis dalam penyampaian informasi resmi, terutama pada peluncuran identitas visual seperti logo ini, dinilai oleh pakar komunikasi visual Laura Christina Luzar sebagai bentuk “kealpaan yang dapat merusak kredibilitas institusi.” Dalam penelitiannya, Luzar menegaskan bahwa logo yang efektif harus sederhana, mudah diingat, dan menyampaikan pesan secara jelas – kriteria yang, menurut sejumlah kritik, kurang terpenuhi dalam implementasi logo Kemenkebud kali ini. (seni.co.id, 18 Desemeber 2024)
Nah inilah yang aneh selain sebuah logo ini harusnya lebih mengedepankan nilai logo merupakan suatu gambar atau sekadar sketsa dengan arti tertentu, dan mewakili suatu arti dari perusahaan, daerah, organisasi, produk, negara, lembaga, dan hal lainnya membutuhkan sesuatu yang singkat dan mudah diingat sebagai pengganti dari nama sebenarnya apalagi ini untuk kebudayaan yang identitasnya harus dikuatkan ini untuk 5 tahun apa untuk sekadar asal?
Ternyata di balik selarit kontroversi yang terletup tersebut, peluncuran logo baru Kemenkebud menjadi arena perdebatan yang lebih luas, salah satunya tentang bagaimana budaya direpresentasikan di tengah persimpangan tradisi dan modernitas. Memang, proses pembuatannya yang dikurasi melalui sayembara yang diikuti 3.201 peserta dari seluruh Indonesia tersebut bisa dianggap menunjukkan semangat demokratisasi dalam seni.
Reza Rasenda, sang desainer pemenang logo ini, menyebutkan bahwa motif wastra yang ia gunakan mencerminkan “semangat merajut kebudayaan dengan gotong royong.”
Namun, di sisi lain, peluncuran logo ini juga memperlihatkan bahwa estetika visual tak bisa berdiri sendiri. Ada lapisan politik identitas yang memengaruhi bagaimana publik menerimanya. Di bawah kepemimpinan Fadli Zon, yang dikenal dengan retorika kebudayaannya yang vokal, Kemenkebud tampaknya berupaya meneguhkan posisi budaya sebagai pilar kebangsaan. Tapi, apakah upaya ini sudah cukup untuk menyatukan masyarakat dalam semangat budaya yang sama?
Munculnya kritik terhadap logo ini mengajarkan bahwa budaya bukan hanya soal estetika, tetapi juga soal ketelitian dan penghormatan terhadap audiens. Sebagaimana diungkapkan oleh kritikus budaya, Prof. Bambang Sugiharto, “Budaya adalah narasi yang terus hidup. Dalam setiap simbol dan representasi, ada tanggung jawab untuk menjaga cerita itu tetap otentik dan relevan.”
Jadi, pada akhirnya, logo baru Kemenkebud bukan lagi sekadar representasi visual, tetapi juga menjadi percakapan yang terus berkembang. Ia adalah simbol, sekaligus undangan untuk berdialog –-baik tentang makna budaya, maupun cara kita menghormati dan merayakannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti layaknya anyaman, kekuatan logo ini akan ditentukan oleh bagaimana ia mampu mengikat elemen-elemen yang berbeda menjadi satu kesatuan yang kokoh. Nampaknya Kemenkebud ini harus membaca buku No Logo No Logo oleh Naomi Klein atau memanggil ahli Storyteller, Analis Iklan dan Pencitraan WA Wicaksonountuk dialog diskusi soal logo karena logo ini kan bukan untuk sekadar hanya 5 tahun kedepan dan perlu hal ini agar tak salah melangkah. Bukankah ini akan lebih baik untuk kita semuan dan untuk budaya kita yang punya nilai luhur dan martabat bangsa tinggi. Tabik…!!!
*)Pemimpin Redaksi SENI.CO.ID dan pernah bekerja di Fortune Indonesia Advertising Tbk.
Jagakarsa, Jakarta, Hari Ibu 22 Desember 2024
Sponsor