Kepalsuan Kita dan Sang Kriminal Emily
Tatkala Nelson Mandela wafat tahun 2013, ada banyak beredar kutipan-kutipan atas namanya di media sosial, terutama selang setahun Facebook ditemukan oleh Zuckerberg. Kekuatan karismatik pemimpin global dan politik anti apartheid ini menjalar kemana-mana dan satu kutipannya menggelitik.
Entah otentik atau tidak dibagikan para netizen-netizen awal facebook, yakni: “I’m Not Cute, I’m Not Beautiful, I’m Not Intelligent, I’m Not Perfect But I’m Not Fake!” Cukup menggedor kutipan itu, seperti motivator ala netizen yang di tuliskan sebagai ‘strenghtfull diary today’; membanjiri media sosial bahkan sampai saat ini. Kutipan Mandela masih laku keras di IG dan X pun Tiktok.
Namun menohok jika makna kepalsuan atau ‘fake’ kemudian dijadikan lahan utama jati diri manusia abad 21; apalagi demam istilah Fomo, Fear of missing-out dan gejala trend lain sebagai era para Zillenial memaknai eksistensi diri di media siber. Filem thriller-noir yang elok ditonton di Netlix tahun 2022 lalu –usai Covid 19 mecabik-cabik dunia—Emily The Criminal, sebuah amsal karya seni-pop lain tapi sarat lahan untuk bereflektif bersama. Ketimbang menekuri filem Parasite, filem komedi-absurd dari Korea Selatan yang diganjar terbaik sepanjang tahun 2019 dan meraih Academy Awards ke-92 atau filem besutan sutradara Guillermo del Toro, yang memenangkan penghargaan untuk filem The Shape of Water (2017) dengan mengingat ‘genre realime-magis’ khas ala Amerika Latin. Ada bau ‘politis’, pemilihan ‘juara’ untuk sutradara Korea dan ‘desainer dari Amerika Latin’di luar Eropa-Amerika Serikat yang meraih Oscar tahun-tahun itu, daripada menimbang kritik estetis dalam menilai dua filem itu.
Emily The Criminal adalah simbol paling sahih kaum muda pertengahan usia 20-an dalam memahami ‘kapitalisme lanjut’ yang merapuhkan jiwa-jiwa murni mereka. Guyonan getir—tanpa maksud membuat senyum dan tertawa penonton, yang diramu adegan seru nan menegangkan, Aubrey Plaza, pemeran utamanya, mewakili sosok kaum muda kelas menengah-bawah Amerika Serikat yang gabut parah sembari kerja serabutan di restoran cepat-saji.
Emily terjerat hutang berat untuk menyelesaikan studinya di Universitas Seni—khas sistem Pendidikan AS yang menyandarkan hutang pada mahasiswa-mahasiswanya, alih-alih mengejar karir profesionalnya di bidang seniman, yakni menjadi Pelukis profesional. Emily masuk kedalam perangkap sindikat pemalsuan kartu kredit dan ia berhasil meng-klaim dirinya menjadi gembong pemalsuan kartu kredit di akhir narasi filem. Kepalsuan dan Kejahatan Sistemik Emily digambarkan sebagai seorang muda yang bimbang menjalani hidup antara menafkahi diri dan membayar hutang, idealisme yang nanggung menjadi seniman selain juga sebagian potret ‘bobroknya sistem Pendidikan Amerika Serikat’.
Tapi, yang menarik adalah hal ini: adegan tentang profesi di agensi iklan sebagai ‘garda utama kapitalisme dan materialisme’ didialogkan. Itu dihamparkan dengan ciamik di filem yang dibesut sutradara John Patton Ford, spesialis dark-comedy-thriller ini. “Anda tak perlu digaji disini, sebab dengan magang di Agensi ini; masa depan Anda terbentang luas!”, kata pemilik agensi iklan raksasa bos sahabat dekat Emily, yang membuyarkan mimpi Emily. Lebih baik menjadi bagian sindikat pemalsu kartu kredit daripada jabatan mentereng dan entah apa yang ditawarkan dengan masa depan; serta bagaimana hutang yang menjerat pada kampus seni dilunasi? Iming-iming sahabat Emily dengan mengenalkan “proper job” sebagai profesional di korporasi raksasa dan juga poret ‘gaya-hidup’ masyarakat Urban dan konsumerisme dengan gejala pemberhalaan pada benda-benda ‘ber-merk’ (branded items), selain tentang alasan klise untuk survival jelas-jelas filem Emily The Criminal merobek nurani kita.
Semua dari kita terjerat setiap hari dalam ‘kepalsuan-kepalsuan’ dan bersenyawa dengan sengaja pada kejahatan-kejahatan secara sadar; sekali lagi sadar-sesadar sadarnya. Dilema abad ini adalah ‘omomg-kosong tentang jati-diri’ dan semuanya hanyut untuk identitas-identitas palsu demi ‘cuan dan puan (tuan), sebab calon bos Emilydi agensi Iklan adalah perempuan’. Agregator online filem yang memeringkat dengan lebih dari 3 bintang, yakni Rotten Tomatoes berbanding terbalik dengan modus operandi industri peringkat aggregator IMDB online yang ‘adem-ayem’ di angka 6 saja. Rotten Tomatoes mengulas dengan sejumlah tampilan para kritikus tentang potret terkini anak muda (Emily) yang kelimpungan mencari cara untuk eksis dan melakukan apa saja demi cita-cita — seperti yang diinginkannya–yang juga mungkin masih gamang: menjadi seniman dan bisa jalan-jalan ke Amerika Latin! Khas zillenials hari ini, sebagian besar tak sudi bekerja keras meniti tangga setapak demi setapak karir secara benar dan menjadi besar, namun ingin selalu menjajal liburan dengan kerja mudah—masih ingat trend Staycation, berleha-leha di hotel.
Generasi Pewaris Kejahatan Sistemik Emily The Criminal membawa kita ke negeri sendiri, menular secara organik dan keniscayaan arus informasi yang terdisrupsi semenjak satu dekade oleh kekuasaan-politik dan lahirnya gerakan besar “#kaburajadulu” dan keniscayaan kecenderungan ekonomi lokal yang stagnan dan transisi kepemimpinan politik yang diramal tak menjanjikan kehidupan mapan di masa depan. Ironisnya, generasi pewaris kejahatan sistemik adalah generasi X atau Baby Boomer yang menyiapkan bukan dari sistem meritokrasi pada yang muda—mereka yang bersiap dengan kompetensi dan bakat yang memukau yang akan dilirik pasar kerja–, yang lagi-lagi itu hal yang klise hari ini.
Zaman ala or-dal (orang dalam) selain katabelece (kattabelletje; kata dalam bahasa Belanda), yakni Surat Referensi istimewa dan segala-hal bentuk nepotisme yang menjalar menguat berakar dari lingkar birokrasi terkecil menjadi besar dan tak terbantahkan posisi terkuat penguasa-politik di negeri ini hasil dari itu semua. Dalam konteks filem Emily the Criminal ia tersesat, ada banyak yang seperti itu yang mana usia-usia produktif –apalagi laporan World Bank teranyar (2025) dengan populasi kemiskinan Indonesia sejumlah lebih dari 170 juta jiwa, bakat-bakat yang terasah prima dengan intelijensia tinggi menjadi sia-sia di negeri ini. Sementara ‘aktor kriminal’ secara sistemik mencipta kepalsuan demi kepalsuan; yang memberi warisan karakter itu: kaum tua dan ortodoks era lama yang juga sejatinya palsu?
Bambang Asrini Widjanarko, Kerani Seni
Sponsor