Home BERITA Kalah di Ujung Persimpangan

Kalah di Ujung Persimpangan

0
ilustrai IA/sn

Loading

Kalah di Ujung Persimpangan

Cerpen Aendra Medita

Matahari itu akhirnya tertutup mendung, seolah ikut merasakan luka hati Komar. Pilkada baru saja usai, dan kekalahan ini begitu pahit.

Komar duduk di beranda rumah, memandangi jalanan basah sambil menggenggam cangkir kopi yang kini dingin.

“Komar, kamu harus tegar,” suara Pak Kabul, penasihatnya, terdengar di telepon tadi pagi.

Tapi bagaimana bisa? Ia sudah memberikan segalanya. Energi, uang, bahkan nama baiknya yang sangat moncer. Sebagai Tokoh yang sering jadi dapat proyek kerjaan negara dan juga proyek strategis bahkan.

“Kalah kok bisa, ya, Partai pendukung juga banyak?” tanya seorang tetangga dengan nada heran. Pertanyaan itu terus menggema di pikirannya, seolah menampar harga dirinya yang terpandang kini jadinya remuk.

Mereka lupa, politik bukan sekadar angka. Bukan hanya tentang seberapa banyak partai berdiri di belakangmu, tapi seberapa dalam luka dan stigma yang harus kau terima sebagai seorang laki-laki hebat.

“Kau lancar jadi apa saja di karirmu mau jadi pemimpin. Bisa apa sih saat debat terjadi?” kata seorang lawan politik di salah satu debat itu tajam. Ia hanya tersenyum waktu itu, tapi hatinya koyak.

Namun, malam ini, di tengah kesendirian dan kesedihan, Komar berbisik dalam hati. “Aku kalah hari ini, tapi aku tidak akan menyerah.”

Air mata yang menetes bukan tanda kekalahan, melainkan pengingat bahwa perjalanan ini belum selesai. Ia tahu, jalan yang dipilihnya penuh liku, atoi ia laluin cepat. Kini tekadnya lebih besar dari rasa sakit yang membelenggu, harus maju meskin kalah.

Esok pagi, Komar akan bangkit. Bukan sebagai calon pemimpin yang kalah, tapi sebagai laki-laki yang belajar dari kekalahan. Hujan perlahan mereda, membawa harapan baru di ujung jalan persimpangan ini hanya kenangan saja dan ia akan berlari.***

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here