Identitas Kultural Kita dan Mantra Teranyar Dunia
Membincangkan seni mau tak mau kita akan tenggelam lebih dalam ke ceruk-ceruk palung kesadaran tentang sebuah proses yang panjang dalam retakan-retakan sejarah. Ekspresi-ekspresi pengetahuan yang dinamis ratusan tahun dari sekelompok masyarakat yang sahih disebut kebudayaan yang melumuri paras dunia.
Seni kemudian dimaknai hanya salah satu produk ekspresi kultural! Hasil dari proses rumit dan kompleks sebuah kebudayaan yang menampung bagaimana manusia memahami eksistensi dan interaksi ‘sesama kaum’ pun yang dianggap di luar kebudayaan mereka yang saling membeda itu.
Kajian-kajian tentang ‘identitas budaya sebuah kaum”, yang menyangkut tentang nilai-nilai, keyakinan dan warna kulit selalu menjadi potensi menciptakan kesadaran baru sekaligus konflik teranyar bagi bumi yang kita hidupi bersama saat ini.
Fenomena Trump baru-baru ini yang menggertak dunia dengan Perang Tariff selain resistensi Tiongkok yang membalasnya lebih sengit dan saat sama ‘ancaman perang terbuka yang merembet ke beberapa kawasan’ selain konflik Rusia-Ukraina serta India-Pakistan dan yang sudah lama berperang: Israel dan palestina,– semua peristiwa itu memaksa kita pada sekenario terburuk dengan segera ke “pintu-pintu Perang Dunia ke-3”.
Hutington versus Fukuyama dan Jalan Kebudayaan?
Dua ‘anak-emas’ akhir abad ke-20, yakni cendekiawan politik dan pengamat geo-politik Samuel Huntington dan rekannya Francis Fukuyama, adalah ‘dua seteru’ yang sama-sama piawai ‘meramalkan’ masa depan dunia. Mereka berdua punya argumen kokoh dan keduanya sangat kontras melihat cakrawala dunia usai Perang Dingin berakhir.
Huntington tenar dengan bukunya Konflik peradaban atau The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996), sebuah tesis yang memberi panggung konflik di dunia modern tersebab perbedaan peradaban! Bukan lagi perbedaan ideologi atau ekonomi. Huntington menyusun sugesti besar bahwa peradaban seperti Barat, Konfusianisme, Jepang, Islam, Hindu, Slavik-Ortodoks, dan Amerika Latin akan menjadi sumber konflik terpanas di masa depan.
Intinya, ia menyampaikan bahwa konflik global beralih dari pertentangan ideologis (misalnya antara komunisme dan kapitalisme) ke benturan berbedanya sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan terutama: keyakinan.
Hutington menyatakan bahwa globalisasi justru memberi amunisi yang memanas konflik antar peradaban yang meningkatkan eskalasi kesadaran bahwa perbedaan dan identitas adalah sebuah keniscayaan. Tentu kita ingat bahwa OBOR-nya Tiongkok dengan One Belt One Road yang diinisiasi pemerintah Tiongkok pada 2013 dengan sasaran pembangunan di 70 negara dengan wilayah layanan: Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah bahkan “infiltrasi produk-produk tertentu” ke Amerika selama ini bukanlah “perang laten yang tak main-main” terjadi sampai pada 2025 ini.
Modernisasi pun globalisasi telah memicu Tiongkok kembali pada akar-akar identitas budayanya dengan konfusianisme? Sementara, regionalisme ekonomi meningkatkan kesadaran peradaban bagi Tiongkok? Kita masih terus menebak-nebaknya sampai saat ini.
Sementara, Francis Fukuyama dengan bukunya The End of History and the Last Man (1992) menawarkan dengan rasa optimis nan jumawa bahwa kelahiran demokrasi liberal Barat hampir dipastikan sebagai evolusi sosial-kultural bagi populasi bumi.
Sebuah konsep yang dianggap paling ideal yakni: manusia dan bentuk pemerintahan tersahih, seperti katanya “Yang kita peluk di masa depan adalah sebuah kepastian, Perang Dingin ideologis telah lapuk serta masa-masa era paska perang yang sia-sia dan berakhirnya sejarah. Dunia dengan tak tergoyahkan akan memilih demokrasi liberal ala Barat sebagai “bentuk pemerintahan global” tersahih.
Fukuyama bersikukuh sejarah telah purna—dalam koteks Hegelian—publik global merengkuh pasar bebas, liberalisme total mendominasi; yang mana Huntington ngotot bahwa sebaliknya, yakni: akar-akar kebudayaan dan etnisitas yang justru menjadi sumber utama konflik global.
Kita masih ingat bahwa pada 2018, setahun menjelang Pilpres 2019 di Indonesia tersengit, Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. Ia membaca tuntas novel Ghost Fleet; novel techno-thriller tahun 2015 yang lagi-lagi karya dua pengamat politik dari Amerika Serikat, yaitu PW Singer dan August Cole yang menarasikan ‘dongeng skenario perang dunia’. Cerita “apokaliptik versi Barat” ini dipicu perlawanan Amerika Serikat dengan Tiongkok dan Rusia yang saling bersekutu.
Novel seru ini menggambarkan serangan teknologi canggih yang dilancarkan China dan Rusia terhadap Amerika Serikat di Samudra Pasifik serta melibatkan perang siber yang menjadi narasi penting novel tersebut. Yang paling menegangkan pun mencengangkan kita tentu saja, raibnya Republik Indonesia dari peta dunia tahun 2030. Meski ini sekedar dongeng, cendekiawan serta pengamat asing dan Amerika serikat tersemat disana, sebuah misteri melaburkan perspektif motif pembuatan novel.
Balik ke tesis Fukuyama sebagian telah hilang dengan Trump mengobarkan Perang Tariff di 2025, yang berarti pasar bebas serta “omongan selangit” Fukuyama raib pula? Mungkin saja Hutington benar, meskipun bisa jadi tak hanya fundamen kebudayaan dan keyakinan serta ras yang paling penting sebagai identitas. Namun, perebutan sumber-sumber daya alam dengan motif ekonomi yang Fukuyama tetap menjadikan alasan konflik berbasis ekonomi.
Mahbubani dan Ekspresi Kemajemukan Kultural Asia
Cendekiawan dari Asia, setidaknya wakil dari negara tetangga kita, Singapura yakni Kishore Mahbubani. Ia seorang kolumnis di harian The Washington Post era awal 2000-an serta seorang mantan diplomat, juga professor di Sekolah Kebijakan Publik di Lee Kuan Yew School of Public Policy hingga tahun 2017.
Mahbubani memiliki perspektif menarik, dalam bukunya “Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global ke Timur” atau The New Asian Hemisphere: The Irresistible Shift of Global Power to the East (2009) yang mengkritisi dunia Barat; dan hendak mengabaikan realitas bahwa era dominasi mereka telah usai; serta memberi masukan bahwa Barat selayaknya beradaptasi dengan dunia yang mana mereka tak lagi satu-satunya peradaban nomor wahid.
Ia mendesak urgensinya kemitraan global untuk mencari solusi. Barat tak usah merasa “post-power- syndrome” yang telah lengser dengan posisi kebangkitan damai Tiongkok dan dampaknya terhadap tatanan dunia anyar. Mahbubani bahkan berterus-terang bahwa bagaimana Asia selama beberapa dekade ini berhutang pada Barat, dengan ‘Tujuh Pilar Kebijaksanaan Barat’ yang berkontribusi terhadap kemajuan Asia, yang tiga terpenting adalah: Ekonomi pasar bebas, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, serata budaya Meritokrasi.
Tinjauan utama tesis Mahbubani yakni keniscayaan Asia kembali menjadi Pusat Dunia, seperti sirkulasi masa lampau ‘dunia-dunia lama yang hadir kembali’. Abad ke-21 kita semua menyaksikan dengan tak tergoyahkan bahwa kembalinya Asia sebagai kekuatan utama di dunia, yang dipimpin oleh Tiongkok.
Tiongkok pastinya menjadi kekuatan utama selain Barat, yang memberi arah maju dan tidaknya segala lini kehidupan di dunia, yang nantinya perlu dibincangkan dengan damai agar tatanan dunia tidak terganggu. Buku Mahbubani yang ditulis bersama Jeffery Sng juga menyoroti keberhasilan ASEAN dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan, berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa Timur-Balkan, Tmur Tengah, konflik Rusia dll yang memanaskan ketegangan geo-politik global.
Ia membuka wawasan bahwa keberhasilan ASEAN meski kaya akan keragaman budaya, etnis, dan keyakinan, semuanya berjalan baik-baik saja. Bahkan Mahbubani saking optimisnya berujar “ASEAN satu-satunya kawasan yang dianggap sebagai model kemitraan antar negara paling berhasil di muka bumi!”
Dari mencermati tesis ke-tiga cendekiawan politik serta kebijakan publik dunia—Hutington, Fukuyama serta Mahbubani– kita bisa menarik asumsi sementara; bahwa tak bisa dilepaskan bahwa eksistensi kebudayaan serta penampang besar melumuri tentang dinamika kepentingan ekonomi, warisan sejarah serta dinamika geo-politik memang memaksa kita kembali menelaah eksistensi budaya kita di tanah Air.
Gobalisasi meraih percepatannya dengan sangat mengagumkan pada abad 21 ini, bentuk budaya yang berakar ratusan tahun di Nusantara pun budaya masal terkini merasuk dan menjelajah cepat, melumpuhkan sekaligus menggedor kesadaran bahwa kesenian, kembali pada akar-akar identitasnya dan perkembangannya terkini yang palih sahih.
Mantra tentang Glo-cal, global sekaligus lokal meski klasik masih terus mendengung tak henti dan Kemenbud (Kementerian Kebudayaan) semestinya—usai transisi kepemimpian politik yang melelahkan pada 2025—memulai menakar kembali, siapa sebenarnya kita?
Apa seterusnya yang akan kita bawa dalam visi selangit kebijakan Asta Cita Budaya itu dan seturut narasi artikel diatas? Penulis berimajinasi, selayaknya Negara mempercayai warganya. Bagaimanapun ikhtiar ekspresi komunal yang tidak dihambat yang berarti kemandirian warga untuk mengembangkan potensi pengetahuan lokalitasnya, intelektual pun nilai-nilai kulturalnya adalah identitas yang wajib terus dikembangkan dan kelak akan memberi warisan pada dunia dengan ke-Asiaan kita.
Bambang Asrini Widjanarko, kerani seni
Sponsor