Home AGENDA Grup Musik SKTN, Bukan STNK yang Kena Tilang Polisi

Grup Musik SKTN, Bukan STNK yang Kena Tilang Polisi

0

Loading

Grup SKTN, Bukan STNK Kena Tilang POLISI

Catatan : Imam Wahyudi *)

KREASI seni dikangkangi, bukan cuma sedari kini. Di antara mendorong berkreasi, akhirnya tetap saja dikangkangi. Kreasi berupa sindiran, terlebih kritis terhadap penguasa — tak kuasa leluasa. Bahkan harus sembunyi.

Atasnama dan demi apa pun, hal yang kerap membuat telinga penguasa memerah itu berlangsung dari rezim ke rezim. Kran ekspresi (kritik) seni pernah kembali mengalir atasnama pulih demokrasi. Bergulir Gerakan Reformasi 1998: Ketika, Saatnya Kita Bebas Bicara. Kran demokrasi terbuka lagi. Toh, kembali berputar arah : antara ada dan tiada.

Kreasi grup musik Sukatani (SKTN) dari Kota Purbalingga, Jateng — kabarnya mengusik Presisi Polri. Padahal cuma diksi polisi yang harfiah bersifat universal. Tak lebih dari kreasi dan ekspresi seni. Bukan hendak menghakimi.

Dalam setiap peradaban yang menandai kemajuan dalam kecerdasan dan kebudayaan), senantiasa lahir gagasan. Begitu pula pada komunitas seni. Tak seragam dan melulu mengusung genre pop hingga dangdut yang sarat eksploitasi cinta dan nestapa.

Pada setiap zaman, senantiasa hadir seniman dan musisi yang gerah dengan kemapanan. Tak kecuali grup SKTN dengan karya fenomenal bertajuk Bayar, Bayar, Bayar. Fakta di lapangan dalam keseharian, begitu adanya. Kebetulan atau bukan kebetulan, yang dirilis diksi polisi.

Keterangan tidak tersedia.Esensi seni musik dan berlagu itu menghibur. Lirik yang sederhana dan mudah dicerna. Lewat bait-bait lagu, dimaknai sebagai harmonisasi. Nada, rupa, gerak dan syair. Selebihnya apresiasi dengan meningkahi berjoget dan gerak apa pun. Sejatinya, ya cuma itu. Tanpa pretensi, SKTN patut diapresiasi. Mendongkrak popularitas di blantika musik negeri.

Grup musik SKTN terpaksa berhenti Bayar, Bayar, Bayar. Moga saja, tak lagi ada aksi “bayar polisi”. Tak ada lagi, ini itu, bayar polisi. Stop, demi Presisi Polri.

Tragedi karya seni itu, melengkapi pembegalan pentas Wawancara dengan Mulyono di Bandung, 15 – 16 Februari lalu. Garapan Teater Payung Hitam dengan sutradara senior, Rahman Sabur. Pihak rektorat Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung mendadak melarang. Pintu arena digembok, justru pada saat hari pertunjukan. Itulah begal. Tak kurang Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mengecam keras tindakan arogansi yang menjegal kebebasan berekspresi. Justru di kampus seni yang mestinya tinggi apresiasi.Mungkin gambar teks yang menyatakan 'Pentas Teater Payung Hitam WAWANCARA dengan MUL LYONO DIGEMBOI DIGE MBOK'

Poster yang digembol dan pintu gerbang masuk ruang Studio Teater yang akan jadi tempat pentas Teater  Payung Hitam “Wawancara dengan Mulyono” digembok/ ist

***

Perjuangan Suku Naga yang dipentaskan Karya maestro budayawan WS Rendra /ist

BAHKAN di era orde baru yang dikenal represif dan otoriter, kritik lewat seni berupaya hadir. Meski berlangsung di antara tirai sembunyi.

Lakon _Perjuangan Suku Naga_ yang dipentaskan di Gedung Merdeka Bandung 1975. Karya maestro budayawan WS Rendra. Dimainkan awak Bengkel Teater Yogyakarta. Mengritisi seputar lingkungan hidup dan penyelewengan politik di negeri rekaan bernama Kerajaan Astinam.

Pada era yang sama, WS Rendra lewat pergelaran teater Menunggu Godot. Mengangkat naskah dramawan asal Irlandia, Samuel Beckett peraih Nobel Sastra pada 1969 (Versi bahasa Inggris Waiting for Godot ditayangkan perdana di London pada tahun 1955.  Oleh British Royal National Theatre pada tahun 1998/99, drama tersebut terpilih sebagai “pertunjukan berbahasa Inggris paling signifikan di abad ke-20”) berjudul sama, Waiting for Godot. Sebuah sindiran tentang ketidakberdayaan manusia. Tentang “yang ditunggu” dan “yang menunggu”. Separuh abad lalu, yang rasanya masih relevan dalam kekinian. peraih Nobel Sastra pada 1969

Sederet musisi pun tak pernah kering pesan kritik sosial. Iwan Fals dengan Surat Buat Wakil Rakyat, Manusia Setengah Dewa hingga Surat Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Selintas di level dunia, lagu kritik sosial karya Bob Dylan bertajuk Masters of War.

Menggali Eksperimentasi Musik Harry Roesli

Harry Roesli (ist)

Legenda Harry Roesli lewat lagu Malaria (1978), menandai aksi Perjuangan Mahasiswa 1977/78 di Bandung. Sebuah sindiran terhadap rakyat kecil yang tiada daya sama sekali. Ibarat nyamuk yang sekali tebas langsung mati terkapar. Setahun sebelumnya (1977), karya pentas lainnya, Rock Opera Ken Arok. Berbalut kisah cinta Ken Arok dan Ken Dedes, dengan tambahan kritik-kritik sosial untuk rezim orde baru. Pun Musik Sikat Gigi (1981) dari naskah Yudhistira ANM Massardi.

Doel Sumbang, musisi bengal dari Bandung, era 1980 – 1990an — yang masih eksis kini. Gaya bermusik unik dalam balutan pos Sunda. Sarat kritik sosial hingga diapresiasi dalam karya ilmiah berupa skripsi S-1.

Ayo nyalakan api hatimu, seribu letupan pecah suara, sambut dengan satu kata: Merdeka..! Bait lagu Nyanyian Tanah Merdeka (1977) karya Leo Kristi yang selalu beratribut merah-putih. Tak kecuali penyanyi balada, Franky Sahilatua.

***

GRUP musik SKTN, bukanlah STNK (surat tanda tanda nomor kendaraan -pen) yang mesti dibayar. Gagal bayar, bisa kena tilang. Bayar, Bayar, Bayar sudah kadung ambyar. Konon, Polda Jateng cuma bertanya dan klarifikasi. Namun, SKTN toh melakukan take down YouTube. Entah mengapa?!

Bait lagu yang tak perlu diartikan gebyah uyah. Tentu, masih banyak kawan polisi yang tak berlabel bayar dan patuh berprilaku baik. Namun sebuah karya, tak mudah memilah. Diski polisi tak melulu sama institusi (Polri).

Kapolri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo pernah membuat pernyataan bijak. “Saya sampaikan, Yang berani mengkritik paling pedas untuk polosi — itu jadi sahabatnya Kapolri” Terhadap lagu karya SKTN pun, dikatakan : “Tak masalah, tak keberatan dengan lagu tersebut.”

Bila itu adanya, awak grup musik SKTN Purbalingga boleh jadi Sahabatnya Kapolri. Semoga.***

*) jurnalis senior di bandung.

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here