Energi Empati dan Proses Kreatif Masa Krisis
Adalah sejumlah pihak yang cenderung sensitif tatkala sebuah peristiwa mengaduk-aduk emosi secara personal, salah satunya adalah mereka yang berprofesi seniman.
Biasanya orang-orang kreatif ini terpapar tak langsung dengan kondisi-kondisi khusus yang menimpa sebuah masyarakat yang saat sama memantul pada dirinya. Sebuah cermin besar tentang aku dan mereka setara.
Sebuah kondisi psikis yang membuncahkan energi-energi sangat personal yang kemudian kita kenal itu dengan dengan kata yang sebenarnya rumit dan memuat kompleksitas kejiwaan, yakni: empati.
Dari sejarah, kita sebut saja bahwa Picasso melahirkan Guernica, lukisan istimewa yang dikenang dunia yang meski bagi apresian awam masa itu, gaya kubistiknya agak membingungkan, mengabstraksikan kehancuran kota Guernica di Spanyol.
Biang keladinya, tentara Jerman Nazi dan Italia yang Fasis merajalela menebar kebengisan pada 1937. Di Museo Reina Sofía di Madrid, lukisan Picasso itu saat ini masih ada ribuan orang mengantri tiap tahun ingin meyaksikan saksi-bisu karya seniman moncer abad ke-20 ini, mengilustrasikan penderitaan dan kehancuran tersebab perang dengan seni.
Beda dengan lukisan hitam putih Picasso, abad itu juga publik seni mengenal karya muram hitam-putih master etching yang menghentak dari seniman perempuan jenial Jerman, yakni Kathe Kollwitz. Misalnya karya yang jadi fenomenal yakni Woman with Dead Child, 1903; dengan sangat realistik ia gambarkan hubungan yang intim anak-ibu yang menguarkan kesedihan yang teramat sangat sebab luka tragedi perang, kematian dan kelaparan dengan gamblang.
Bagaimana Kollwitz dan Picasso memulai tersentuh pada jiwa mereka, peristiwa-peristiwa tragik itu, kemudian menyusun fragmen-fragmen artistiknya, seterusnya melahirkan karya-karya yang kita kenal sekarang sebagai karya yang menggugah batin?
Setiap kritikus dan ilmuwan seni punya perspektif berbeda antara memahami pergumulan batin sang seniman dan kondisi-kondisi khusus yang membuat mereka (seniman tersebut) melahirkan karya masterpieces.
Para akademisi yang tertarik pada politik-estetika tentunya mengaitkan bahwa dua seniman itu memang terpantik untuk berbuat lebih pada tatanan masyarakat yang sedang ambruk oleh angkara-murka. Sebuah teater kehancuran disebab oleh kekuasaan, namun dalam konstruksi kejiwaan yang sangat intim, seniman-seniman tentunya terpapar sebuah kegundahan akut.
I took as my starting-point a saying of the poet-philosopher, Schiller, that ‘hunger and love are what moves the world”, kata Freud. Seorang cendekiawan psikoanalisa awal yang membuat pernyataannya barusan, mengakibatkan ia tenar. Sigmund Freud berujar bahwa inti dunia psikologi adalah pengetahuan tentang dualitas yang dinamakan sebagai laku instingtif dan laku kesadaran yang menggerakkan manusia di dunia.
Bisa jadi Picasso dan Kollwitz menyemai dualitas yang disebut Freud, bahwa adanya pikiran dan hasrat tubuh yang menyatu tentang perasaan penderitaan, yakni kesakitan yang dimiliki para korban perang, yang diartikan bebas sebagai kondisi biologis mengada di diri dua seniman itu.
Saat sama, menghadirkan naluri pencarian solutif atas kasih pada sang liyan yang kita sebut empati; pada kehidupan lewat pikiran, yang kelak disebut Ego dalam teori Freudian.
Pengetahuan dualitas tadi, menggerakkan manusia dalam menciptakan karya seni diperoleh Freud dari pengamatannya pada penyair dan filosof Friedrich Schiller, yang hari ini kita kenal sebagai konsep tentang Instinctual Drives.
Pada tataran selanjutnya, Freud mengenalkan pada kita tentang konsep yang membedakan antara insting yang disebut sebagai Id, hasrat terdalam manusia. Selain tentang Ego yang cenderung naluri yang lebih tertata dan rasional dalam mengendalikan hasrat atau Id tersebut.
Tragedi Mei dan seniman-seniman muda kita
Mengenang Tragedi Mei 1998, sebuah ingatan kehancuran juga menyeruak bulan ini. Manusia-manusia terbunuh dan di bunuh di negeri yang konon dibangun dan dimaknai dulunya sebagai masyarakatnya yang welas-asih. Mendadak membara, membakar dan amok meluluh lantakkan apa saja di bulan Mei sebagai peristiwa kerusuhan masal.
Usai tiga-puluh tahun mengalami gejolak seorang penguasa yang didakwa publik sososk otoritarian dan seniman-seniman kita dalam rentang puluhan tahun sebelum puncak tragedi yang melengserkan penguasa, telah melahirkan karya lukisan-lukisan, patung, instalasi, seni-aktivisme, bahkan menyimbolkan kengerian-kengerian visual.
Simak patung-patung mayat sebuah ‘kuburan masal’ sebagai yang kita kenang jelang 1998, yakni karya Semsar Siahaan dengan instalasi seni Penggalian Kembali dalam pameran seni rupa Jakarta Biennale IX, 17 Desember 1993–17 Januari 1994.
Poster Marsinah Karya Semsar Siahaan
Kita mengenal Semsar tentu bukan masa yang mana seni kolektif tenar sebagai kerja-kerja bersama kelompok seniman dan masyarakat telah mulai “dibakukan”. Seperti banyak cendekiawan seni rupa menjulukinya sebagai seni yang ‘terlibat-dialogis’; dengan publiknya secaqra langsung dan saling mempengaruhi.
Namun seniman-seniman yang berekspresi secara personal, yang terlibat langsung dalam peristiwa- peristiwa kelam masa lalu; tentu menjadi ‘perdebatan estetis’ tatkala peristiwa-peristiwa tragedi nasional lain, sepanjang 1965-1966 belum sepenuhnya diteliti kedekatan langsung relasi seniman individu-publiknya yang kemudian terjalin keeratan bersama membuat karya-karya kolektif.
Dengan demikian, tak hanya kesadaran dan seniman sebagai invidu yang kemudian menggugah empati sebagai apa yang dikatakan Freud diawal tulisan. Tetapi juga kesadaran kolektif, ingatan bersama dan pergerakan yang punya visi sama dalam wilayah artistik.
Yang tentunya, dalam konteks tersebut, kesetaraan dipanggungkan, seniman dan masyarakat yang tercerahkan. Utamanya, tatkala ide-ide dasar tak harus datang dari individu seniman, sebab mereka bersama membangun secara kolektif sebuah karya yang mandiri.
Cendekia seperti Grant H Kester pun Jaques Ranciere tentunya bisa jadi rujukan bahwa seni yang dihasilkan ‘atas kolaborasi’ semacam seniman-seniman dan publiknya, berkarya bersama bisa disuguhkan hari-hari ini dengan sejumlah teori-teori tentang kekuasaan, seni-estetika pun yang berkarakter ‘aktivisme’.
Sebagai contoh, apa yang juga dilakukan tak terlalu lama, sejumlah seniman jalanan aka street artist; memasuki wilayah Wadas.
Mereka menerakan di sejumlah tembok, papan, poster di bangunan- bangunan, rumah-rumah warga; gambar-gambar dan teks provokatif. Kita kenal Wadas adalah wilayah konflik yang menggegerkan nasional tersebab warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah berseberangan dengan pihak Pemerintah Indonesia, dalam hal ini aparat kemanan ikut terlibat sejak 2019.
Para seniman jalanan itu — dalam konteks tulisan ini adalah individu-individu seniman—tersentuh peristiwa dan membuncahkan empati pada nasib warga Wadas yang mengkhawatirkan penambangan terbuka batuan andesit yang berada di wilayah desa tersebut. Yang kelak dijadikan bahan baku pembangunan Bendungan Bener membuat kerusakan-kerusakan ekologis yang di akhir hari menciptakan penderitaan warga.
Kembali pada ingatan dan ‘Peringatan Tragedi Mei’, nampaknya memang beum ada tanda-tanda pun gaung yang kuat pada memori-memori kita yang kemudian melahirkan ‘raksasa baru’, seniman-seniman muda dan kuat paska Semsar dan kawan-kawan lain di era Orde Baru yang masih eksis sampai sekarang bersuara. Regenerasi selayaknya sudah dan akan terjadi, waktunya seniman-seniman muda beraksi.
Dengan kesetaraan teknologi yang mengakses media-sosial sebenarnya banyak sekali ketimpangan- ketimpangan yang menjadi energi empati kita pada kesenjangan yang terjadi, ketidakdilan pun derita sebagian masyarakat kita. Tak perlu menjadi Picasso atau Kollwitz untuk hadir dan berempati, apalagi tentunya kita tak berharap adanya perang di negeri sendiri.
Bambang Asrini, kerani seni
Sponsor