SENI.CO. ID – Menjelang akhir tahun pemerintah daerah dan pusat senantiasa memberi anugerah pada masyarakat dan organisasi masyarakat yang mendedikasikan hidupnya bagi bidang yang digelutinya, bermaanfaat bagi orang banyak, dan mengharumkan daerah atau negaranya. Seperti halnya di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ada pemberian Anugerah Maestro bagi pelaku seni. Mereka yang diberi anugerah selain dapat sertifikat juga mendapatkan sejumlah uang.
Tapi realitanya penerimaan anugerah tidak semua medapatkan setimulan uang. Seperti anugerah yang diberikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI yang deberikan pada organisasi masyarakat (ormas). Kemendagri tampaknya hanya memberi piagam semata.
Dadan Sutisna, wakil yang menerima Anugerah Ormas bagi Yayasan Rancage mengeluhkan, karena tidak sesuai dengan ekspektasinya. “Saya semakin memahami mengapa Éka Kurniawan menolak Anugerah Kebudayaan dari Kemendikbud. Demikianlah kenyataannya, negara ini terlalu arogan dan meréméhkan kerja-kerja kebudayaan. Aprésiasi dari negara terkadang hanya untuk menunjukkan sikap “sok perhatian”, agar diliput berbagai media, seakan-akan meréka benar-benar peduli terhadap kebudayaan.
“Senin kemarin, saya menyaksikan sendiri suatu prosési megah di hotél méwah. Sebuah penganugerahan (dan juga katanya penghargaan) dengan émbél-émbél tingkat nasional, diserahkan oléh menteri, disaksikan ratusan orang, tetapi penerima anugerah hanya mendapatkan piagam dan sejenis piala. Barangkali meréka beranggapan bahwa para penerima anugerah itu semacam perusahaan kaya raya yang tak perlu memikirkan ongkos dan akomodasi, datang dari berbagai pelosok di Indonésia dengan bekal melimpah,” keluh Dadan (28/11/2019) di akun media sosialnya.
Lanjut Dadan, ini terjadi di Kementerian Dalam Negeri yang kini dipimpin oléh yang terhormat Prof. H.M. Tito Karnavian, Ph.D. Beliaulah yang menyerahkan piagam-piagam penganugerahan itu kepada delapan organisasi masyarakat dari berbagai bidang di Indonésia.
“Menuju penghujung tahun, pemerintah mémang getol memberikan anugerah ini dan itu, mulai dari tingkat kabupatén hingga nasional. Namun, sepengetahuan saya, sangat jarang lembaga pemerintah yang memberikan anugerah hanya berupa piagam dan piala saja. Apalagi setingkat nasional. Misalnya, Senin kemarin Kota Bandung memberikan Anugerah Budaya dengan tambahan hadiah uang tunai 15 juta. Awal Oktober lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan anugerah kepada 59 maéstro, pegiat, serta komunitas budaya, masing-masing mendapat 50 juta rupiah. Masih di awal Oktober, Kementerian Pariwisata memberikan Anugerah Pewarta Wisata Indonésia dengan hadiah utama 100 juta rupiah. Juga masih banyak anugerah lainnya dari berbagai lembaga,” ujar Dadan.
Papar Dadan, Kemendagri pun menggelar Penganugerahan Penghargaan Ormas Tahun 2019. Ada delapan bidang yang diberi penghargaan tersebut, salah satunya adalah kebudayaan. Konon, setelah melalui prosés seléksi dari sekitar 400 ribu Ormas di Indonésia, muncullah tiga nominé untuk masing-masing bidang. Yayasan Kebudayaan Rancagé merupakan nominé untuk bidang kebudayaan.
Sebelumnya, pada tanggal 29 Oktober 2019, dirinya dan Étti RS mewakili “Rancagé” untuk memenuhi undangan wawancara. Mereka datang ke kantor Kemendagri dan bertemu dengan para nominé dari daérah lain, di antaranya Yayasan Baileo dari Maluku. Setelah berbincang-bincang beberapa saat, mereka dipanggil satu per satu, ditanyai banyak hal oléh para juri. Dadan pun menyampaikan hal apa adanya, bahwa memajukan kebudayaan daérah bukan hal énténg di tengah berbagai keterbatasan. Selama 31 tahun Rancage memberikan hadiah kepada para penulis berbahasa daérah, tanpa henti. Sekadar upaya kecil, tapi Rancage terus melakukannya demi menghidupkan sastra dan bahasa daérah di Indonésia. Setiap acara penganugerahan, Rancage menyediakan hotél, akomodasi, piagam dan uang tunai bagi penerima penghargaan. Uangnya sebagaian dari para donatur atau terkadang ‘ngutang’ dari sana-sini.
Juri pun bertanya lagi, bagaimana perhatian pemerintah selama ini? Pernah ada, tapi ala kadarnya, dan tentu saja tidak bersinambung, sekadar “usum-usuman”. Yang bersinambung dari pemerintah hanyalah soal pajak. Meréka getol sekali menagih pajak, bahkan pada yayasan paling miskin sekalipun. Juri tampak manggut-manggut, entah kagum atau mungkin pula menganggap upaya sebuah organisasi masyarakat semacam kegilaan di éra milénial.
“Setelah wawancara, kami menyerahkan berbagai dokumen: profil lembaga, vidéo, foto-foto, dan lain sebagainya. Oh iya, kami juga digiring ke sebuah ruangan untuk diambil rekaman vidéo. Étti RS kemudian menyampaikan pesan dengan segala keluwesannya. Habis dari kantor Kemendagri, sambil menunggu keberangkatan mobil travél kami mencicipi sup ikan patin yang harganya enam kali lipat porsi nasi goréng yang biasa saya beli,” jelas Dadan.
Dadan menjelaskan, undangan itu datang sekitar seminggu lalu. Para nonimé diminta menghadiri acara di Hotél Kartika Chandar, Senin tanggal 25 Novémber 2019. Penerima anugerah diumumkan pada acara tersebut. Sayang sekali ketua dan wakil ketua pengurus Rancagé berhalangan hadir—atau mungkin ini semacam sinyal. Akhirnya Dadan dan Apipudin menyatakan siap mewakili Rancagé.
“Segera siapkan cap, kuitansi, nomor rékening, dan perlengkapan administrasi lainnya,” perintah Dadan kepada Apip sebelum berangkat.
Paparnya, mereka berdua masih beruntung sebab para nominé dari Maluku atau Bali harus memikirkan tikét pesawat untuk datang ke ibu kota. Bandung—Jakarta tidak terlalu jauh. Kelak bisa ditempuh setengah jam menggunakan keréta cepat, tiga jam lebih dengan keréta api tidak cepat, kurang dari setengah hari dengan menunggangi kuda, dan sehari lebih dengan berjalan kaki. Dadan dan Apip memilih cara sederhana, yaitu menumpang mobil Dhipa Galuh Purba untuk mengirit ongkos. Mereka berangkat hari Senin pukul 01.30 dini hari, tanpa tidur terlebih dahulu.
Dadan merasa khawatir, suara Apip sedikit serak setelah main téater “Perampok” di tiga kota. Dhipa tampak lunglai sekali sehingga saya terpaksa duduk di balik kemudi. Mereka melintasi jalan tol diiringi alunan Euis Komariah, dan tiba di sebuah kantor bertepatan dengan azan subuh. Mereka melepas lelah di musala, lalu dalam keadaan terkantuk-kantuk berangkat ke Hotél Kartika Chandra menggunakan mobil yang “dikendalikan” oléh aplikasi buatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Meskipun dengan mata memérah, Dadan dan Apip hadir tepat waktu. Panitia membimbingnya ke sebuah kursi yang telah disiapkan. “Duduklah dengan manis, ini kursi pemenang,” ungkap Dadan.
Tambahnya, ruangan itu megah dan gemerlap. Méja bundar tersusun rapi dilingkari kursi-kursi. Mereka disambut vidéotron yang tengah menayangkan capaian-capaian pembangunan di negara ini. Senyum merekah dari perwakilan para pemenang yang dikumpulkan di satu méja. Seseorang lalu memberi arahan apa yang harus dilakukan nanti. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu kebangsaan, kemudian sambutan-sambutan dari para pejabat penting, lalu ada diskusi seputar peran organisasi masyarakat.
Tibalah pada sajian inti. Para nominé diumumkan melalui tayangan multimédia dan pembawa acara membacakan nama lembaga yang mendapat anugerah—serupa pengumuman piala Oscar. Bapak Menteri Dalam Negeri kemudian menyerahkan piagam kepada delapan Ormas dari masing-masing bidang. Ada juga penghargaan katégori khusus “bakti sepanjang masa untuk Indonésia”. Selain itu, beberapa pemerintah daérah menerima penghargaan atas keberhasilannya “membina Ormas”, antara lain Pemerintah Jawa Timur yang langsung diterima oléh Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Acara ditutup dengan ramah tamah, foto bersama, dan makan-makan.
Tak ada pengumuman bahwa dalam penghargaan itu ada hadiah tambahan selain piagam—misalnya papan besar bertuliskan angka untuk ditukar dengan rupiah. Dengan malu-malu Apip bertanya kepada panitia, ‘apakah sudah boléh pulang?” Dan jawabannya, “boléh”.
“Sambil menunggu tumpangan di pinggir jalan, saya sempat membuka média daring yang tengah gencar memberitakan acara tersebut. Tentu saja, média-média tersebut lebih fokus pada apa yang dikatakan oléh menteri daripada mewawancari para penerima anugerah. Sementara itu, saya lebih mengharapkan pada keterbukaan (atau mungkin kejujuran) dari Kementerian Dalam Negeri, semacam perkataan bahwa pihak mereka hanya menyediakan anggaran untuk membikin acara megah, dan tidak ada anggaran sepésér pun untuk hadiah uang. Lebih élok lagi jika perkara itu disampaikan jauh-jauh hari. Misalnya; untuk penginapan, tikét pesawat atau keréta, silakan nyari sendiri. Kalau mau tambahan hadiah uang, silakan ambil dari tabungan masing-masing,” kelakar Dadan.
Dari tempat acara, Dadan dan Apip memutuskan untuk mencari seteguk kopi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun, seakan tak ada lagi keakraban di tempat itu. Mereka rasakan ruang budaya di TIM kian menyempit. Di pinggir jalan mereka disambut bentangan bénténg. Mereka tidak jadi masuk. Dadan berharap rékan Apip menggelar aksi téatrikal seorang diri di trotoar, tapi langkahnya sudah terséok-séok akibat kantuk.
“Ini bukan semata-mata persoalan uang. Kami tentu memahami apabila kemampuan anggaran pemerintah di tingkat kementerian untuk para penerima anugerah sudah mentok sampai piagam dan piala. Meskipun belum lama ini salah satu télévisi swasta ternama bisa mendapat anugerah dari kementerian lain dengan limpahan uang 100 juta, sementara bagi yayasan kecil hanya berupa piagam, bukanlah sesuatu yang patut dicemburui jika aturannya seperti itu. Apa pun tindakan pemerintah selalu mengacu pada aturan, tapi semestinya aturan tersebut disampaikan kepada masyarakat. Setidaknya, hal itu membuat kami berpikir ulang untuk menghémat tabungan yang dipakai bolak-balik ke ibu kota,” pungkas Dadan. *(DS/MANG)