Home AGENDA Catatan Budaya: YPK, Seniman, dan Media Pribumi

Catatan Budaya: YPK, Seniman, dan Media Pribumi

0
Gedung YPK Foto ini diambil tahun 1920 saat walikota Bandung B. Coops.

Loading

SENI – Gedung YPK atawa Yayasan Pusat Kebudayaan nama awalnya Villa Evangeline.
Bagi banyak tokoh baik seniman, budayawan bahkan media. Gedung ini sangat bersejarah. Berada di seberang Gedung Bank BJB pusat saat ini tepatnya Jalan Narian No.7 – 9 Bandung. Salah satu gedung ajang pertunjukan seni seperti wayang golek, pentas tari tradisional Sunda, teater, lomba, pameran lukisan, atau seni lainnya dan aktivitas media. Bangunan seluas 2000 meter persegi ini tidak pernah sepi dari aktivitas pada masanya.
Gedung YPK terlihat agak menonjol karena bangunan yang art deco. Bahwa gedung ini merupakan gedung bersejarah tentu ceritanya panjang karena dipakai oleh Societeit Ons Genoegen, salah satu klub masa lalu selain Societet Concordia yang menempati Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka) di Grotepostweg (Jalan Asia Afrika). Jika Societet Concordia termasuk perkumpulan elit khusus untuk orang Belanda totok, maka Societet Ons Genoegen keanggotannya bisa untuk Belanda indo atau pribumi.

Bangunan yang sekarang bisa kita sebenarnya sudah versi yang lebih baru, dibangun tahun 1930 dengan arsitek G.J Bel. Oens Gnoegon ini memegang peranan penting pada jaman pergerakan. Para tokoh pergerakan sering sekali mengadakan pertemuan untuk membahas pergerakan nasional disini. Sebagai contoh Soekarno, yang tinggal tidak terlalu jauh dari Jalan Naripan ini.

Namun itu sejarahnya dan kisahnya adalah saat ini gedung di ronvasi dan saat renovasi ambruk inilah yang membuat sejumlah seniman Bandung bikin aksi. Tulisan aksi seniman Bandung di tulisan lainnya kita bahas. Namun kita bicara siapa saja yang lahir di YPK ini agar tidak lupa pada sejarah. Berikut lengkapnya:

STB dan Suyatna Anirun
Semua tahu dan kenal Suyatna Anirun. Ia dikenal sebagai Suhu Teater Indonesia terutama di bidang keaktoran. Sebutan yang muncul karena dedikasinya yang tak pernah putus pada teater Indonesia. Lahir di Bandung 20 Juli 1936 dan meninggal 11 Januari 2002. Bergaul dengan dunia drama atau teater sejak masih menjadi pelajar di SLA, dan sejak itu teater tidak pernah lepas dari kehidupannya. Pada 30 Oktober 1958, ketika kuliah di Departemen Seni Rupa ITB mendirikan Studiklub Teater Bandung, bersama-sama dengan Jim (Lim) Adilimas (yang sejak tahun 1967 menjadi aktor di Paris, Prancis), Sutardjo Wiramihardja, Tien Sri Kartini, Soeharmono Tjitrosoewono, Gigo BS, dan Adrin Kahar. Sejak itu setiap tahun disutradarainya sekitar empat pergelaran teater (drama modern). Hampir semua drama terkenal yang merupakan naskah standar, baik nasional maupun internasional, pernah disutradarainya. Naskah Indonesia yang pernah disutradarainya antara lain, karya-karya: Saini KM, Dtuy T. Sontani, Kirjomulyo, Achdiat K. Miharja, Ajip Rosidi. Sedang naskah dunia yang pernah disutradarainya antara lain karya Anton Chekov, WB Yeat, Robert Anderson, Archikola Gogol, Ben Johnson, Yevgency Schawwart, Moliere, Bertolt Brecht, Hendri Von Kliest, Frederich Durrenmatt, Sophokles, Goethe, Albert Camus, Girradoux, Shakespeare, Schiller.

Selain menyutradarai, ia juga bermain dalam pergelaran yang disutradarainya, terutama pergelaran dalam kurun waktu 1958 sampai 1980-an. Pemainnya dalam pergelaran-pergelaran itu selalu mendapat pujian dari para penonton, maupun para kritisi, dalam peran apapun. Ketika bermain sebagai Raja Lear, dalam pergelaran King Lear, karya William Shakespear, yang juga disutradarainya sendiri merupakan karya paling monumental. Pada usianya yang ke 50 (Mei 1987) dia tampil sangat memikat, sehingga Arifin C. Noer menulis Suyatna tampil dalam setiap adegan dengan daya pikat yang sangat kuat. Dan puncak keseniannya tampil pada saat Lear berada pada puncak kegilaannya (Tempo, 1987).

Pergulatannya dengan Teater Indonesia tidak hanya terbatas pada penyutradaraan dan menjadi aktor, tetapi juga di bidang penerjemahan dan penyaduran karya-karya dunia. Karya terjemahannya adalah Arwah-Arwah (WB Yeats/1958), Pinangan (Anton Chekov/1958), Paman Vanya (Anton CheChekov/1961), Musa dan Fir’aun (Chrisoper Fry/1967), dan Karto Loewak(Ben Johnson/1982). Karya sadurannya antara lain Di Pantai Baile (WE Yeats),Burung Camar (Anton Chekov), Mawar Biru (Tenessee Williams), Jangan Biarkan Pagi Datang (Tenesse Williams), Tembang Perkasa (Joseph O’Connor), Tabib Tetiron (Malire), Pengadilan Anak Angkat (Bertolt Brecht), Jambangan yang Pecah (Hendrik von Kleis), Prabu Randumulus(Durrenmat), dan Kuda Perang (Goethe).

Buku yang pernah ditulisnya antara lain Catatan Perjalanan I, II, III (Buku Memoir yang diterbitkan terbatas), Hakikat Seni Peran (1979, Proyek Pengembangan Kurikulum STSI Bandung), Ikhtisar Teknik Penyutradaraan Teater Modern (1995, Proyek Pengembangan Kurikulum STSI Bandung),Pengantar Kepada Seni Peran (1979, Proyek Pengembangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat), Bagi Masa Depan Teater Indonesia (1983, PT. Granesia Bandung), Oeidipus dan Sang Pendekar (1987, Penerbitan Terbatas), Teater Untuk Dilakoni (1993, diterbitkan dalam rangka ulang tahun STB ke-35) dan Menjadi Aktor (1998). Penghargaan yang pernah diperoleh: 1993 menerima Anugerah Seni untuk Bidang Teater dari Menteri P & K RI. Ia juga dikenal di dunia jurnalistik, sejak 1974 menjadi karyawan redaksi harian umum Pikiran Rakyat. 1990-1992 mengasuh Ruang Kebudayaan harian umum Bandung Pos. 1992-1994 Pengasuh Mitra Budaya, Ruang Budaya Tabloid Mitra Desa. Mengasuh Studiklub Teater Bandung.

encyclopedia/83a9eeaff4bd321709489c53a0c0a20d

Dalam catatan ini saya hanya ingin membuka tabir bahwa Pada periode 1950-1980, Gedung YPK pernah jadi ajang para budayawan Bandung seperti seniman Teater Jim Liem (Jim Adilimas), Suyatna Anirun, bersama anggota Studiklub Teater Bandung (STB); sastrawan Ajip Rosidi, Rustandi Kartakusumah, Rahmatullah Ading Affandie (RAF), bersama seniman lainnya. Begitu pula bagian bangunan utama pernah dipakai sekretariat Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda (LBSS).

Status Gedung ini sekarang adalah milik negara, tapi hak penghunian adalah YPK. Sejak ditetapkan sebagai gedung kesenian pada 1949, gedung ini banyak menelurkan para seniman berprestasi. Tidak sedikit seniman ‘berumah’ di YPK menunjukkan prestasi, seperti Bing Slamet, Upit Sarimanah, Ade Kosasih, Asep Sunandar, dan lainnya. Tempat ini memang biasa digunakan juga untuk ajang Binojakrama padalangan di Bandung. Pembenahan demi pembenahan dilakukan pada gedung historis ini. Maklum gedung ini sudah cukup tua. Tahun 1976 penataan kembali ditingkatkan, secara bertahap dengan dana seadanya pengelola tak mau gedung ini terbengkalai.

Pada perkembangan selanjutnya, Gedung YPK juga dijadikan alamat sekretariat beberapa paguyuban seni dan budaya, salah satunya Caraka Sundanologi. Gedung YPK kini difungsikan sebagai gedung kesenian dilansir dari laman www.voiceofbandung.com

Bing Slamet
Bing Slamet

Bing Slamet pun dari YPK

Ada nama Bing Slamet, Upit Sarimanah, Ade Kosasih, Asep Sunandar, dan lainnya teratri dalam saksi gedung YPK. Inilah sejarah yang tidak bisa diangga sepele.
Saya tak kenal Bing Slamet namun saya tahu dalam catatan sejarah. Dia aktor Indonesia.
Dan ia ada dalam gedung YPK, sejak Status Gedung YPK milik negara itu, tapi hak penghunian adalah sejak ditetapkan sebagai gedung kesenian pada 1949, gedung ini menelurkan para seniman berprestasi. Tidak sedikit seniman ‘berumah’ di YPK menunjukkan prestasi itulah, seperti Bing Slamet, Upit Sarimanah, Ade Kosasih, Asep Sunandar, dan lainnya. Tempat ini memang biasa digunakan juga untuk ajang Binojakrama padalangan di Bandung. Pembenahan demi pembenahan dilakukan pada gedung historis ini. Maklum gedung ini sudah cukup tua. Tahun 1976 penataan kembali ditingkatkan, secara bertahap dengan dana seadanya pengelola tak mau gedung ini terbengkalai. sumber www.voiceofbandung.com
Inilah Bing Slamet biar semua kenal  siapa dia yang pernah menjadi seniman berbakat lahir dari YPK. Bing Slamet dari Wikipedia bahasa Indonesia.
Bing Slamet Bing Slamet diawal kariernya sebagai pemusik Latar belakang Nama lahir Ahmad Syech Albar Lahir 27 September 1927 di Cilegon, Meninggal 17 Desember 1974 (umur 47) Jenis musik yang digeluti Pop, Pop Melayu. Ia sebagai Aktor, pelawak, penyanyi  yang aktif  tahun 1939 – 1974.
Dari Istrinya Ratna Komala ia memiliki anak Lukman Syah, Hilman Syah, Firman Syah, Iman Syah, Uci Bing Slamet, Iwan Syah, Adi Bing Slamet, Iyut Bing Slamet.
Salah satu maestro lawak Indonesia pada masanya bersama Kwartet Jaya, grup yang terdiri dari Bing Slamet, Ateng, Iskak dan Eddy Sud. Namanya sebenarnya pertama kali berkibar ketika bergabung dengan grup musik Eka Sapta yang dimulai pada tahun 1963, bersama beberapa nama terkenal seperti Yamin Wijaya, Ireng Maulana, Itje Kumaunang,Benny Mustapha dan Idris Sardi. Selain itu dia juga banyak bermain dalam film-film komedi pada era tahun 1960-an dan 1970-an. Untuk mengenang kepergiannya, Titiek Puspa menciptakan lagu berjudul Bing.
Bing Slamet seolah dilahirkan sebagai penghibur yang bertugas menghibur siapa saja. Bahagia dan gelak tawa kelak merupakan jasa yang ditampilkan Bing dalam kesempatan apa saja termasuk menghibur para pejuang dengan berkeliling Indonesia antara kurun waktu 1942-1945. Di balik corong mikrophone radio, Bing bahkan tampil sebagai agitator yang menyemangati pejuang menghalau kaum penjajah.  Sejak tahun 1939 dalam usia 12 tahun, Bing Slamet telah ikut mendukung Orkes Terang Bulan yang dipimpin Husin Kasimun. Bakat seninya yang luarbiasa mulai terlihat di sini. Setahun menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Bing ikut bergabung dengan kelompok teater Pantja Warna.
Tampaknya, seni merupakan dunia yang dipeluk Bing Slamet. Ia bahkan menampik keinginan orang tuanya yang mendamba sang putera tercinta untuk menjadi dokter maupun insinyur. Walau sempat mengenyam bangku HIS Pasundan, HIS Tirtayasa, Sjugakko, dan STM Pertambangan.
Pilihan Bing bulat: mengabdi untuk seni.  Bing Slamet lalu bergabung pula pada Divisi I Brawijaya sebagai Barisan Penghibur. Di sini, kemampuannya bermusik dan melawak mulai terasah. Seolah tanpa pamrih, Bing lalu bersedia ditempatkan di kota mana saja. Bing yang mulai masukRadio Republik Indonesia (RRI) kemudian ditempatkan di Yogyakarta dan Malang.
Ia pun sempat bergabung di Radio Perjuangan Jawa Barat.  Pada tahun 1949, untuk pertama kali suara baritone Bing Slamet menghiasi soundtrack film Menanti Kasih yang dibesut Mohammad Said dengan bintang A. Hamid Arief dan Nila Djuwita.  Kariernya di bidang tarik suara sebetulnya terlecut ketika memasuki dunia radio. Di RRI, Bing Slamet banyak menyerap ilmu dan pengalaman dari pemusik Iskandar dan pemusik keroncong tenar, M Sagi, serta sahabat-sahabat musikal lainnya seperti Sjaifoel Bachrie, Soetedjo, dan Ismail Marzuki.
Dan, yang banyak memengaruhinya adalah penyanyi Sam Saimun yang dikenalnya sejak bertugas di Yogyakarta pada tahun 1944.
Bagi Bing, Sam Saimun adalah tokoh penyanyi panutannya. Tak sedikit yang menyebut timbre vokal Bing sangat mirip dengan Sam Saimun.  Dan dia meninggal di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1974 karena penyakit liver yang ia derita. terakhir sebelum menghembuskan nafas terakhir sempat bermain film terakhirnya berjudul Bing Slamet Koboi Cengeng yang dibintangi oleh Ateng dan Iskak  Main film & Rekaman.
Bing Slamet pada tahun 1970-an dalam salah satu film-nya Pada tahun 1950, Bing mulai menjejakkan kaki di dunia sinema sebagai aktor. Antara tahun 1950 sampai 1952, Bing Slamet aktif pada Dinas Angkatan Laut Surabaya dan Jakarta. Pada tahun 1952 saat Bing ditempatkan lagi di Jakarta, dia bergabung di RRI Jakarta dan mulai aktif mengisi acara bersama Adi Karso. Bakat dan kemapuan musiknya mulai memuncak saat bergabung di RRI hingga tahun 1962.  Pada tahun 1955, Bing Slamet mulai menoreh prestasi dengan menjadi juara Bintang Radio untuk jenis Hiburan. Piringan Hitam Bing pun mulai dirilis pada label Gembira Record dan Irama Record. Ia terampil menyanyikan langgam keroncong hingga pop dan jazz. Selain menyanyi, Bing pun memainkan gitar sekaligus menulis lagu. Salah satu tembang pertama yang ditulisnya bersama gitaris jazz, Dick Abell, adalah ‘Cemas’ .  Lalu, bermunculanlah lagu-lagu karya Bing Slamet lainnya, semisal ‘Hanya Semalam’, ‘Risau’, ‘Padamu’, ‘Murai Kasih’, hingga ‘Belaian Sayang’. Lagu yang disebut terakhir dianggap sukses di mata khalayak. Bing Slamet bisa menyanyikan dengan fasih lagu berbahasa Minang ‘Sansaro’,dengan luwes Bing menyanyikan lagu ‘Selayang Pandang’ dari ranah Melayu. Bing adalah penyanyi serba bisa yang memiliki fleksibiltas tak tertandingi.  Rekaman rekaman single Bing Slamet di era 50-an diiringi oleh Orkes Keroncong M Sagi dan Irama Quartet yang didukungNick Mamahit (piano), Dick Abell (gitar), Max Van Dalm (drum), dan Van Der Capellen (bas). Bing Slamet pun membangun sebuah kelompok musik yang diberi nama Mambetarumpajo, merupakan akronim dari Mambo, Beguine, Tango, Rhumba, Passo Double, dan Joged, yang saat itu adalah jenis musik untuk mengiringi dansa.  Pada tahun 1963, pria ini membentuk sebuah grup musik yang diberi nama Eka Sapta dengan pendukungnya, antara lain Bing Slamet (gitar, perkusi, vokal), Idris Sardi (bass,biola), Lodewijk Ireng Maulana (gitar, vokal), Benny Mustapha van Diest (drum), Itje Kumaunang (gitar), Darmono (vibraphone), dan Muljono (piano). Eka Sapta menjadi fokus perhatian, karena keterampilannya memainkan musik yang tengah tren pada zamannya. Eka Sapta lalu merilis sejumlah album pada label Bali Record, Canary Record, dan Metropolitan Records, yang kelak berubah menjadi Musica Studio’s. Eka Sapta adalah kelompok musik pop yang terdepan di negeri ini pada era 60-an hingga awal 70-an.  Bing Slamet hebatnya mampu membagi konsentrasi antara bermain musik, menyanyi, bikin lagu, melawak, dan main film layar lebar. Setidaknya ada 20 film layar lebar yang dibintanginya, mulai dari era film hitam putih hingga berwarna. Bing pun tercatat beberapa kali membentuk grup lawak antara era 50-an hingga 70-an di antaranya Trio Los Gilos, Trio SAE, EBI, dan yang paling lama bertahan adalah Kwartet Jaya bersama Ateng, Iskak, dan Eddy Soed.

Sejarah Koran Pribumi Nasional Pertama di YPK

Gedung YPK nama awalnya Villa Evangeline. Tahun 1904 gedung dini digunakan sebagai kantor badan hukum NV Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften “Medan Prijaji”. Badan hukum yang dibuat oleh RM Tirto Adhi Soerjo (1878-1918) tokoh pers Indonesia yang menerbitkan koran Medan Prijaji.

Medan Prijaji adalah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung pada Januari1907 hingga Januari 1912. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji menjadi koran pertama yang dikelola pribumi dengan uang dan perusahaan sendiri.

Sebelum menerbitkan “Medan Prijaji”, pada Januari 1904 Tirto Adhi Soerjo bersama H.M. Arsad dan Oesman mendirikan dulu badan hukum N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften. “Medan Prijaji” beralamat di Djalan Naripan,Bandung, yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK). N.V. ini dicatat sebagai N.V. pribumi pertama dan sekaligus NV pers pertama dengan modal sebesar f 75.000 yang terdiri atas 3.000 lembar saham.

Dengan dana tersebut terbitlah Medan Prijaji dengan format mingguan yang terbit tiap hari Jum’at. Surat kabar yang berukuran seperti buku atau jurnal mungil (12,5×19,5 cm) tersebut dicetak di percetakan Khong Tjeng Bie, Pancoran, Betawi. Rubrik tetapnya adalah mutasi pegawai, salinan Lembaran Negara dan pasal-pasal hukum, cerita bersambung, iklan, dan surat-surat. Terkadang artikel-artikel panjang itu didesain dalam dua kolom, namun sebagian besar dituliskan dalam satu kolom seperti jurnal.

Suara koran ini menjadi kritik pedas bagi pemerintah kolonial dan alamat pengaduan bagi setiap pribumi yang diperlakukan tidak adil oleh kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan usaha mandiri mencetaknya. Maka dengan pengetahuan dan pengalaman niaganya, diwajibkan bagi calon pelanggan untuk terlebih dahulu membayar uang muka berlangganan selama satu kuartal, setengah, atau satu tahun, yang saat ini kita kenal dengan sebutan saham. Dilobinya beberapa pangrehpraja yang tertarik dengan gagasannya. Jadilah dua orang penyumbang dana besar, yakni Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja dan Sultan Bacan Oesman Sjah. Masing-masing menyumbang f 1.000 dan f 500.

gedung-ypk_604Ketika pertama kali terbit di Bandung, “Medan Prijaji” mencantumkan moto di bawah nama “Medan Prijaji” sbb: “Ja’ni swara bagai sekalijan Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda“.

Delapan asas yang diturunkan Tirto Adhi Surjo di halaman muka edisi perdana, antara lain memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, disebut nama-nama para pengelola Medan Prijaji. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah Tirto Adi Soerjo, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di ‘s Gravenhage, sebagai redaktur di Belanda. Juga disebut adanya beberapa journalist bangsa Tiong Hoa dan pribumi antara lain Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.

Pada tahun 1910 di Betawi, “Medan Prijaji” terbit tiap hari kecuali hari Jumat dan Minggu dan hari raya. Nomor 1 terbit pada 5 Oktober 1910.

Rubrik yang paling digemari adalah surat dan jawaban serta penyuluhan hukum gratis yang disediakan Medan Prijaji kepada rakyat yang berperkara. Usaha inilah yang menjadikan koran ini berkembang. Simpati pun datang melimpah-limpah hingga pada tahun ketiga terbitannya, tepatnya Rebo 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah menjadi harian dengan 2000 pelanggan yang menurut laporan Rinkes: “untuk harian Eropa di Hindia pun sudah merupakan jumlah bagus, lebih-lebih untuk harian Melayu….”

Ketika pertama kali terbit menjadi harian tetap, mengambil tahun IV karena tahun I, II, dan III masih mingguan yang terbit di Bandung. Di bawah judul surat kabar harian “Medan Prijaji” itu tertulis moto: “Orgaan boeat bangsa jang terperentah di H.O. Tempat akan memboeka swaranya Anak-Hindia“. Di zaman itu, merupakan sebuah keberanian luar biasa mencantumkan moto seperti itu. Medan Prijaji menjadi surat kabar pembentuk pendapat umum, berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda pada masa itu. Kecaman hebat dan pedas yang pernah dilontarkannya terhadap tindakan-tindakan kontroler.

Medan Prijaji mengambil posisi sebagai corong suara publik. Sebagai aktivis pergerakan, tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Prijaji tak pernah berbasa-basi, tapi menunjuk muka langsung. Hampir tak ada satu pun kebijakan kolonial yang dirasa memberatkan rakyat yang lolos dari pemberitaan Medan Prijaji. Di seluruh karesidenan Jawa, Medan Prijaji bukan lagi taman, tapi benar-benar medan berkelahi. Di Banten, Rembang, Cilacap, Bandung, diperkarakannya banyak hal.

Salah satu kasus terkenal adalah perkara di Kawedanan Cangkrep Purworejo. Medan Prijaji dengan bahasa terbuka memuat artikel tentang persekongkolan jahat antaraAspirant Controleur Purworejo A Simon dengan Wedana Tjorosentono yang mengangkat lurah Desa Bapangan yang tak beroleh dukungan warga. Sementara kandidat pertama yang didukung, Mas Soerodimedjo, malah ditangkap dan dikenakan hukuman krakal. Terbakar oleh amarah melihat penyalahgunaan wewenang itu Tirto menyebut pejabat tersebut sebagai monyet penetek atau ingusan dalam Medan prijaji No 19, 1909. Investigasi atas kasus itu didukung 236 warga Desa Bapangan dan warga ini pula mengirim surat kepada Tirto yang berisi dukungan pasang-badan kalau-kalau Tirto kena denda atas tulisannya.

Tirto memang kalah dalam perkara persdelict dengan A Simon itu dan dibuang ke Lampung dua bulan. Tapi dari kasus itu, Medan Prijaji mendapat perhatian pers di Belanda dan Tirto berkesempatan berkenalan dengan Anggota Majelis Rendah Belanda Ir HH van Kol dan pemuka politik etik Mr C Th van Deventer dipasarkan hingga di daratan Eropa.

Dari sepak terjang itu Medan Prijaji pun menjadi model pertama dari apa yang kelak disebut sebagai surat kabar pergerakan, mendahului Sarotomo, Soeloeh Indonesia, ataupun Daulat Ra’jat. Yang khas Medan Prijaji terletak pada kegiatannya yang tak berhenti dengan sekadar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa si kawula. Medan Prijaji, lagi-lagi, menjadi pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi.

Nomor terakhir terbit 3 Januari 1912 tahun VI. Pada 23 Agustus 1912 Medan Prijaji pun ditutup. Mas Tirto Adhi Surjo, juga dituduh menipu sejumlah orang yang berhimpun di Vereeniging van Ambtenaren bij het Binnenlandsch Bestuur (Perhimpunan Amtenar Pangreh Praja). Dua bulan setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. Mas Tirto Adi Soerjo disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).

Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto dan proses pendirian Medan Prijaji diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jejak Langkah, buku ke-3 dalam Tetralogi Buru.

Koran yang diterbitkan dalam bahasa Malayu tersebut mulai terbit pada tahun 1907. Awalnya koran ini berupa koran mingguan serta disebarkan juga ke luar Bandung. Tiga tahun dari waktu tersebut, Medan Prijajiterbit Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Sabtu, kecuali hari Jumat, Minggu, dan hari-hari besar.  Tirto juga mendirikan Soeoleoh Keadilan danPutri Hindia (1909). Media masa saat penjajahan kolonial umumnya mengutip berita politik pemerintah dari koran Belanda atau akrab disapa ‘pers putih’, namun tidak dengan media Tirto.
Dengan bakatnya dan jaringan yang cukup baik,
medianya kala itu mengkritisi dan kebijakan kolonial yang semena-mena. Seperti memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi. Hal itulah yang dianggap bahaya oleh pemerintah Belanda. Akibatnya, Tirto kerap diteror bahkan mendapat hukuman. Pada 1912 Medan Prijaji runtuh.
Pada zaman Walanda, Gedung YPK digunakan untuk Societet (Balai Pertemuan) yang dinamakan Ons Genoegen. Di tempat ini pada zaman Belanda biasa dipakai untuk main bilyar, catur, main kartu, serta ajang menonton hiburan yang biasanya berupa orkes kecil-kecilan. Pada tahun 1930-an, para tokoh politik nasional seperti Bung Karno dan kawan-kawan sering mengadakan vergadering (sidang) di gedung ini. -SENI/dbs/KLN
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here