AI: Ancaman atau Berkah di Karya Seni?
SEBELUM panjang lebar membahas seni dan artificial intelligence (AI), kita sejenak memeriksa, seturut itu pantas menekuri sesuatu. Yakni tentang laporan dari Digital 2025 Global Overview, yang menyatakan 98,7% warga Indonesia usia 16 tahun ke atas getol mengakses internet lewat smartphone.
Rekor tertinggi, yang kemudian ranking nomor dua dari seluruh negara di dunia disabet Filipina (98,5%), disusul Afrika Selatan (98,5%). Masyarakat kita tak hanya doyan ngalor-ngidul bercakap lewat media sosial, menenteng ponsel untuk bersosialisasi, namun sudah pada taraf mencandu (addicted).
Yang memprihatinkan, data-data tersebut melengkapkan fenomena melek digital yang tentunya sangat rendah; disertai ancaman ponsel-ponsel pintar menjadi lahan terbuka untuk tindak kriminal. Seni kemudian menjadi sebuah wilayah terkucil, yang gagap meraba-raba dalam gelap, sungguh peran apa yang disandangnya semenjak sebelum datangnya era Covid-19, sempat ada euphoria dengan fenomena NFT, Non-Fungibel Token.
Jenis karya seni digital yang menjadi hype dan sempat mengguncang balai lelang mapan dunia dengan sistem pembayaran criytocurrency. Seni kemudian dipegang erat-erat oleh anak-anak muda, semisal Sekar, mahasiswi ITB yag barusan statusnya menjadi ‘tahanan rumah’ pihak keamanan sebab wajib melanjutkan sekolah, yang ia sebelumnya mendapatkan riuh-rendah ‘panggung perhatian’ dari netizen kita usai meme ‘Ciuman maut Presiden” karyanya beberapa hari ini. Sekar dikepung bimbang, jika kita ikuti media sosialnya, bagaimana jiwa muda ini sangat kritikal dan amat marah dalam status-status media sosialnya.
Salah satunya, tentang kritik tajam pada pemangku kebijakan publik agar memperhatikan dampak kecerdasan artifisial (AI) pada kondisi negeri yang sedang dilanda susah. Dengan data-data yang dihimpun oleh Digital Global Review 2025 tentang masyarakat digital kita, sepertinya itikad Sekar sungguh mudah dipahami untuk sesegera mungkin Pemerintah melakukan regulasi-regulasi di wilayah AI, namun ‘maha-sulit’ direalisasikan dengan kebijakan- kebijakan yang membumi. Indeks melek digital masyarakat kita masih di angka 3,5 dari level 5, dan dalam taraf terendah di dunia.
Semisal, yang berarti kemampuan pengelolaan untuk peningkatan kesejahteraan di bidang ekonomi minim saat sama kita ditampar fenomena judi-online sebagai kerangkeng kejahatan pun pelemahan daya tahan masyarakat berpenghasilan rendah. Seni lagi-lagi tertinggal jauh? Jangankan mampu secara kolosal ‘memberdayakan’ ekonomi dan sekaligus memaksimalkan apresiasi publik, yakni tentang karakter-karakternya yang bersifat imajinatif, membuat masyarakat tercerahkan secara komunal, sesungguhya semata-mata itu semua adalah utopia?
Karya-karya seni digital hilir mudik di IG Story dan reel-nya saat sama juga digeber di Vt, tiktok video. Tapi semua hanya masih permulaan, segalanya setapak-demi setapak sedang dibangunkan, AI bukan ancaman pada karya seni. Sebaliknya menggugah kembali potensi kita sebagai manusia utuh.
Mereka —manusia dan mesin pintar– berjalan beriringan, teknologi ‘berkawin’ dengan seni sejak lama, ratusan tahun lampau, dan sekarang digelisahkan jiwa-jiwa muda; tak terkecuali oleh Sekar, sang mahasiswi ITB dari fakultas seni dan desain dengan meme ‘Ciuman maut Presiden’ itu! Dua Keping Penanda: Seni dan Teknologi adalah Keniscayaan Zaman Seorang teoritikus budaya dan pemikir jenial pada 1935, Walter Benjamin dengan esainya yang menggebrak dunia dengan tinjaun sederhana namun klasik dengan tajam membuat revolusi: The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction, yakni seni selayaknya mengikuti zaman dengan era reproduksi mesin.
Benjamin adalah child in time, anak zaman. Ia, sebagai pemikir yang melihat akhir abad 19 fotografi ditemukan dan menjadi kehebohan para kritikus seni dan art dealer di abad 20 dengan ramalan jenis karya seni ada pada masa senjakala alias segera mati.
Terbukti itu tidak terjadi, bahkan lukisan-lukisan di era modern masih menjadi magnet cuan jutaan dolar AS di lelang-lelang bergengsi dunia, semisal: Van Gogh, Cezzane, Piet Mondrian nyampe Jackson Pollock.
Benjamin menegaskan bahwa lukisan memang telah kehilangan “zat auratiknya” saat itu, yakni sentuhan indera fisik manusia, contohnya “greget” visual sebab sentuhan tangan pelukis, cecap -gempita pun “keringat seniman”.
Mitos itu segera gugur; jika mengimajinasikan bahwa produksi seni mencantolkan pada ide, logika pun yang dianggap mewadahi sensifitas spiritual yang abstraktif dalam “jiwa”. Meminjam Immanuel Kant sebagai sesuatu yang berkarakter “tremendun at fascinatum”.
Sebuah karya yang membuat getar batin manusia berderak terhdap sesuatu obyek tertentu yang dianggap sakral. Dua keping penanda sejatinya adalah teknologi, yang pertama; apakah ia berbentuk Artificial Intelligence (AI) atau seni robotik tetaplah sebuah diskursus reproduksi mesin dan sifatnya membantu seniman. Yang kemudian, ia menjadi ancaman serius dalam keping ke-2, tatkala digunakan secara bias dalam “kejahatan etis”; yakni kejujuran seniman tidak mengakui ia dibantu proses produksi seninya dengan mesin-pintar.
Dua keping penanda lain, tak kalah pentingnya; adalah sebagai ‘asisten ahli’ seniman yang canggih secara teknis. AI menjadi demikian fleksibel dan cepat menyediakan berbagai perangkat terkini dan model2 terutama metode tercanggih tentang instrumen visualisasi.
Kita cukup membuat konsep sederhana, bernarasi dengan elok; serta segera memerintahkan lewat aplikasi tertentu maka visualisasi mengagumkan ‘lebih elok dari selinya’ terwujud. Dan yang kedua, AI bagaimanapun tak bisa menjadi penanda sahih kompleksitas batin manusia, menggantikan konsep-konsep tentang misalnya: bagaimana Anda mengada di dunia ini?
Dari mana dan apa itu cinta? Apa yang menggerakkan manusia dan seniman sebuah konsep misalnya: “welas asih?”
Penulis sendiri pernah mencoba kemampuan Ai di aplikasi khusus percakapan WA, sebagai orang Jawa mencoba berdialog dengan sang mesin; dengan menggunakan metafora-metafora atau perumpamaan. Diimbuhkan diksi-diksi kompleks pun rumit; berbagai simbol-simbol pepatah Jawa dan hasilnya tetap nihil, AI gagal paham.
Seni yg dianggap “auratik” memang “sudah wafat”, sebagai wacana yg dianggap lapuk dan sebagai artefak sejarah, tapi di industri makin menengemuka.
Paradoks ini lumrah dan seluruh ekosistem seni dunia menyetujuinya. Usai Joseph Kosuth muncul, pionir seni konseptual dari Amerika Serikat itu menteror kecamuk ragu dari para kritikus seni dunia serta lagi-lagi datangnya teknologi justru membuka cakrawala baru serta diskursus seni anyar.
Kehadiran wacana-wacana yang kompleks lagi majemuk seperti apa itu seni performance, seberapa elok seni digital memerangkap daya nalar, dan sungguh happening art memukau refleks tubuh manusia serta seni instalasi dengan karakter pembacaan spasial ruang; yang menyaru arsitektur atau sebaliknya?
Bagaimana seni aktivisme dan gerakan-gerakan besar bahwa seni dan moral pun politik berkelindan?
Dan tentunyanya kredo Kantian dengan frasa “tremendum” acapkali sangat subyektif menubuh di diri seniman-seniman. Mesin, apakah itu bernama computer AI generated, sekedar alat bantu membuat teknologi sederhana dengan medium silk-screen untuk membuat ilustrasi karya-karya Andy Warhol, yang di Tanah Air tenar dengan stensil atau sablon; bisa Anda katakana semuanya sebagai berkah ketimbang ancaman! Pihak-pihak yang kurang terinformasi tentang itikad Sekar dan
AI dalam seni; atau sesiapa saja, wajib menerima anak-anak zaman. Sebuah fajar baru bahwa seni meski dengan teknologi terkini tetap membawa esensi nilai-nilai kemanusiaan, semacam energi empati kolektif, seperti dalam isu sekar: keprihatinan melihat nasib negeri.
Bambang Asrini Widjanarko, kerani seni

Sponsor