Pohon Mati Kala Mitos Senja
Cerpen:Taufan S. Chandranegara
Pohon itu mati sejak lampau, kini bagaikan patung zaman tegak ke langit. Berada di antara perbatasan hutan liar bersejajar hutan pinus. Mitos telah berkembang, umumnya menyebut pohon kutukan berbagai akibat, bergantung pada keniscayaan terkembang waktu.
“Tak ada lagi pohon itu.” Perlahan bergetar suaranya.
“Pohon mati, dimitoskan karena perbuatan setan.” Lebih perlahan, lebih bergetar, tubuhnya pun gemetar, berbagai kaleidoskop simpang siur, tumpang tindih di ingatannya. Kedua sahabat itu saling memeluk bahu.
“Jantungku super dag dig dug Kadrol.”
“Sama.”
“Penyakitmu kambuh lagi. Bahumu sedingin es.”
“Kau juga Patrol.”
Keduanya bersegera mengatur napas. “Bareng … Dua kali lagi.”
“Uhuu … Lagi, lepaskan napas perlahan-lahan. Huuu…” Keduanya, memandang satu titik fokus, tempat dimana pohon itu pernah tumbuh, lantas sirna tanpa sebab, serupa munculnya taman kota, keduanya tengah duduk di salah satu kursi taman itu, kini.
**
“Dia mengalami hipotermia.” Setelah kalimat akhir dari petugas medis itu. Tubuh Kadrol, membiru, menghitam, lantas retak perlahan berkeping bak kristal. Kadrol, dinyatakan mati akibat suatu pola dari segmen lingkaran misterius.
Petugas medis menjelaskan secara saksama, perlahan satu persatu, hingga Patrol dianggap mengerti. “Wah. Jadi semcam hukum sebab akibat kah, hal dialami oleh sobat saya itu?”
“Bisa dibilang demikian, terperinci kurang lebihnya.”
“Anda sangat yakin menjelaskan kepada saya.”
“Keyakinanku, seperti suara pandir tergaduh dugaan anda.”
“Maaf tuan petugas. Bukan maksud saya menduga-duga diagnosis anda. Pola misterius itu, maksud saya, sebenarnya. Tidak, sama sekali bercuriga pada diagnosis itu. Hanya saja …”
“Anda tidak terlalu yakin dengan penjelasan dari diagnosis itu kan? Demikian maksud anda.”
“Sama sekali tidak demikian, hal dari maksud saya…”
“Bisa anda jelaskan?” Bertendensi krusial.
“Begini …” Petugas menjelaskan sangat serius dengan suara amat perlahan, serupa berbisik. Hanya langit bisa mendengar. Tak berapa lama keduanya cekikikkan. Lantas saling bersalaman. Lalu saling berbisik serius. Lantas terbahak-bahak.
**
Perdebatan dua sahabat itu telah bergeser dari pola satu ke lain hal, hingga semakin kusut otak mereka. “Kamu sudah dinyatakan mati, bagaimana mungkin kau muncul di taman ini, menghubungi aku untuk kita saling jumpa. Gila kau!”
“Itu disebut siasat sobat. Kau tak pernah melihat jenazahku kan?”
“Hahaha …” Keduanya semakin terpingkal-pingkal.
“Pandir betul otak di kepalaku hahaha …” Terpingkal-pingkal hingga kursi taman tempat mereka duduk tercelentang. Mereka terus terbahak-bahak.
Saling menunjuk. “Cerdik! Kerja persemester! Lumayan!”
“Hahaha …” Meledak ngakak, keduanya.
***
Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.