Home Bahasa Pagar Makan Tanaman

Pagar Makan Tanaman

0
Ilustrasi AI | WAW

Loading

Pagar Makan Tanaman

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono

Di sebuah kota industri kecil di tengah negeri, awalnya Mukidi hanyalah seorang tukang kayu yang hidup normal berkecukupan. Ia dikenal gigih bekerja, walau sering kali lebih banyak bicara daripada mengolah kayu. “Palu dan paku itu ibarat hidup, mesti serempak memukul agar tak bengkok jalannya,” katanya pada seorang pelanggan, yang hanya mengangguk tanpa banyak paham.

Namun tetiba hidup Mukidi berubah drastis ketika sebuah partai politik berlogo Kerbau Bertanduk mencari figur lokal yang lugu namun potensial untuk dijadikan bintang boneka politik mereka. Mukidi, dengan wajah dan penampilannya yang kampungan, karakter lugu, penurut dan sangat mewakili sosok rakyat kecil pun dianggap cocok.

“Mukidi, kamu itu bukan sekadar tukang kayu lho. Tapi Bersama kami, kamu bisa jadi tukang bangun negara yang dicintai rakyatnya,” begitu kata seorang petinggi partai bersemangat. Mukidi tersenyum lebar, tak pernah ia duga hidupnya akan berubah secepat ini.

Langkah Mukidi melesat bak roket. Berawal dari sukses menjadi walikota di kota tempat tinggalnya, Mukidi sukses bertarung menjadi gubernur di Daerah Khusus Ibukota. Berkat sifatnya yang penurut, mau disuruh apa saja oleh konsultan politiknya termasuk masuk gorong-gorong dan menjual mimpi-mimpi tinggi yang ternyata bohong dan didukung kegigihan partai politik yang mengusungnya, akhirnya Mukidi pun sukses memenangkan pertarungan untuk menjadi presiden.

“Saya ini ibarat biji pohon yang ditebarkan angin. Tidak ada yang tahu di mana saya akan tumbuh, tapi jelas saya akan berakar kuat,” katanya dalam pidato pelantikannya sebagai presiden. Orang-orang bertepuk tangan, sementara beberapa politisi senior partai menghela napas panjang dan berharap Mukidi tetap penurut dan tahu diri.

Namun, saat Mukidi sudah memegang kendali negeri, sifat aslinya mulai tampak. Ia bukan lagi tukang kayu yang rendah hati, melainkan tukang kuasa yang rakus. Ia mulai membangun dinasti kekuasaannya sendiri. Anak-anaknya dijadikan pejabat, menantunya kepala daerah, iparnya ketua lembaga tinggi negara. Bahkan binatang piaraan kesukaannya pun nyaris dijadikan maskot pengganti lambang negara.

“Kekuasaan itu ibarat pohon rindang, siapa yang tak mau berteduh?” ujar Mukidi, dengan senyum yang dirasa meneduhkan, namun nyatanya menyesakkan dada.

Puncaknya adalah ketika Mukidi harus pensiun dari Presiden namun malah berambisi merebut kendali partai yang dulu membesarkannya. Para senior partai berkumpul dalam rapat darurat. Suasana tegang. “Ini gila!” kata Bu Awan, salah satu pendiri partai, “Mukidi itu seperti pagar yang memakan tanaman yang harusnya dia jaga dan lindungi sendiri.”

Mukidi, yang malu-malu namun terpaksa hadir dalam rapat tersebut, hanya tertawa kecil. “Bu Awan, pagar memang harus kuat, bahkan jika itu berarti tanaman harus sedikit berkorban. Tanaman bisa tumbuh lagi, tapi pagar? Kalau rapuh, robohlah semuanya,” kilahnya membela diri.

“Tapi pagar tak seharusnya rakus! Anda lupa siapa yang menanam pohon pertama?” sergah Bu Rani, petinggi partai yang merupakan putri dari sang pendiri agak emosi.

Mukidi tersenyum. “Ibu Rani, saya ini ibarat pohon yang sudah menjulang. Akarnya bukan cuma di tanah ini, tapi sudah menembus dunia. Apa Ibu mau menebang pohon seperti itu?”

Sontak Bu Rani menjawab tegas, “Pohon setinggi apa pun, kalau daunnya layu dan akarnya rakus, ia hanya menunggu tumbang diterjang angin.”

Namun Mukidi tak peduli. Ia terus bergerilya melangkah dengan ambisinya untuk terus menguasai atau malah merebut paksa partai itu. Ia getol mendekati dan meminta bantuan tokoh-tokoh politik yang memiliki kekuasaan dan sudah dia pegang kartu buruknya. Tapi rakyat, yang dulu mendukungnya, kini mulai muak. Demonstrasi pecah di mana-mana, menuntut Mukidi diadili atas semua kesalahan, keserakahan, dan kebohongannya yang memporakporandakan nasib bangsa.

Di sebuah pidato terakhirnya, Mukidi mencoba membela diri. “Saya ini hanya ingin menjaga pohon bangsa ini agar tak ditebang sembarangan.”

Namun, seorang demonstran berteriak lantang dari kejauhan, “Tapi kamu lupa, Mukidi! Tanaman yang kau lindungi sudah kau makan! Rakyat ini tanahnya, dan kau merusaknya dengan ambisimu untuk keuarga!”

Mukidi terdiam. Untuk pertama kalinya, kata-kata yang dulu jadi senjatanya terasa tumpul. Nasibnya tinggal menunggu waktu saja. Mukidi, si tukang kayu yang pernah dijuluki penyelamat bangsa, kini hanya jadi pelajaran sejarah tentang keserakahan yang memporakporandakan sebuah bangsa.[]

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here