Home Bahasa Oknum Kok Mayoritas

Oknum Kok Mayoritas

0
Ilustrasi AI | WAW

Loading

Oknum Kok Mayoritas

Cerpen
WA Wicaksono
Bising lalu Lalang kendaraan tak pernah sepi menyelimuti warung kopi sederhana pinggir jalan antar povinsi itu. Namun di bangunan warung lugas inilah tempat di mana tawa dan keluh kesah rakyat bercampur dengan aroma kopi tubruk murahan yang justru terasa nyandu. Pagi itu, di tengah kepulan asap kopi hangat yang baru diseduh, seorang bapak tua yang dikenal dengan panggilan Pak Tohir, tengah berdebat sengit dengan kawan juniornya, Ujang, seorang pemuda dengan lidah tajam dan otak sarat metafora.
“Saya tuh heran, Kang,” ujar Ujang seraya mengaduk kopinya dengan sendok kecil dan meminggirkan ampas kopi yang mengambang di sekeliling lingkaran gelasnya, “Kenapa ya, di negara ini, polisi lebih sibuk main film laga daripada kerja nyata? Ada polisi tembak polisi, polisi hajar demonstran, polisi tembak sopir, polisi tembak pelajar, polisi bunuh istri, polisi bekingi cukong, polisi kelola tambang ilegal dan banyak drama buruk lainnya. Bahkan yang lagi rame sekarang, masak iya, nonton konser aja bisa kena denda tilang? Dalihnya sih pemeriksaan narkoba, ujung-ujungnya minta duit ratusan juta pada turis yang nonton konser. Padahal, yang benar-benar high itu sebenarnya adalah harga tiket konsernya lho, bukan penontonnya! Sungguh memalukan kang, gara-gara itu kita jadi sorotan negatif dunia internasional Kang”
Pak Tohir menyeringai, giginya yang tinggal separuh bersinar di bawah lampu bohlam kuning yang jarang dimatikan.
“Jangan semua-semuanya disalahin ke polisi, Jang. Yang begitu tuh pasti hanya oknum-oknum lah. Polisi kan tugasnya melindungi dan melayani.”
Ujang menepuk dahinya dengan drama berlebihan. “Oknum lagi, oknum lagi! Kalau yang korupsi itu pasti oknum, yang pungli, juga pasti oknum, yang nembak rakyat, lagi-lagi juga oknum, jangan-jangan, polisi yang baik itu malah cuma jadi minoritas saja di kesatuannya ya pak? Mungkin sebaiknya nama institusinya diganti aja menjadi ‘Kesatuan Oknum Republik Wakanda’ aja ya pak. Biar jujur dan jelas sekalian!”
Seisi warung meledak dalam tawa. Bahkan Pak Tohir yang biasanya sabar mulai tampak kesal.
“Kamu tuh bisanya cuma ngritik dan nyinyir aja! Coba kalau nggak ada polisi, bayangkan apa jadinya negara ini? Chaos! Anarki! Semua orang main hakim sendiri jang!”
Ujang tak mau kalah. Ia berdiri dan berlagak seperti seorang orator di podium.
“Lho, Kang, sekarang juga udah chaos! Yang bikin anarki malah yang seragam coklat itu sendiri. Sampai-sampai mereka dibilang masyarakat kayak wereng coklat di sawah, hama yang bikin habis panen rakyat! Mungkin kalua kita mau aman, gampang sih. Pasang patung polisi di setiap sudut jalan. Lebih jujur, lebih murah, dan lebih bisa diandalkan!”
“Ngawur kamu, Jang!” Pak Tohir mendengus. “Kamu itu terlalu banyak baca berita dan gibah-gibah negatif pasti. Jangan pukul rata bahwa semua polisi itu buruk Jang.”
Namun, Ujang tak menyerah. Ia menunjuk jari telunjuknya ke langit-langit warung.
“Loh… bukan aku yang memukul rata, Kang. Mereka sendiri yang bikin citra buruk! Dari pungli sampai main politik dilakukan. Lihat tuh, partai-partai aja kalah populer sama partai yang disebut orang-orang Partai Coklat. Padahal Partai Coklat itu nggak terdaftar di KPU, tapi kok selalu saja memiliki andil dan peran besar bagi mereka yang ingin menang di pemilu?”
Seisi warung kembali tergelak. Bahkan Pak Tohir, yang biasanya kaku soal institusi, tak bisa menahan tawa kecilnya.
Dari sudut warung, seorang lelaki tua berjenggot putih yang dikenal dengan nama Pak Dullah tiba-tiba angkat suara. Biasanya ia lebih suka diam, tapi kali ini ia tampak tak tahan.
“Eh, Ujang, kamu tau nggak, kenapa Almarhum Gus Dur bilang cuma ada tiga polisi jujur?” tanyanya dengan nada datar.
Ujang mengangguk. “Tahu dong! Polisi tidur, patung polisi, sama Polisi Hoegeng.”
Pak Dullah mengangguk pelan. “Betul. Tapi kamu tahu nggak kenapa Gus Dur bilang begitu?”
“Kenapa, Pak?” tanya Ujang penasaran karena ternyata dia belum begitu paham.
Pak Dullah menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya menerawang jauh seolah melihat ke masa lalu. “Karena hanya tiga sosok polisi itu yang nggak bisa disogok Jang. Polisi tidur nggak peduli siapa yang lewat tetap dia bikin pelan. Gak peduli pejabat, orang berduit, atau tukang sayur semua dipaksa kurangi kecepatan. Gak ada pengawalan khusus karena dibayar. Begitu juga dengan patung polisi nggak minta uang pungli atau ngemel, tetep jalani tugas dimana dia ditempatkan, tak perduli basah ataupun gersang, dan terakhir Polisi Hoegeng, ya tahu sendirilah bagaimana jujur, professional dan sederhananya beliau. Beliau itu legendaris dan belum ada gantinya sampai sekarang Jang.”
Semua terdiam. Bahkan Ujang, si mulut besar, hanya bisa tertegun. Namun, Pak Dullah belum selesai.
“Tapi,” lanjutnya sambil tersenyum kecil, “jangan salah ya. Sebenarnya di negeri ini, masih ada satu lagi polisi yang jujur lho.”
Semua orang di warung memandangnya dengan heran.
“Apa itu, Pak? Siapa itu Pak?” tanya Pak Tohir.
Pak Dullah tersenyum lebar dan menunjuk cermin kecil buram dan agak kotor yang tergantung miring di dinding warung.
“Polisi hati nurani kita sendiri. Kalau itu nggak korup, maka negara ini seharusnya masih ada harapan.”
Hening sejenak. Kemudian, suara tawa kecil muncul dari Ujang, disusul oleh semua orang di warung. Mungkin karena humor Pak Dullah yang cerdas, mungkin juga karena mereka sadar, di balik semua kritik dan sindiran yang dilontarkan, ada kebenaran yang sulit ditolak.
Di luar warung, waktu terus bergulir. Dan di bawah terik matahari yang mulai memanas tanpa ampun, negeri Wakanda masih bergulat dengan ironi. []
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here