Home AGENDA Matinya Kritik Seni dan Masyarakat Tontonan Online

Matinya Kritik Seni dan Masyarakat Tontonan Online

0
Ruangan berikutnya adalah Appearance Di ruang ini, mereka dapat membuat avatar yang mencerminkan penampilan mereka tanpa takut terhadap kritikan yang sering muncul. Instalasi ini juga mengeksplorasi bagaimana stereotip terhadap penampilan seringkali membentuk persepsi sosial, membatasi kebebasan berekspresi, dan menciptakan label yang belum tentu mencerminkan jati diri seseorang | (hanya ilustrasi IST)

Loading

Matinya Kritik Seni dan Masyarakat Tontonan Online

Dalam indeks melek literasi digital publik yang lemah, kritikseni ‘sudah lama wafat’. Kematian bukan berarti skalapelemahan intelektualitas serta sistem distribusi pendidikan yang mengalami kemandegan saja. Namun, zaman juga memberisumbangsih besar terjadinya banalitas apresiasi seni. Sudahmafhum diyakini, ini terjadi diseluruh dunia.

Jauh sebelum facebook dan media sosial meruapi wajah senirupa kita,–dengan celotehan-celotehan dan teks-teks serta imejtentang seni semenjak 2004, memang minim fundamen telaahyang memadai dan orang-orang yang berkompeten. Siapa sajaboleh bersuara, profesi apapun silakan memberi perspektif. Yang banyak komentar-komentar, dan itu sebuah ledakan ataupersisnya: ledekan yang sebenar-benarnya.

Fenomena itu, yang dikutip dari kredo seniman Joseph Beuys’ tiap orang adalah seniman’; sebuah plesetan lucu, sekaligusmengenaskan. Lahirnya masyarakat tontonan (spectacle of society) mengharu-biru sampai saat ini dalam kontek sejak abadke-20 dulu oleh cendikia Guy Debord, masih saja kontekstual.

Realitas besar itu ada didepan kita bersama, yang mana kitasaksikan senjakala media cetak yang berganti dengan platform online sekaligus juga matinya kritik yang sudah dua-kali. Dengan menimbang yang pertama, tatkala mesin cetak lemahtiras dan penjualan buku serta penulisan seni minim tempat,selain kampus-kampus seni dengan Jurnal khusus.

Yang ke-dua, juga makin mengurangi akses generasi yang mudauntuk membaca dalam rentang dua puluh tahun terakhir denganmunculnya media sosial; dan tak lagi mementingkan bagaimanaseni hadir dan penjelajahan semata-mata produk ide serta nalardaripada sekedar visual saja.

Semenjak itu majalah, bulletin, jurnal cetak kehabisan nafas. Yang paling menyedihkan tentunya, bukan pemindahan dan adaptasi menjadi platform digital namun ekosistempenyangganya: penulis, desainer, editor dan periset seni satu-persatu meninggalkan gelanggang sebab tak bisa survival.

Sejak tahun 2000-an pertengahan, majalah seni rupa, sepertiVisual Art, C-Art sampai misalnya Arti Seni dan akhirnya akhir2015-an semua “berguguran”. Format majalah, yang berkecendurungan dituliskan dengan cara lebih luwes, metodemen-jurnal secara deskriptif selain diimbuhi kutipan kuratortentang konsep sebuah pameran membuka cakrawalapengetahuan.

Sementara tulisan-tulisan lepas para freelancer, entah penulis, kritikus pun kurator dan pecinta seni banyak memberi sentuhanmembeda dan segar menjadi sunyi.

Perlawanan Situs Digital dan Kritik Jurnalistik

Sebagian bertahan, website serta situs-situs penulisan senimendadak bertaburan mengobarkan perlawanan; netizen mengelolanya dengan gigih namun tak ajeg; yang kadangkalasama sekali hanya meng-copy Siaran Pers sebuah hajatan pameran saja.

Lembaga-lembaga independen menengah dan sejumlah juga komunitas-komunitas yang militan membentuk jejaring dan memunculkan penulisan-penulisan liar nan segar sertamembuncahkan harapan hadir; bahkan buku-buku seni rupa juga akhirnya tercetak oleh sejumlah kurator dan penulis seni daripenerbit nekad dan punya segmentasi khusus, tapi itu tidakcukup.

Sesegera mungkin para apresian awam di siber media tertarikpada imej. Ya, sekali lagi imej-imej yang “memprovokasi”bahwa seni hanya bersandar pada akrobat visual sebuah ruang-ruang tontonan.

Matinya kritik seni di Tanah Air, memang tak diitikadkan dalamsenerai tulisan ini, sebagai sebuah kritik yang seserius kritikpedagogik. Atau kritik yang medalam—semisal Art Forum yang berwibawa itu– tentang sebuah konstruksi pembedahan sebuahkarya yang serius dengan hubungannya terhadap apresiasipublik, metode-metode ketat keilmuan seni dan mengupasrelasi-relasi rumit yang menyentuh sejarah, filsafat seni sampaiparadigma-paradigma tentang ‘krisis tentang kritisisme’ denganrujukan teori-teori kompleks.

Misalnya kapabilitas pembedahan mengapa dan apa peran kritikseni dan pengetahuan multi-disiplin dalam seni rupa ter-anyar (digital art dan AI art).

Tapi tulisan kegelisahan ini, hendak menyapa serta menilikulang, bagaimana apresiasi publik awam lebih kritis memahamidan mengerti tentang seni bisa dipancing dengan pemahaman-pemaham kritik jurnalistik.

Yakni sebuah keilmuan lebih sederhana memberi ilustrasi dan penjabaran sebuah peristiwa, pameran, kejadian-kejadian yang terhubung dengan siapa dan mengapa dari pelaku seni sertaperistiwanya seni yang bisa dikupas dan menggugah disuguhkanke publik luas pun netizen dengan cara yang layak lagimendalam.

Fenomena Sekar, mahasiswi FSRD ITB yang masih ‘dalamtahanan kota’ dari yang berwajib itu; yang memicu keprihatinanpenulis sebab tak hadirnya para kurator, penulis seni selain para pemangku kepentingan dalam ekosistem pendidikan senimemberi ulasan tentang mengapa dan apa itikad Sekar denganMeme-nya tersebut, hingga mampu memberi pencerahan-pencerahan pada publik.

Masyarakat Tontonan ala Guy Debord abad ke-21

Tak hendak meniru sosok radikal kaum kiri Perancis denganpemikir brilian Guy De Bord, kritikus sastra dan akademisi-politik tenar yang bergabung gerakan Situasi-International dan poster-poster agitatifnya yang tenar tahun 1950-60an, namunwarisannya dikembangkan menjadi gagasan yang ampuhmenyaksikan pun membedah fenomena-fenomena terkini.

Penghacuran terhadap paham materialisme hari ini muskildiwujudkan, paradigma kapitalisme lanjut jelas kokoh menjadibenteng-baja dunia modern adalah keniscayaan. Saat sama sikapmenjaga jarak dan memaksimalkan nalar untuk memilihbersikap kritis di dunia siber-lah warisan Guy Debordmengemuka untuk dipetik hikmah.

The Society of Spectacle (1967) atau translasi bebasnyamasyarakat tontonan di bukunya itu, Debord menuntutketerlibatan nyata yang dalam konteks ini adalah netizen aktif, selayaknya mengungkap cerita dibalik sebuah peristiwa-peristiwa dengan kesaksian-kesaksian.

Dengan demikian, kritik seni memancing penelusuran konsep-konsep dan membongkar yang mana netizen sebagai individutak hanya menyaksikan, berdecak kagum pada visualisasi ataurepresentasi tentang hal-hal imej yang bercerita secara visual dari karya seni. Namun mengalaminya langsung dan membuatrespon-respon secara aktif dengan hadir di event-event dan peristiwa-peristiwa seni.

Debord dengan The Society of the Spectacle, menunjukkanbagaimana kehidupan keseharian —dalam abad ke-21–telah‘dimanipulasi menjadi sekedar tontonan’, memercayai sebuahkejadian tanpa memeriksa secara kritis. disanalah peran IG Story, VT Tiktok dan teks-teks medsos X memainkan peranpenting membentuk persepsi dan pengalaman-pengalamanbatiniah netizen.

Visualisasi kemudian menjadi Dewa; cara bernarasimemungkinkan seorang seniman mendapatkan jutaan viewerssecara mudah apalagi ada metode promosi berbayar, selainkonsep-konsep strategik yang kemudian menjadi trend: Binge-Watching! Tercandu menonton terus-menerus tanpa henti yang membuat kalkulasi algoritma media sosial mendorong juga seniman cum netizen tersebut ‘menebar kampanye’mengkonsumsi konten tak henti.

Penggunaan media sosial secara serampangan tanpapertimbangan lebih untuk membuka cakrawala pengetahuan dan kritik-kritik yang bernas tentang sebuah peristiwa seni akanmenumpulkan sensibilitas nalar dan indera fisik, di akhir harihanyut untuk membentuk persepsi bahwa yang sahih itu yang terpampang di dunia maya.

Tetapi siapa yang peduli kritik seni hari ini? Kritik seni mungkinsudah perlahan-lahan ditanggalkan dan meninggal diam-diam.

Bambang Asrini, kerani seni

Bambang Asrini Widjanarko/ist

 

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here