Sirup Marjan dan Distopia Calon Arang: Iklan Ramadan atau Trailer Film Cyberpunk?
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller, Analis Seni Komersial dan Pencitraan
Setiap tahun, tanda-tanda Ramadan bisa dikenali dengan mudah. Bukan dari sighting hilal, bukan dari berdebunya mushaf di rak, tapi dari satu hal yang tak bisa dibantah: kemunculan iklan sirup Marjan. Seperti tukang takjil yang tiba-tiba menjamur di setiap sudut gang, iklan Marjan selalu hadir tepat waktu. Ia bukan sekadar iklan, tapi kalender sosial: kalau Marjan sudah tayang, berarti saatnya mulai latihan puasa—minimal mengurangi gibah dan nyicil niat untuk bangun sahur.
Tahun ini, tentu saja Marjan memutuskan untuk terus naik kelas. Bukan lagi sekadar parade keluarga bahagia yang mengguncang es batu dalam slow motion atau momen-momen nostalgia berbuka di kampung halaman seperti di awal-awal eksistensi iklan mereka. Tapi setiap tahunnya secara berani mereka memutuskan untuk membuat konsep-konsep kreatif iklan yang sulit ditebak dan penuh kejutan. Bahkan di TVC Marjan tahun ini mereka menculik kisah klasik Calon Arang dan melemparkannya ke dalam dunia futuristik yang entah berkat hasil brainstorming jenius atau kebablasan kreatif berbentuk scrolling subreddit cyberpunk.
Satu hal yang tak bisa disangkal, Marjan selalu berani mengangkat konsep kreatif yang berbeda tiap tahunnya. Dari narasi nostalgia yang menyentuh hati, hingga eksplorasi budaya pop yang semakin liar dan visioner. Jika kita menengok ke belakang, iklan Marjan pernah menampilkan konsep tradisional seperti suasana kampung halaman yang hangat, hingga kisah-kisah fantasi ala Timun Mas melawan Buto Ijo. Tahun lalu, mereka menyentuh elemen epik dengan visual yang semakin sinematik.
Dan kini, mereka melompat lebih jauh dengan membawa mitologi ke dalam era cyberpunk. Keberanian ini mengingatkan kita pada kata-kata Bill Bernbach, salah satu bapak periklanan modern: “Creativity is the last unfair advantage we’re legally allowed to take over our competitors.”
Dari Dukun Santet ke Hacker AI
Iklan ini bukan sekadar jualan sirup, tapi seperti trailer film Hollywood yang kecebur ke timeline TikTok. Setting-nya? Sebuah dunia distopia bernama JKTerra di tahun 2108—mirip Jakarta, tapi lebih penuh neon dan jauh lebih tertib (sungguh, ini fiksi). Di sini, Calon Arang bukan lagi dukun santet desa, melainkan entitas digital yang siap meretas kesadaran kolektif umat manusia. Sebuah upgrade yang, kalau dipikir-pikir, cocok sekali dengan zaman sekarang. Siapa butuh santet kalau bisa cancel orang di media sosial?
Visualnya? CGI kelas dewa. Penuh efek lens flare, hologram melayang, dan aesthetic cyberpunk yang kalau sedikit lagi ambisius, bisa masuk festival film sci-fi Eropa. Jika dulu Marjan identik dengan warna merah menggoda yang bikin haus, kini mereka menyajikan palet warna biru-hijau ala dunia Matrix. Mungkin ingin menyampaikan pesan subliminal bahwa minum sirup Marjan adalah gateway ke metaverse?
Branding yang (Terlalu) Jauh Melompat
Pertanyaannya: apa hubungannya sirup Marjan dengan hacker, cyberpunk, dan Calon Arang? Apakah kita harus percaya bahwa di tahun 2108, manusia masih berbuka dengan sirup rasa coco pandan alih-alih pil nutrisi cetakan 3D? Ataukah ini adalah sindiran halus bahwa di masa depan, hanya Marjan yang bertahan, sementara semua minuman lain telah diambil alih oleh AI?
Seorang kreatif periklanan legendaris, David Ogilvy, pernah berkata, “If it doesn’t sell, it’s not advertising.” Masalahnya, iklan ini lebih terasa seperti karya seni eksperimental daripada strategi marketing. Kita dibuat terpukau, kita dibuat bertanya-tanya, tapi apakah kita jadi pengen beli sirup? Atau justru sibuk googling mitologi Calon Arang dan akhirnya terjerumus ke Wikipedia selama tiga jam?
Harus diakui, Marjan berhasil melakukan sesuatu yang jarang dalam industri periklanan: membuat orang benar-benar ingin menonton iklan. Ini bukan lagi sekadar alat pemasaran, tapi hiburan tersendiri.
Paul Rand, desainer grafis terkenal, pernah mengatakan, “Design is the silent ambassador of your brand.” Dalam hal ini, desain visual iklan Marjan telah berbicara lantang, meskipun pesannya mungkin terlalu kompleks untuk sekadar jualan sirup. Namun, di tengah era digital yang penuh dengan konten seragam, Marjan memilih untuk tampil beda—sebuah langkah berani yang patut diapresiasi.
Jadi, apakah iklan ini sukses? Dari segi buzz, tentu saja. Dari segi branding, mungkin sedikit berlebihan. Tapi dari segi menjual sirup? Mungkin kita baru bisa tahu jawabannya nanti, saat Ramadan tiba, ketika rak-rak minimarket mulai diserbu sirup beraneka warna. Jika Marjan tetap menjadi pilihan utama, maka sekali lagi mereka membuktikan bahwa meskipun konsep iklannya melayang jauh ke masa depan, di meja berbuka, Marjan tetap nostalgia yang tak tergantikan. []
Sponsor