Lukisan yang Tak Terpajang
Cerpen Aendra Medita
LANGIT sore yang muram menyelimuti ruang kecil di sudut kota. Di sana, seorang pelukis bernama Arto duduk dengan wajah penuh keletihan. Arto Soemohardjo Negoro adalah pelukis yang sudah dikenal pernah lama tinggal di luar negeri, jari-jari Arto yang kasar terus memainkan kuas, menciptakan garis-garis penuh emosi di atas kanvas. Namun, lukisan yang ia buat kali ini bukan untuk digantung di galeri atau terpajang dalam satu pameran khusus.
“Lukisan ini bukan untuk didewa-dewakan,” gumam Arto, menatap dalam ke arah kanvasnya. Gambar itu menampilkan seorang petani dengan cangkul di tangan, berdiri di bawah terik matahari, sementara di belakangnya tampak sosok-sosok abstrak yang menyerupai dewa-dewa, memandang dengan tatapan dingin.
Arto hidup sejak lama dan baru dan di zaman kini saat ketika seni seolah menjadi milik kuasa, bukan rakyat. Setiap karya seni yang dianggap “besar” harus memuliakan mereka yang berkuasa—kaum elite yang duduk nyaman di singgasana. Lukisan-lukisan yang menggambarkan kesederhanaan rakyat atau jeritan penderitaan mereka dianggap hina, tak layak masuk galeri atau ruang pamer milik negara.
“Kenapa kamu kamu terus selalu melawan, Arto?” tanya seorang teman pelukisnya, Bahriwan. “Kau tahu sendiri, karya lukisan seperti itu hanya akan membuatmu dihujat.”
“Aku tidak peduli,” jawab Arto tegas. “Lukisanku bukan untuk pajangan. Ini untuk mereka yang ingin melihat kenyataan.”
Di era media sosial, Arto menemukan kebebasan baru. Ia memotret setiap lukisannya dan mengunggahnya ke dunia maya. Pesannya sederhana: seni adalah suara, bukan sekadar hiasan. Lukisan petani itu, yang diberi judul “Tertindas di Bawah Langit yang Sama”, langsung menarik perhatian ribuan orang.
Ada lomentar datang bertubi-tubi. Ada yang memuji keberanian Arto, ada pula yang mencaci, menyebutnya “penghancur tradisi seni luhur.” Tapi Arto tak goyah. Ia terus melukis, terus membagikan, terus berbicara lewat warna dan garis yang ia goreskan di karyanya.
Pada suatu malam, saat Arto sedang menyiapkan lukisan barunya, sebuah pesan masuk ke akunnya. Pesan itu berasal dari seorang wanita bernama Mina, seorang buruh pabrik.
“Terima kasih sudah melukiskan kami, Mas,” tulis Minah. “Akhirnya ada yang melihat kami bukan hanya sebagai angka dari sebuah peristiwa.” Komenta ini atas lukisan yang Arto buat dan di posting soal lukisan buruh pabrik yang terPHK.
Pesan itu membuat Arto termenung lama. Ia menyadari bahwa lukisannya, meski hanya selembar lewat digital di layar ponsel, telah menyentuh jiwa-jiwa yang selama ini terabaikan.
Arto paham, eranya adalah era di mana seni rakyat sering dipaksa tunduk pada kuasa dan simbol-simbol agung yang tak nyata. Tapi ia percaya, seni adalah senjata, dan senjata itu kini ada di tangan siapa saja yang berani bersuara.
“Lukisan bukan hanya untuk dipajang disebuah ruang pamer atau galeri,” bisik Arto, menggoreskan sapuan terakhir pada karyanya. Kali ini, ia melukis pemandangan sosok seorang yang semua oarang tahu meski kini sudah tak lagi menjadi kuasa atau kuasanya sudah ompong dengan mata tajam, berdiri di depan lahan tandus. Di atasnya, tertulis sebuah pesan tegas: Masa depan milik kita, bukan milik dewa.
Dan sekali lagi, kini dunia maya menjadi galeri bagi karya yang lahir dari keberanian dan keserahan hati seorang pelukis, meski harus paham apa yang juga rambu-rambu yang ada sesuai alam komunitasnya yang di posting. ***
Sponsor