Ekspresi Seni, Meme Ciuman dan Pelanggaran Kesusilaan
Sungguh menyedihkan, sekaligus juga melegakan mendengar info bahwa aparat yang bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat menahan mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Kita sebut saja nama mahasiswi itu: Sekar. Dua keping makna berdampingan yang kita coba telisik dalam satu peristiwa.
Sekar adalah mahasiswi Fakultas Seni Rupa dan Desain diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia dengan kreatifitasnya yang membludak mencipta dan menggubah pun mengunggah meme Presiden dan mantan Presiden dengan adegan sedang berciuman dengan bantuan artificial intelligence (AI).
Yang menyedihkan adalah lima kali lebih sejak akhir tahun 2024 dan sepanjang 2025 publik, terutama netizen dan juga berita-berita di media online terpikat pada polemik tentang seni disertai ancaman-ancaman ‘fisik karya maupun ancaman secara verbal’ pada seniman kreatornya.
Yakni peristiwa penghapusan mural, penguncian pintu pentas teater, intimidasi agar meminta maaf oleh grup musik, sampai perintah paksa penurunan sejumlah lukisan dari pelukis dan sekarang muncul isu Meme. Yang dianggap seniman-seniman tersebut sebagai sebuah “pembungkaman dalam penyampaian kebebasan berekspresi”. Sementara aparat keamanan telah dua kali berpartisipasi langsung dalam “penindakan” dan “penahanan”; yakni kasus Band Sukatani dan isu tentang Meme.
Yang cukup melegakan dan sedikit mencerahkan, penulis selaku kurator dan pelukis dengan fenomena polemik tersebut, menyaksikan bahwa tiba waktunya edukasi publik digelar saat sama pendampingan pada seniman pada sejumlah kasus dengan cara meletakkan secara proporsional kasus perkasus demi penjaminan keadilan dan hak-hak sebagai warga negara, serta kebebasan berekspresi seni seperti Sekar terlindungi.
Pencerahan harus digelontor menimbang seni bagian dari imajinasi komunal untuk bersama membangun bangsa, seberapun kritik di wilayah seni yang apapun dilontarkan oleh warga (seniman) adalah bentuk kepedulian pada negeri ini.
Waktunya telah datang pula, dua ratus delapan puluh juta lebih jiwa memulai membuka hati serta meletakkan seni dan peran pentingnya dengan ekspresi-ekspresinya di ranah digital sebagai instrumen kontrol sosial sekaligus apresiasi bagi publik.
Kita bisa menjabarkan apa yang paling sensitif dalam pikiran publik awam tentang Meme karya si Sekar adalah adegan berciuman kepala negara dan mantan kepala negara.
Lepas dari teknik penggubahan dengan AI, imej orang berciuman apalagi sesama lelaki, tentu sensitive bagi perasaan sebagian publik tentang “yang Etis dan yang Tak Patut”; sehingga membuat aparat keamanan dengan tergesa menahan kreator dengan dakwaan melanggar kesusilaan.
Tentu saja semua hal memiliki latar belakang sejarah, termasuk apa itikad Sekar mengonstruksi karya-karya seni (meme) tersebut dibuat, menguji teks dan konteksnya peristiwa itu dan kita bersama mencoba menelaahnya.
Sejarah Lukisan Ciuman dan Keintiman para Sosialis
Imej atau gambaran adegan ciuman bertebaran banyak sekali dalam rentang peradaban seni rupa modern dunia, dan kemudian direproduksi ulang dengan semangat bermain-main. Upaya mencoba membaca ulang, membawa imej-imej tertentu dengan cara komikal dan tentu saja: alat mengkritik kondisi sosial di era media siber.
Yang dilakukan oleh Sekar adalah lumrah, sebab diterapkan sebagai sebuah strategi pendekatan parodi yang didalamnya membawa juga upaya peniruan-peniruan milik seniman terdahulu yang popular, yakni metode apropriasi dan membumikannya di Indonesia. Untuk menyingkatnya kita mulai dengan lukisan berjuluk The Kiss (1907/08), yakni lukisan menawan dari seniman Austria, Gustaf Klimt dalam sejarah.
Klimt yang tenar dengan gaya simbolime dengan ciri gerakan Art Nouveau dengan penekanan pada tubuh perempuan dan ekspresi emosi dua sejoli dalam simbol tentang cinta, yang dilukiskan dengan semangat dekoratif memberi pengaruh pada ikon seni rupa dunia lain yang sezaman di akhir abad ke-19, sampai awal abad ke-20, yaitu Egon Schile.
Yang membeda dengan ‘mentornya’, Schile tak hanya berkutat pada potret wajah dan stilisasi bentuk tubuh manusia, ia memulai dengan ekspresi “melabrak tabu” dengan melukis cinta yang unik sebagai sindiran dalam peristiwa sebuah skandal dua sejoli yang terlarang: Cardinal and Nun (Caress), (1912).
Saya berharap Sekar sebagai mahasiswi seni, apalagi belajar di kampus besar dari FSRD-ITB, ia memahami alur sejarah ini, sebab dalam karya meme-nya tak lepas dari gestur sosok dan narasi yang berhutang jauh di masa silam yang akan dibawa konteksnya pada hari ini.
Sekar dalam ciptaan meme-nya lebih menggunakan, sepertinya adegan atau membangun subject matter-nya dengan sosok para pemimpin-pemimpin negara dengan meniru dari karya mural dalam dekade yang berlainan. Yakni, di pertengahan menjelang akhir abad ke-20, milik seniman Rusia, Dmitri Vreud di Tembok Berlin sebelah Timur (Blok Sosialis).
Dmitri Vrubel adalah seniman Rusia yang kemudian menjadi ikon dunia seni mural, sebab dengan karyanya yang memanggungkan secara close-up sosok Leonid Brezhnev (pemimpin Uni Soviet) dan Erich Honecker (pemimpin Jerman Timur) sedang berciuman.
Mural yang dieksekusi pada 1990 ini, juga familiar dengan “Fraternal Kiss” (Bruderkuss”, bahasa Jerman), yang mengalih-rupakan dari fotografi dua pemimpin ini pada 1979, menggambarkan “tradisi lokal” kaum sosialis-komunis dalam konteks positif sebagai “ciuman persaudaraan sesama manusia”.
Kehangatan dan kekariban sesama pejuang ideologi ini yang ditandai dengan saling mencium tulang pipi pasangannya. Sebagian wilayah di Timur Tengah dan Amerika Latin juga memiliki tradisi seperti ini tentu dengan konteks dan ideologi yang berbeda dengan sesama lelaki.
Lukisan Dmitri penanda runtuhnya Tembok Berlin, menjadi tempat istimewa para pelukis lain dengan berbagai karya seni, termasuk muralnya berjudul “Ya Tuhan, Tolonglah Aku untuk Bertahan Hidup dalam Cinta yang Mematikan Ini!”, semacam ungkapan betapa intimnya dua kepala negara ini menandai zaman baru.
Namun, terlepas dari konteks Tembok Berlin dan runtuhnya Uni Sovyet dan bersatunya Jerman, seni dibawa lagi berjalan kemudian di sejumlah dekade ke depan hingga mural Dmitri — dan jangan lupa warisan Klimt dengan The Kiss; memang sengaja di-apropriasi (dicomot, ditiru dengan pemaknaan baru) oleh seniman street art lain dari Lithuania, yakni Dominykas Čečkauskas dan Mindaugas Bonanu, yang kemudian menjadi viral mendunia dengan semangat kampanye bagi
Donald Trump dengan slogan ′′Make Everything Great Again′′.
Yang menggambarkan calon presiden AS itu memberikan “ciuman Perancis” yakni dari ‘lidah ke lidah’ kepada presiden Rusia Vladimir Putin. Kali ini banyak yang menduga “ciuman Perancis” lebih eksotis daripada persaudaraan sesama sosialis. Kita semua tahu karya ini juga semacam olok-olok tatkala pada 2018 Putin mengaku bahwa ia lebih suka Trump menang Pemilu pada 2016 dengan kebijakan lebih condongnya Washington pada Kremlin. Hal itu kemudian memicu protes keras publik sebagai bentuk kecurangan dan intervensi Rusia dalam politik dalam negeri AS.
Saat sama, raksasa media sosial Facebook dan Zuckerberg didakwa terjadi pencurian data pengguna, yakni dengan sebuah lembaga survei sekaligus konsultan politik internasional, Cambridge Analytica. Publik As curiga pada Mark Zuckerberg-Trump dan Putin bersekongkol, yang akhirnya mengakui bahwa Facebook telah ‘membuat kesalahan’ dalam melindungi data pengguna.
Dari narasi itu, teks-teks dan imej tentang mural “The Kiss” mulai menguat sebagai semacam propaganda politik via seni, baik mendukung sebuah rezim atau semacam counter-attack untuk mengontrol kekuasaan dari suara protes masyarakat sipil akar rumput.
Estetika, Etika dan Lokalitas
Jaques Ranciere, seorang kritikus seni dan filsuf Perancis yang disegani menyatakan bahwa ‘Rezim estetika’ semata-mata menyandarkan pada cara pandang atau sistem pemikiran yang merelasikan karya seni dan estetika serta publik audiensnya.
Ia menekankan bahwa seni, secara riil tak mungkin berdiri sendiri, sesuatu yang berdiri sendiri sebagai entitas yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Melainkan terkait erat dengan ‘rezim- rezim pemikiran’ yang mendefinisikan bagaimana seseorang seniman memahami dan merasakan dunia, termasuk didalamnya konsep-konsep dan ‘pemikiran politik seni-kekuasaan’.
Ranciere menimbang kredonya yang tenar dinamai ‘sesuatu yang sensible’, yakni sebuah energi khusus yang mendorong produksi konsep-konsep tertentu yang menyetubuh dalam diri psikis individu seniman dalam memahami dunia di luar dirinya dan memproduksi karyanya. Ranciere juga mengenalkan tentang konsep ‘konsensus dan disensus’ dalam konteks perlawanan ‘peminggiran’ pikiran-pikiran tentang karakter seni yang kritis atau emansipatoris, yang dianggap marjinal atau kapan konsep sebuah estetika seni ‘menjadi mapan di arus utama’ mengemuka.
Tak sama dengan Ranciere, filsuf lain Pierre Bourdieu melihat bahwa seni secara estetis memang terkait dengan kekuasaan secara sosiologis, penggambaran penampang sebuah struktur sosial yang bisa diatur dan saling mempengaruhi, yang mana elemen-elemen dalam seni seperti kekuasaan ekonomi, sosial dan kultural saling berkelindan memperebutkan ‘yang kuasa dan yang kurang berkuasa’ dalam ‘kuasa simbolik’; yg bisa jadi tafsirkan sebagai seni versi warga versus seni versi negara.
Maka kebenaran yang dianggap ‘yang Etis’ usai kita menimbang yang estetis, tentu bermasalah dan perlu ditelaah yang dalam tentang perspektif ‘adegan Ciuman dalam karya meme Sekar’ dianggap bermoral atau tidak, patut dan tidak patut.
Dalam konteks itikad kritikal pada ‘jabatan, bukan orang’ tentunya hal ini bisa dimahfumi sebagai wujud pemikiran bahwa terjadi sesuatu yang mengganjal dan menjadi ingatan kolektif relasi intim atau cinta-benci dari dua tokoh ‘Presiden dan mantan Presiden itu yang ganjil’?
Penilaian tentang ‘yang Etis’ secara lokalitas bisa dicontohkan bagaimana misalnya, kesenian tradisi Lenong Betawi, dengan aktor-aktornya memiliki peran penting dalam karakter-karakter untuk penyampai kontrol sosial karena fungsinya sebagai media kritik sekaligus hiburan yang memuat pesan moral.
Melalui humor dan sindiran-sindiran dalam cerita Lenong, masyarakat Betawi sejak lama dapat mengekspresikan kritik terhadap ketimpangan sosial dan kekuasaan, serta mendapatkan edukasi moral, yang misalkan juga “legenda Sang Kabayan” di etnis Sunda sosok yang sangat ‘iseng, jenaka dan liar’ menggunakan tradisi lisan dengan syair-syair tajam tertentu dalam mengkritik kebijakan publik serta pusat-pusat kekuasaan.
Di Jawa Timur, kita mengenal Ludruk, yakni kesenian daerah yang mana seni pentas diisi oleh aktor-aktor yang membawakan Jula-Juli, nyanyian-nyayian lugas dengan hentakan kendang, semacam musik-pantun dengan muatan kritik pedas (Parikan). Karena itu, masyarakat Jawa Timur dikenal lantang dan berbicara terbuka dekat dengan etnis Madura dibanding dengan Jawa Tengah. Di Jawa Timur, kita mengenal Markeso, Srimulat, Kartolo cs dll.
Tanpa bermaksud membela keberadaan Sekar dan menegasikan dengan ‘kesembronoan’ pihak aparat keamanan, selayaknya UU ITE tak perlu didakwakan pada kasus ini. Lebih layak jika terkoordinasi antara kampus ITB, Rektorat dan Kemendikti dalam ruang spasial tanggung-jawab Kementerian Kebudayaan. Bukankah peran Perguruan Tinggi diharapkan menjadi lokomotif utama dalam mewujudkan Asta Cita, dengan fokus pada peningkatan akses, mutu, relevansi, dan dampak terhadap pembangunan berkelanjutan dalam rezim yang berkuasa saat ini?
Kementerian kebudayaan dengan konteks visi Asta Cipta seharusnya lebih responsif dan aktif berdialog dalam ruang-lingkup isu-isu yang sejenis.
Menjadi mengherankan kenapa pendekatan keamanan dan ketertiban lebih mengemuka?
Apakah mungkin seorang mahasiswi membuat ‘keonaran’ meski itu tersalurkan di media sosial dan di review jutaan netizen?
Bukankah Mahkamah Agung juga memberi ruang kritik bisa disampaikan terhadap jabatan seorang pemegang amanah di Pemerintahan? Kreasi dari Sekar lebih pada ungkapan ekspresi dengan pendekatan parodikal, yakni satire dengan menyindir tajam; memaknai ulang teks-imej di masa lalu para tokoh kepala negara dan kali ini adalah kepala negaranya sendiri.
Selain itu, sudah wajar seni dekat dengan suara publik luas yang dibawa sebagai instrumen berkomunikasi setara dengan negara dalam fundamen sistem politik yang Demokratis. Sekar adalah keniscayaan bagian dari keseimbangan dan kontrol sosial dengan latar belakang studinya sebagai mahasiswi seni rupa; yang tentu saja wakil dari masyarakat sipil yang berhak mencintai negeri dengan caranya sendiri.
Bambang Asrini Widjanarko, Kurator seni dan pelukis
Sponsor