Home AGENDA Sharjah Biennial: VUCA, Kekuatan Seni Selatan dan Identitas Indonesia?

Sharjah Biennial: VUCA, Kekuatan Seni Selatan dan Identitas Indonesia?

0

Loading

Sharjah Biennial: VUCA, Kekuatan Seni Selatan dan Identitas Indonesia?

Bagaimana seni Indonesia dan peran hajatan seni kontemporer raksasa di Uni Emirat Arab, Sharjah Biennale 2025 dan keikutsertaan komunitas serta seniman-seniman kita? Lagi-lagi, selayaknya kita melihat ulang tentang bagaimana perspektif geografi dan politik membentuk kesadaran baru dengan identitas kultural negeri-negeri dalam tata dunia global hari ini.

Dua cendekia yang meneliti tentang studi kepemimpinan dan kemudian diadopsi bahkan oleh tim strategis dari angkatan militer Amerika Serikat, yakni Warren Bennis dan Burt Nanus patut disimak. Mereka berdua mengenalkan konsep VUCA abad ke-21—termasuk mengendus konstruksi identitas ekspresi budaya-budaya yang menguat secara global– semenjak usai perang dingin yang diawali penelitian mereka pada 1987; kemudian mengkristal menjadi buku pada awal th 2000-an.

Konsep VUCA itu yang merefleksikan Volatility (Volatolitas), Uncertainty (Ketidakpastian), Complexity (Kompleksitas) serta Ambiguity (Ambiguitas) masih sangat relevan saat ini. Dua ilmuwan itu dengan konsepnya, yang dikemudian hari merembet pada kajian makro dan mikro bisnis serta kebijakan publik-politik global, yang VUCA dimengerti sebagai sebuah strategi kajian khusus menghadapi tiap ancaman-ancaman dan perubahan-perubahan drastis dunia.

Dimulai dengan Volatilitas, yakni karakter kecepatan serta tak terprediski yang secara alamiah adalah perubahan-perubahan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Serta kemudian hal itu memunculkan Ketidak pastian, kehadiran tegangan isu-isu global dan peristiwa yang tidak disangka, yang menaikkan suhu konflik dunia. Saat sama persebaran penyakit anyar serta kerusakan ekologis dan tak lupa dunia memulai mencampakkan ideologi-ideologi lama abad ke- 20.

Yang semuanya menuju pada Kompleksitas, menggambarkan kondisi kita menghadapi tantangan bertumpuk-tumpuk dan bergantinya sumber kekuasaan (kultural dunia) dibarengi perebutan sumber-sumber alam dengan kekuatan ekonomi plus militer. Hal itu, menyebabkan relasi antar wilayah di dunia tidak menjadi jelas dan berakhir dengan Ambiguitas.
Yakni, kondisi Ambiguitas memampangkan sejumlah realitas yang sulit diterjemahkan secara jelas dan menciptakan potensi kesalah-pahaman memahami ungkapan pun pesan-pesan khusus antar wilayah (Utara -Selatan). Dunia yang yang multilateral mampu mengakibatkan resiko-resiko sebuah bencana yang dari tangan manusia: konflik horizontal terbuka antar zona.

Kekuatan Seni Selatan-Selatan

Dari gambaran VUCA diatas, kita menemui Sharjah Biennial yang memulai debutnya pada 1993, sebuah perhelatan ekspresi budaya berupa seni kontemporer di kota Sharjah, Uni Emirat Arab. Timur Tengah.
Wakil dari kekuatan budaya dan komunitas yang populasi terbanyaknya adalah Muslim yang cenderung terbuka dan tidak eksklusif, di dunia Selatan dan bukan Barat. Yang sebenarnya,– VUCA dalam dimensi seni dan kultural– dimulai sejak paras Bienial Seni São Paulo, Brasil eksis pada 1951 — ingat tentang peran Indonesia dengan kekuatan poros-politik negara-negara anyar dalam konferensi Asia-Afrika Bandung 1955. Yang dilakukan Brasil adalah menggerakkan kekuatan budaya dengan memiliki stamina luar biasa.

Digeber setiap dua tahun festival seni tersebut sampai memasuki gelaran ke-36 kali yang akan dihelat dari September 2025 sampai Januari 2016 ini.
Hajatan seni raksasa Sao Paulo adalah peristiwa kebudayaan yang diwakilkan ekspresi seni rupa sebagai bienial seni tertua kedua di dunia, mewakili kekuatan Selatan. Yang tentunya berhadap- hadapan dengan Bienial Venesia yang lahir sejak 1895 versi Barat—kekuatan budaya di dunia Utara.

Sementara India memang lahir telat, namun jika dipertimbangan wakil dari festival paling bergengsi seni rupa kontemporer saat ini, yakni Kochi-Muziris Biennale (KMB). India menggebrak dengan tokoh-tokoh artikulatif seniman Utara-Selatan, yang disemarakkan dengan awalan pada 2011 lalu. India didahului oleh Bienali Istanbul Internasional dengan memberi fundamen seni rupa kontemporer sejak 1987 di Istanbul, Turki. Peristiwa festival seni besar lainnya, tentunya peran Tiongkok dengan Beijing Biennial di awal 2000-an dan Busan Biennial (Korea Selatan) sebuah keniscayaan kekuatan ‘Selatan’ yang lain.

Tangkapan layar video Sharjah Biennial 16 di UEA /ist

Identitas Kultural Kita dan Posisi Terkini

Kembali ke topik event Sharjah Biennial yang dihelat pada Februari 2025 lalu dan berakhir nanti di pertengahan Juni 2025, menampilkan seniman-seniman Indonesia yang unik mempresentasikan identitas-identitas majemuknya.

Kita menengok dulu topik utama Sharjah Biennale kali ini sebagai kekuatan budaya teritori Selatan dengan mengusung pengertian upaya ‘membawa bekal sesuatu’, yakni “to Carry”. Yang ditranslasikan dan ditafsir ulang maknanya oleh kesepakatan para kuratornya dan direktur artistiknya.

Sebagai sebuah ikhtiar menengok “beban” ulang sejarah, yang sesekali menyembulkan rasa luka, kondisi iklim tropis yang memampangkan garis-demarkasi-khatulistiwa, memberi semangat perlawanan pantang menyerah, meninjau ulang catatan-catatan penting masa lalu dengan melihat kembali retakan-retakannya pun mengingat baik titik-titik awal sebuah negeri. “to Carry” secara esensial bisa dimengerti mereka para seniman dan pekerja seni serta peneliti memanggungkan makna-makna sangat intim khas negeri mereka, dengan komitmen menciptakan perubahan-perubahan lewat syair pun lagu dan visualisasinya, materi-materi fisikal tanah-negeri dengan mengungkapkan isi batin bangsa dengan ilustrasi-ilustrasi mendalam memori-memori kolektif.

Misalnya membawa tema-tema laut baik fiksi maupun realitas yang akan membawakan semuanya dalam imajinasi tentang empati persaudaraan dan relasi komunal serta membawa spirit bahwa di Selatan ‘Sinar Surya’ masih berpendar dengan tanpa ras jeri.

Sharjah Biennial yang berjalan sampai ke-16 ini yang digawangi lima kurator, memberi cermin negeri-negeri dengan partisipannya tentang refleksi rasa kegamangan bersama. Dengan belajar memahami yang bukan teritori mereka, sembari responsif terhadap zona-zona kultural dan ingatan-ingatan yang dimiliki.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam zaman yang telah berubah, misalnya: apa yang kita akan perbuat dengan beban sejarah dan identitas panjang sebuah negeri yang kompleks? Perlukah kita kelak harus bermigrasi, tetap tinggal atau bertahan dalam hidup meski sia-sia?
Para kurator mempresentasikan proyek seni secara bersama pun membeda menyediakan ruang-ruang empati, saling dorong dan berbagi sumber daya.

Rully Shabbara yang ditampilkan resmi oleh panitia Sharjah Biennial 16 di UEA/tangkapan layar video

Hal ini menciptakan program- program residensi, lokakarya, dan kerja-kerja kolektif hingga penulisan, pengalaman inderawi yang paling sensitif yang direkam, serta aktifitas publikasi yang semata-mata mendorong percakapan kritis tentang berkembangnya sebuah narasi dari berbagai dimensi dan perspektif kultural, politik, geografi pun bahasa di negeri-negeri Selatan.
Kurator dari Indonesia, Alia Swastika sekaligus kurator utama di hajatan Sharjah Biennale ini mengundang 12 seniman, peneliti pun aktivis dengan tema-tema imajinatif majemuk menyoal maritim, keperempuanan sampai aktifitas pemberian suara mereka yang ‘dianggap tak bersuara’ di dalam negeri. Seperti fenomena Petani Kendeng dan identitas para Nelayan di Jepara juga narasi-narasi tentang Papua.

Di Tanah Air, kita juga sebenarnya cukup memiliki hajatan besar seni kontemporer seperti Sharjah Biennial, yang memiliki konteks berbeda dengan hajatan ‘berbau-industri’ secara lokal. Tema yang menggali tentang diskursus identitas-identitas kultural, wacana-wacana yang mengulik ekspresi-ekspresi kolektif yang tersumbat di masyarakat rural.
Kemudian, tantangan-tantangan terkini iklim politik-warga dan relasinya dengan negara, kemudian tentang ambiguitas dunia tanpa batas dalam dunia maya maupun kehidupan marjinal kaum urban yang terpinggirkan di situs-situs tertentu.

Keterasingan-keterasingan komunal kelompok-kelompok keyakinan tertentu selain keniscayaan terlepasnya ikatan-ikatan tradisi sebagai pembawa bentuk karakter masa lalu vis a vis modernitas dll.

Topik-topik mencerahkan ini, puluhan tahun, semenjak th 90-an telah dieksplorasi di hajatan yag cukup kompleks dan menawan, misalnya Jakarta Biennale, Jogja Biennale, Jatim Biennale dll.
Kerja-kerja kultural lain dari kantung-kantung komunitas selalu bergerak dengan ciri festival lokal pun global, yang semakin hari makin marak berbasis swa-kelola; namun makin tak ditengok oleh dukungan-dukungan penuh Pemerintah.

Yang banyak, baru berupa seremoni-seremoni melintas untuk ‘kepentingan non-kultural’ dan berciri ‘politik-kekuasaan’ dengan ‘pemberian hibah’ sementara pada sekelompok komunitas tertentu saja.

Sebagai sebuah contoh, jika Festival Istiqlal yang di framing sebagai “salah satu ekspresi komunitas Muslim besar di dunia” dan dirilis akhir 2024 lalu serta awal Januari sampai rencana Agustus 2025 ke depan dengan dimotori Kemenag (Kementerian Agama) dan Kemenbud (Kementerian Kebudayaan) digaungkan lantang, ternyata realitasnya hari ini tetap adem-adem saja. Pahadal potensi suara-suara majemuk dan ekspres-ekspresi komunitas Muslim sangat kaya di pelosok-pelosok negeri.

Sharjah, sebuah kota kultural di Uni Emirat Arab (UEA),–wakil negeri Selatan— yang juga memiliki khusus identitas festival Kaligrafi tersendiri—bukan Sharjah Biennial dalam konteks ini- -, yang beragam mengundang partisipan seluruh negeri-negeri dengan tradisi ‘olah-ucap dan visual kaligrafi’ yang kaya, membeda dan unik.

Komunitas Muslim yang “membawa beban narasi dan sejarah”—meminjam tema unik Sharjah Biennial 2025;– bahwa kultur Muslim adalah sebuah komunitas budaya yang tercerahkan, membuka diri, rasional dan tetap kritis memahami identitas kultur mereka.

Seniman dan musisi Seringai, Rully Shabbara yang ditampilkan resmi oleh panitia Sharjah Biennial 16 di UEA dalam judul: Sharjah Art Foundation, Artist In Focus – Rully Shabara at Sharjah Biennial 16, silakan simak video  disini:
https://www.youtube.com/watch?v=JgLK9mTZemE&t=132s

Bambang Asrini Widjanarko, kerani seni

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here