Aendra Medita*)
“Seni adalah politik yang jujur. Politik adalah seni yang saat ini kehilangan kejujuran.”
Pengantar:
Kalimat diatas mengundang tanya. Apa benar semua itu demikian? Ketika Kebenaran Memilih Bahasa Lain Indonesia adalah negeri yang selalu gamang antara idealisme dan pragmatisme, antara narasi keadilan dan praktik kekuasaan.
Dalam kegamangan itu, seni dan politik bukan sekadar dua dunia yang berbeda; keduanya saling mencerminkan, mengkritisi, dan kadang saling membungkam. Di tengah pertarungan wacana, seni menjadi bahasa alternatif ketika politik gagal berkata jujur.
Seni sebagai Politik Alternatif Seni bukan pelengkap seremoni. Seni adalah medium perlawanan yang paling purba, paling sublim, dan paling berbahaya. Ia tak tunduk pada tata bahasa kekuasaan. Ia menyelinap, menggoda, mencibir, dan menggugat tanpa perlu parlemen.

Di Indonesia, sejarah sudah membuktikan: Chairil Anwar tidak membuat manifesto politik, tapi puisinya menghidupkan semangat revolusi. WS Rendra tidak menduduki kursi menteri, tapi pentasnya mengguncang kesadaran nasional. Para pelukis tidak menulis UU, tapi warna-warna mereka lebih ideologis daripada pidato resmi negara. Seni adalah ruang paling bebas, dan justru karena kebebasannya, ia sangat politis. Ketika semua lembaga dikendalikan kekuasaan, seni menjadi satu-satunya tempat yang masih bisa berkata: ini salah, ini zalim, ini harus dilawan.
Chairil Anwar, penyair/ist
WS Rendra, dramawan Indonesia/ist
Politik Tanpa Imajinasi = Kekuasaan yang Tumpul
Politik hari ini kerap kehilangan imajinasi. Visi bangsa dikecilkan menjadi angka survei. Etika publik direduksi menjadi opini buzzer. Politisi lebih sibuk membentuk citra dibanding membangun narasi masa depan. Maka tak heran, Indonesia melangkah dengan tubuh besar tapi jiwa kerdil. Di sinilah seni harus masuk sebagai intervensi kultural—bukan untuk mempercantik panggung kekuasaan, tapi untuk mengganggu narasi dominan, membongkar ilusi, dan memperluas ruang berpikir publik.
Politik tanpa keberanian imajinasi hanya akan melahirkan pembangunan fisik tanpa pembangunan batin. Masa Depan Indonesia Butuh Seniman yang Melek Politik dan Politisi yang Melek Seni Kita tak bisa membiarkan seni hidup dalam menara gading, sekadar untuk galeri dan kolektor.
Seni harus kembali ke jalan, ke sekolah, ke desa, ke layar kaca, ke sosial media—mewakili suara yang tak punya akses ke parlemen. Di sisi lain, kita juga tak bisa membiarkan politik hanya diisi oleh mereka yang miskin empati dan imajinasi. Politik bukan sekadar administrasi kekuasaan, tapi cara membangun makna hidup bersama. Dan makna tidak dibangun oleh APBN, tapi oleh nilai, oleh kebudayaan, oleh estetika keberpihakan.
SENI POLITIK BUKAN POLITIK SENI
Saya tiba-tiba ingat sebuah kisah drama berjudul “Pakaian dan Kepalsuan” dalam teks Inggris The man with the green necktie karya Arkady Timofeevich Averchenko. Sebuah drama sadurannya dibuat oleh Achdiat Karta Mihardja.
Averchenko lahir di Prague tahun 1881. Averchenko aktif sebagai penulis dan editor di sebuah jurnal bernama Satyricon. Sebuah majalah yang banyak mengkritisi praktik kotor para politisi semasa pra-revolusi (irony) dan pasca-revolusi (satire).
Averchenko menulis banyak artikel dan sudah lebih dari 20 buku ia terbitkan. Pasca revolusi Bolshevik jurnal Satyricon mendeklarasikan anti-soviet.
Seluruh staf termasuk Averchenko mengambil langkah oposan bagi struktur pemerintahan yang tengah dibangun. The man with the green necktie merupakan salah satu buah renungan Averchenko atas situasi saat itu.
Lakon ini menggambarkan fenomena sosial masyarakat yang masih konteks dengan realitas kehidupan masyarakat pada saat ini, yakni masyarakat ideal yang selalu melihat perspektif seseorang melalui penampilan tanpa tahu isi dalamnya.
Perspektif seperti ini mempunyai implikasi lain terhadap masyarakat, yakni masyarakat yang paradox. Paradox yang dimaksud adalah, masyarakat yang mempunyai kecenderungan memberikan pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
Di Indonesia seni sudah dikenal drama ini dengan judul “Pakaian dan Kepalsuan” yang mengalami situasi dilematis yakni sebuah konflik teologis dalam balutan problema kehidupan.
“Pakaian dan Kepalsuan” ini bercerita dalam latar sosial kepadatan ibukota pada era reformasi. “Pakaian Dan Kepalsuan” mengajarkan nilai-nilai universal yang masih relevan hingga sekarang, yakni: bahwa di balik sebuah pakaian sesungguhnya manusia memiliki jiwa dan watak yang berbeda.
“Pakaian dan Kepalsuan” sangat menarik terutama pesan-pesan dalam menghadapi fenomena masyarakat ibukota yang nota bene merupakan masyarakat Indonesia pada umumnya. “Pakaian dan Kepalsuan” juga sarat dengan ketajaman filosofis yang menjadi credo penulisnya dengan penuturan yang jauh dari kesan menggurui dan ‘menghakimi’. “Pakaian dan Kepalsuan” menerangi suatu kondisi dimana terdapat kelompok masyarakat yang punya jabatan tinggi.
Ada ruang monumental yang dimaksud adalah, dimana setiap individu menjalani kehidupan yang hanya sebatas perkataan tanpa bukti. Juga hipokrit, adalah istilah lain untuk menyebut orang-orang semacam ini, karena kemunafikan dapat menyelesaikan masalah dengan kemegahan dalam penampilan namun lagi nihil individu murni.
“Pakaian Dan Kepalsuan” sebuah konflik dalam lakon seolah menjadi potret Indonesia di hari ini yang sangat sensitif dengan permasalahan politik, meskipun dengan perspektif latar belakang ideologi yang berbeda. Dalam dialog “Pakaian Dan Kepalsuan” inilah yang ingin disampaikan: “Silakan tuan-tuan, kejarlah orang-orang itu. Pintu sudah terbuka luas untuk tuan-tuan. Dan lampu-lampu di jalan cukup terang. Ingin kutahu kepecepatan dan kepalsuan mengejar kejujuran.” (Dialog salah satu tokoh perempuan).
Atas semua itu lantas bertanyalah “Ada apa dengan Seni Politik, Politik Seni yang memang menarik. Jika ditarik-tarik memang apa dasar seni itu Politik Seni jadi unik, bukan sekadar intrik, tapi terus ada sebagai sebuah kritik agar kita tak mati rasa dalam hidup memang harus siap di kritisi dan nilai ini akan membuat naik kelas karena penuh kritikan akan membawa kedewasaan yang akan membuka jalan menemukan solusi.
Lalu kisah ini berlanjutlah mungkin SENI POLITIK SAAT INI UNTUK MASA DEPAN?
Penutup
Seni Politik Adalah Kewaspadaan Kolektif Jika politik adalah ruang pengambilan keputusan, maka seni adalah ruang pengambilan kesadaran. Keduanya harus saling menguatkan. Ketika politik tersesat, seni mengingatkan. Ketika seni mulai elitis, politik rakyat mengoreksi. Masa depan Indonesia bukan hanya soal siapa presidennya, tapi soal bagaimana kita merawat nilai, merawat jiwa bangsa. Dan itu adalah tugas politik sekaligus tugas seni.
Mari kita rumuskan ulang masa depan, bukan hanya dengan logika kalkulasi, tapi dengan logika nurani. Karena Indonesia tak bisa dibangun dengan sekadar infrastruktur, tetapi harus juga dengan struktur jiwa. Dan di sanalah seni dan politik bersua.
Apakah Anda ingin berkomentar silakan juga…
*)Aendra MEDITA, seorang pencinta Seni & Budaya
Sponsor