Home AGENDA SENI POLITIK DAN MASA DEPAN INDONESIA

SENI POLITIK DAN MASA DEPAN INDONESIA

0
AENDRA MEDITA/IST

Loading

Aendra Medita*)

“Seni adalah politik yang jujur. Politik adalah seni yang saat ini kehilangan kejujuran.” 

Pengantar:
Kalimat diatas mengundang tanya. Apa benar semua itu demikian? Ketika Kebenaran Memilih Bahasa Lain Indonesia adalah negeri yang selalu gamang antara idealisme dan pragmatisme, antara narasi keadilan dan praktik kekuasaan.
Dalam kegamangan itu, seni dan politik bukan sekadar dua dunia yang berbeda; keduanya saling mencerminkan, mengkritisi, dan kadang saling membungkam. Di tengah pertarungan wacana, seni menjadi bahasa alternatif ketika politik gagal berkata jujur.
Manfaat Dana Abadi Kebudayaan untuk Pewarisan Pentas Teater Longser di Bandung
Longser Bandoengmooi: Kami hidupkan dan Tidak Hidup Dari Longser - PribumiNews.co.idSeni sebagai Politik Alternatif Seni bukan pelengkap seremoni. Seni adalah medium perlawanan yang paling purba, paling sublim, dan paling berbahaya. Ia tak tunduk pada tata bahasa kekuasaan. Ia menyelinap, menggoda, mencibir, dan menggugat tanpa perlu parlemen.
Ratna Sarumpet saat terkena cekal akan mentas Marsinah Mengugat di CCF Bandung 1997 /foto Aendra Medita
Di Indonesia, sejarah sudah membuktikan: Chairil Anwar tidak membuat manifesto politik, tapi puisinya menghidupkan semangat revolusi.  WS Rendra tidak menduduki kursi menteri, tapi pentasnya mengguncang kesadaran nasional. Para pelukis  tidak menulis UU, tapi warna-warna mereka lebih ideologis daripada pidato resmi negara. Seni adalah ruang paling bebas, dan justru karena kebebasannya, ia sangat politis. Ketika semua lembaga dikendalikan kekuasaan, seni menjadi satu-satunya tempat yang masih bisa berkata: ini salah, ini zalim, ini harus dilawan.

28 April 1949: Wafatnya Penyair Legendaris Chairil Anwar | Asumsi

Chairil Anwar, penyair/ist

Mengenang Hari Lahir W.S. Rendra - BPPM Pasoendan

WS Rendra, dramawan Indonesia/ist

 

Politik Tanpa Imajinasi = Kekuasaan yang Tumpul

Politik hari ini kerap kehilangan imajinasi. Visi bangsa dikecilkan menjadi angka survei. Etika publik direduksi menjadi opini buzzer. Politisi lebih sibuk membentuk citra dibanding membangun narasi masa depan. Maka tak heran, Indonesia melangkah dengan tubuh besar tapi jiwa kerdil. Di sinilah seni harus masuk sebagai intervensi kultural—bukan untuk mempercantik panggung kekuasaan, tapi untuk mengganggu narasi dominan, membongkar ilusi, dan memperluas ruang berpikir publik.
Politik tanpa keberanian imajinasi hanya akan melahirkan pembangunan fisik tanpa pembangunan batin. Masa Depan Indonesia Butuh Seniman yang Melek Politik dan Politisi yang Melek Seni Kita tak bisa membiarkan seni hidup dalam menara gading, sekadar untuk galeri dan kolektor.
Seni harus kembali ke jalan, ke sekolah, ke desa, ke layar kaca, ke sosial media—mewakili suara yang tak punya akses ke parlemen. Di sisi lain, kita juga tak bisa membiarkan politik hanya diisi oleh mereka yang miskin empati dan imajinasi. Politik bukan sekadar administrasi kekuasaan, tapi cara membangun makna hidup bersama. Dan makna tidak dibangun oleh APBN, tapi oleh nilai, oleh kebudayaan, oleh estetika keberpihakan.
Penutup
Seni Politik Adalah Kewaspadaan Kolektif Jika politik adalah ruang pengambilan keputusan, maka seni adalah ruang pengambilan kesadaran. Keduanya harus saling menguatkan. Ketika politik tersesat, seni mengingatkan. Ketika seni mulai elitis, politik rakyat mengoreksi. Masa depan Indonesia bukan hanya soal siapa presidennya, tapi soal bagaimana kita merawat nilai, merawat jiwa bangsa. Dan itu adalah tugas politik sekaligus tugas seni.
Mari kita rumuskan ulang masa depan, bukan hanya dengan logika kalkulasi, tapi dengan logika nurani. Karena Indonesia tak bisa dibangun dengan sekadar infrastruktur, tetapi harus juga dengan struktur jiwa. Dan di sanalah seni dan politik bersua.
Apakah Anda ingin berkomentar silakan juga…
*)Aendra MEDITAseorang pencinta Seni & Budaya
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here