Sejumput Kronik Politik-Seni Barat dan Tiongkok
Menyimak Seni dan relasinya dengan geo-politik dunia, mari kita menjemput sekelumit kisah yang terkait dengan seniman Amerika Serikat dan polemik politik di dalam negeri mereka. Salah satu wakil dari dunia Barat, dan sebaliknya; kita jumput pula juga kronik seniman dari dunia Timur sebagai perbandingan.
Sebagai contoh awal kebangkitan suara seniman dari Tiongkok yang mendapat pengakuan global. Dari daratan yang mewarisi ribuan tahun jejak kultural imperium Tiongkok, mengemuka kembali dengan ekspresi kultural populasi 1.3 miliarnya pada abad ke-20 dan 21 ini. Yang akhirnya, membetot atensi institusi berwibawa di belahan dunia Barat seperti, museum seni kontemporer dan dinamika diskursus-diskursus “seni liyan”. Kita tahu ini semua berawal dari respon peristiwa tragedi Tiananmen pada 1989 lalu, seni kontemporer Tiongkok lebih progresif, mempresentasikan ruang-ruang dialog seni yang dianggap tradisi vis a vis modern membuka mata dunia.
Yang tentunya juga, pengaruh perkembangan fantastis ekonomi Tiongkok dalam tiga dekade ini menjelajahi seluruh lini hidup. Tak terkecuali ungkapan-ungkapan seni sebagai suara-suara lantang dari Timur.
Politik dalam pengertian tulisan ini, semata-mata bukanlah sebuah kuasa membaca sebuah gerakan terstruktur dan sistematik bentuk-bentuk estetika dari sebuah perlawanan alamiah atau respon yang melibatkan para cendekia seni dan praktisi seni, serta institusi independen terhadap eksistensi seni Barat yang telah dominan berabad-abad. Tapi, bisa diartikan sebuah potret kenicayaan alternatif selama tiga dekade ini dan pemberian ruang sepadan, yang mana bagian dari dunia selain Barat.
Seni Tiongkok termutakhir memberi presentasi kuat yang membentuk seniman-seniman jenialnya sebagai pihak “oposan” sekaligus “pinggiran” yang sedang berjalan ke “tengah peradaban” dunia. Kita memaknainya dalam bingkai “seni dan politik” dalam konteks sejarah seni modern dunia. Sementara itu, bagaimana sekilas cuplikan praktik seni dan fragmen-fragmen yang menyertainya, ungkapan personal-personal seniman terkait dengan “gejolak-politik kekuasaan” yang sedang berlangsung di dua kutub di dalam negeri mereka (Barat dan Timur) dan interprestasi pun reintepretasi sebuah momentum waktu dan zaman yang sedang bergejolak saat itu, tatkala sebuah karya seni dibuat. Tulisan ini bisa sebagai pengingat peristiwa-peristiwa, kutipan pernyataan estetik seniman, yang mungkin saja memerlukan dukungan fundamen-fundamen teoritik dan tinjauan kesejarahan lebih kompleks di luar dunia Barat.
Seni kontemporer usai tahun 2000-an, memang telah lebih diakui secara global sebagai ekpresi multi lateral dan demokratis dengan kebangkitan Asia menyeruak makin cepat ke permukaan ekosistem seni dunia. Hal itu, tentunya membutuhkan kompleksitas pemahaman, pelibatan kajian-kajian multi-tafsir dan inter-disipliner ilmu pengetahuan anyar tentang praktik kultural semenjak abad ke-20; dan juga penelitian-penelitian yang mendalam dan telaah dari para cendekiawan dan peneliti di sepanjang sejarah dan dinamika artistik di dunia Timur. Yang pastinya, mengungkap dan memberi kekayaan baru bagi kajian-kajian keilmuan seni rupa di perpustakaan kampus-kampus seni seantero jagad semenjak awal memampangkan buku- buku “sejarah klasik sejak masa Rennaisance Eropa” sampai karya-karya “avant-gardis” yang dianggap ternama versi Barat.
Tulisan sederhana ini, semata semacam sebuah potret yang melintas, mewakili eksistensi seni personal sebagai ungkapan kultural atau sepenggal peristiwa bagi seniman-seniman dari dua sisi raksasa besar ekonomi dan budaya dunia: Amerika dan Tiongkok! Isu ‘Politik-Seni’ Jasper John dan Bendera Amerika Serikat Kita memulainya dengan kronik estetik personal seniman yang menyimpan irisan seni dan “politik kekuasaan” yang kemudian menyertakan museum raksasa dunia seperti MOMA dan kolektor awal seni modern, Leo Castelli. Ia seorang kolektor bereputasi yang melapangkan jalan bagi seniman-seniman yang dikenal di gerakan pop art dan minimalisme, dan serta-merta kita menoleh pada sosok ini sebagai target awal: Jasper Johns.
Johns dikenal sebagai seniman Amerika yang memberi kontribusi signifikan dalam seni paska perang—terutama Perang Dingin AS vs Uni Soviet dan Tiongkok–, khususnya dalam perkembangan seni pop dan jenis abstrakisme yang unik. Ia tenar menggali kemungkinan perspesi publik seni untuk menafsirkan ulang secara jamak dengan menantang batas-batas yang mana obyek seni rupa juga obyek-obyek lain dalam pengalaman keseharian. Johns banyak didukung kritik seni berwibawa yang menterjemahkan karyanya membawa apresian baru menyaksikan dan melampaui simbol-simbol secara visualistik dan mendorong penikmat seni makna-makna anyar serta konteks yang lebih mendalam. Namun lukisannya yang begitu fenomenal—di awal karirnya– di serial “Flag” yang dibuat sekitar 1954-1955, melahirkan polemik berkepanjangan menggambarkan bendera Amerika. Karyanya menantang persepsi tentang bendera sebagai obyek—seturut yang diyakini oleh cendekiawan seni rupa saat itu—tersirat pula simbol nasional dan lambang ‘patriotisme banal’ dalam ingatan publik warga AS. Partisipasi Alfred H Barr Direktur MOMA, yang mengakuisisi karya Johns, peran kolektor Leo Casteli dan jejaring bisnisnya dalam proyek solo pameran tunggalnya di Leo Castelli Gallery serta beririsan pernyataan-pernyataan sebagian apresian warga Amerika Serikat waktu itu.
Catatan sejarah memberi bukti fenomena lukisan bendera Johns dengan fenomena “demam anti komunis” telah menjadi diskurus tersendiri di kemudian hari. Johns sebelum mengejar karirnya sebagai seniman, sempat mencicipi konflik perang dengan AS-Uni Soviet-Tiongkok, yakni ia menjadi veteran perang Korea. Perang Korea (1950-1953) adalah konflik penting yang menyertai Perang Dingin, yang membuat Amerika Serikat lebih was-was tentang “infiltrasi komunisme” di dalam negeri. Sejarah mengingatkan, konflik terbuka di Korea yang negara Amerika Serikat memunculkan pakta-pertahanan blok NATO membela Korea Selatan menciptakan apa yang kemudian menularkan “gerakan anti-komunis di dalam negeri” dengan slogan-slogan provokatif yang popular dengan “McCarthisme”. Anti-komunis di Amerika Serikat, dipanaskan suhu politikya oleh Senator Joseph McCarthy yang menargetkan dan menuduh orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan komunis.
Sebuah jejak lucu paranoia masal terhadap kaum kiri, di negeri “kampiun demokrasi dunia”, mengingatkan kita pada masa-masa Orde-Baru di Tanah Air, komunisme dianggap momok dan hantu yang patut diberangus. Lukisan “bendera” Johns bisa jadi sebuah inovasi baru dengan alasan menantang persepsi anyar tentang medium, simbol-simbol serta membawa seni dan pengalaman keseharian. Yang tentu saja tak terhindarkan adalah melibatkan juga konteks lain tak hanya yang personal dan segala acuan munculnya gerakan seni-pop, tapi ingatan publik awam di mata batin mereka tentang makna “patriotisme” dalam ingatan komunal. Dialektika publik merayap hadir, bahwa konteks lukisan tersebut yang menjadi akhirnya klasik yang terjadi di masyarakat selama era Perang Dingin: bendera simbol patriotisme melawan komunisme.
Perlawanan Laten Fang Lijun dan Realisme Sinikal Sejarah Tiongkok memang membeda, seni modern yang menggedor jarak batasan tradisi dan ungkapan-ungkapan baru visual atau “lebih modern”, memuncak dengan semacam gerakan struktural budaya yang berkelindan dengan peristiwa secara politik (protes terhadap kebebasan berekspresi). Suara para seniman-seniman muda ditandai oleh protes mahasiswa tahun 1989 di Lapangan Tiananmen, jika di Tanah Air tentunya seni paska reformasi lebih marak usai puluhan tahun ekspresi-ekspresi seni harus memakai strategi “pergerakan gerilya seni” dan melahirkan seniman generasi muda di kantung-kantung komunitas di Bandung, Jakarta dan Jogjakarta.
Seniman-seniman di Tiongkok mencipta karya yang merespon semangat zaman, menggunakan berbagai teknik bahasa anyar dan menggelar aksi yang provokatif acapkali absurd, seperti menembakkan senjata ke instalasi mereka sendiri, mengolesi ayam dengan sabun, atau menyalakan kembang api yang dijahit ke celana jins mereka. Karya-karya terebut tentunya merefleksikan tegangan antara individualisme dan kolektivisme, semacam perubahan sosial, politik dan ekonomi yang radikal. Salah satu dari sekian banyak seniman Tiongkok yang beririsan dengan tragedi Tiananmen adalah sosok Fanglijun yang dikenal dunia dengan lukisan-lukisan realis-nya yang menekankan humor dan satire kondisi zamannya. Selain figur Fanglijun kita mengenal pula seniman seperti Yumingjun atau Gujian yang mereka bersama seniman lain mengusung gerakan Sinikal Realisme.
Seniman lebih senior, seperti Ai Wei-Wei dan sejumlah lainnya;– yang memang keturunan keluarga aktivis politik, yang sampai sekarang dikenal sebagai benar-benar seniman-aktivisme dan konseptual ternama di Tiongkok tak dipilih dalam perwakilan seniman individu oleh penulis. Sebab, Ai Wei Wei memang sejak awal mengingat karirnya di tahun 80-an awal telah memikat dunia, dan mendapat dukungan spektakuler dari media dan infrastruktur seni dunia Barat, seperti museum-museum raksasa dan Yayasan independen seni dunia dll.
Fanglijun membeda, terutama sosok ini berhimpitan dengan ‘gaya’ realisme sinikal yang jika kita teliti lebih jauh membongkar, memperolok sekaligus menselebrasi banalitas kehidupan keseharian selain bermimpinya kebebasan bersuara secara politis namu tidak frontal dan memanggungkan kehidupan urban Tiongkok baru dengan gaya hidup unik dengan cara humor muram. Simbol-simcol kepala botak, wajah lugu nan plontos, gambaran senyum dan tertawa lebar yang seolah-olah menertawakan kondisi sosial sementara wong-cilik terpinggirkan — adalah semata- mata perwakilan jenial dari cita-rasa ‘pop-art’ ala Tiongkok.
Fanglijun tipe seniman yang “patuh” dengan ‘strategi gerakan gerilya seni’ dengan karya yang menebarkan susunan lambang-lambang visual dan mempermainkan kode-kode diri sendiri; ketelanjangan tubuh dan wajah secara lucu tentunya menohok kesadaran kolektif warga Tiongkok tanpa harus membuat marah “penguasa di Beijing”. Yang dengan seni semacam ini telah lama dikenal dunia dan era seni kontemporer Tiongkok memoles wajah barunya di jagad seni kontemporer global. Dua kutub negeri ini menyimpan misteri, jika mewakilkan sosok dua seniman diatas yakni, wawancara Jasper Johns dengan media-media ternama Barat tentunya; dan upaya “persembunyiannya terhadap bahaya merah”. Dengan dalih munculnya daya ungkap baru dan inovasi medium serta gerakan abstrakisme uniknya, serta upaya menyaingi abstrak-ekspresionsme yang lazim saat itu, serta hadirnya gerakan pop art awal Johns selalu mengelak. Ia menjawab, “saya tak ada itikad membuat karya dengan misi “patriotisme banal” dengan karya bendera. Semata bukan membebek ‘anti komunis’ dan akibat pengaruh Perang Korea di dalam negeri, sebab seni saya multi tafsir!”.
Di saat lain, era akhir 80-an; Fanglijun jujur menyapa publik saat diwawancara media Barat, bahwa “saya hanya merekam kondisi sosial dan itulah kondisi keseharian masyarakat hari ini”, ujarnya tegas. Dua sosok yang dibesarkan zaman, dalam jenis dan momen berbeda, dan kelak dunia dalam dua dasawarsa ke depan mungkin saja menceritakan ulang karya-karya mereka saat Barat, mungkin telah benar-benar terlampaui oleh raksasa seni Tiongkok yang mewarisi ribuan tahun peradaban lama. Yang paling penting serta menarik, bagaimana seni Indonesia terkini, apakah akan juga bersiap ‘tinggal-landas’?
Bambang Asrini Widjanarko, kerani seni
Sponsor