PROSA KEHIDUPAN Ketika Kekuasaan Tak Mau Pensiun
Oleh: Aendra Medita*)
ADA-ADA SAJA… Ya inilah Indonesia yang sangat indah. Maasa di mana kekuasaan adalah segalanya. Tapi sebenarnya kekuasaan adalah amanah. Ia datang sebagai tanggung jawab, bukan hak milik.
Ia mengikat seseorang untuk berpikir dan bertindak bagi banyak orang, bukan untuk diri sendiri. Tapi ada juga masa ketika kekuasaan telah berakhir. Kursi ditinggalkan, jabatan dicabut waktu, dan panggung telah kosong.
Namun, tak semua orang sanggup menerima kenyataan itu. Hari-hari ini, kita menyaksikan sosok-sosok yang pernah berada di lingkar kekuasaan, tetapi tak mau benar-benar pergi. Masa jabatannya telah usai, masa baktinya telah selesai, namun ia masih ingin mengatur, mencampuri, menggerakkan, bahkan mengganggu.
Ia masih bermain dalam panggung politik dan kebijakan, seperti anak kecil yang tak rela mainannya dirampas kenyataan. Ia mengira negeri ini tak akan berjalan tanpa suaranya, tanpa skenarionya, tanpa jejak langkahnya.
Laku seperti itu bukan hanya menyedihkan, tapi juga membahayakan. Ketika yang lama menolak diganti, yang baru tak punya ruang untuk tumbuh dan kadang sunyi tak berani..
Ketika bayang-bayang masa lalu terus menyelimuti negeri, sinar masa depan menjadi buram. Orang-orang seperti ini lupa bahwa kekuasaan bukan warisan, bukan pula hak abadi. Ia datang dengan waktu, dan harus pergi dengan hormat ketika waktunya habis.
Lebih buruk lagi, mereka yang tak bisa melepaskan kekuasaan, sering kali bermain api. Menciptakan konflik, menyebar pengaruh, membangun opini palsu. Ia membentuk jaringan baru untuk mempertahankan pengaruh yang seharusnya sudah berakhir.
Rakyat tak lagi menjadi pusat, hanya alat. Publik bukan lagi prioritas, hanya penonton yang harus diarahkan.
Apakah ini sekadar ambisi? Atau gejala psikologis kekuasaan yang sudah menjadi candu?
Ketika seseorang terlalu lama berada di atas, ia lupa rasanya berjalan kaki. Ia lupa mendengar, lupa merasakan denyut rakyat. Ia mengira dirinya masih penting, padahal hanya menjadi beban bagi transisi yang sehat. Negeri ini tak kekurangan orang cerdas.
Yang muda, segar, dan punya gagasan. Tapi ruang itu sering ditutup oleh bayangan masa lalu yang tak selesai. Bayangan itu menjelma dalam tubuh pejabat yang enggan pensiun secara mental, yang terus mencengkeram, meski tak lagi sah.
Prosa kehidupan ini ini bukan tentang nama. Ini tentang pola. Tentang bahaya ketika seorang mantan pejabat tak tahu kapan berhenti. Tentang ego yang lebih besar dari etika, dan kepentingan pribadi yang dibungkus seolah kepedulian.
Kita tak butuh pemimpin seperti itu. Kita butuh mereka yang tahu kapan naik, dan lebih mulia lagi—tahu kapan turun dengan terhormat.
Jika benar mencintai negeri ini, berhentilah bermain-main. Jangan merusak ruang yang sedang diperjuangkan orang dan sejumlah tokoh. Jangan membuat rakyat lelah oleh ambisi tak selesai dan sajian yang meng-absurditas-kan kehidupaan yang makin absurd.
Namun sejarah bangsa ini mengajarkan hal lain. Bisa contoh Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama republik ini. Sutan Syahrir adalah seorang politikus dan pemimpin revolusi kemerdekaan Indonesia yang menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga 1947.
Ia seorang intelektual tulen, penulis Renungan Politik yang tajam, perunding yang disegani oleh dunia, dan salah satu arsitek kemerdekaan yang sesungguhnya. Tapi ia tidak pernah menjadikan jabatan sebagai tempat menggenggam kuasa. Ketika perbedaan prinsip dengan Bung Karno membuncah, ia memilih mundur. Ia menolak kekuasaan yang tak sejalan dengan hati nuraninya.
Dan ia tak pernah berusaha kembali dengan intrik. Ia percaya, kekuasaan tanpa etika adalah penghianatan pada republik.
Begitu pula Sjafruddin Prawiranegara, yang memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia saat Bung Karno dan Bung Hatta ditawan Belanda. Dalam situasi gelap, ia menyalakan obor kepemimpinan. Tapi saat Bung Karno kembali, ia menyerahkan mandatnya dengan tulus. Tidak menggugat, tidak mempertanyakan. Karena ia tahu, pemimpin sejati bukan yang memaksakan kekuasaan, tapi yang siap melepasnya demi bangsa.
Dan ada pula Tan Malaka. Dituding kiri, dijauhi pusat kekuasaan, tapi tetap membela Republik. Ia menulis, bergerak diam-diam, dan memperjuangkan Indonesia dengan pikirannya. Dalam catatannya yang kini jadi warisan sejarah, ia menulis: “Untuk mencapai Indonesia merdeka seratus persen, tiap-tiap orang Indonesia harus berani berpikir, berani bertindak, dan berani bertanggung jawab atas perbuatannya.” Ia setia pada prinsip, meski tak lagi dianggap oleh penguasa saat itu. Tapi perjuangannya elegan.
Negeri ini harus bergerak maju. Dan untuk itu, yang sudah usai—harus benar-benar selesai. Tentang bahaya ketika seorang mantan pejabat tak tahu kapan berhenti. Tentang ego yang lebih besar dari etika, dan kepentingan pribadi yang dibungkus seolah kepedulian.
Kita tak butuh pemimpin seperti itu. Kita butuh mereka yang tahu kapan naik, dan lebih mulia lagi—tahu kapan turun dengan terhormat. Tabik..!!!
*) Jurnalis pecinta seni budaya dan sejarah Bangsa
Sponsor