![]()
SENI.Co.id — Ia duduk di ruang tunggu yang penuh sesak. Wajah-wajah penuh tanya, desakan, dan harapan agar dirinyalah yang pertama dipanggil. Di ruang itu, semua menganggap sakitnya paling parah, urusannya paling genting. Tapi di balik pintu kamar perawatan, para dokter dan perawat justru sibuk menghitung “amplop” ketimbang memeriksa denyut nadi. Semakin banyak yang sakit, semakin gemuk pula kantong mereka.
Metafora getir itulah yang akan dihidupkan oleh kelompok teater Indonesia Kita dalam pementasan ke-44 mereka bertajuk “Pasien No. 1”. Pertunjukan ini digelar di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 31 Oktober dan 1 November 2025. Sebuah lakon yang bukan sekadar tontonan, melainkan cermin retak yang sengaja dihadapkan ke wajah bangsa.
“Kita seperti hidup di rumah sakit besar bernama Indonesia. Semua orang berteriak ingin diutamakan, tapi lupa bahwa sistemnya sendiri sedang sakit,” ujar Butet Kartaredjasa, salah satu pendiri Indonesia Kita, menggambarkan suasana yang melatari lakon ini.
Naskah yang ditulis dan disutradarai Agus Noor ini mengisahkan kemerosotan etika di sebuah rumah sakit fiktif. Di sana, pelayanan tidak lagi ditentukan oleh urgensi medis, melainkan oleh besaran suap. Penderitaan pasien dilihat sebagai ladang cuan. Situasi ini menjadi alegori tajam atas kondisi penegakan hukum di Indonesia yang kerap memprioritaskan yang berkoin, ketimbang yang benar.
Namun di tengah kegelapan itu, pentas ini menyalakan sebuah lilin. Sebuah nama dihadirkan bagai oase di gurun integritas, Jenderal Hoegeng Iman Santosa, mantan Kapolri (1968-1971) yang legendaris karena keteguhan dan kejujurannya. Pentas ini secara khusus dipersembahkan untuk mengenang sang jenderal yang wafat pada 14 Juli 2004 itu.
“Inspirasi pertunjukan Indonesia Kita tidak hanya dari kalangan seniman budayawan, tapi seorang Jenderal Polisi, yaitu Pak Hoegeng,” tegas Agus Noor. Baginya, Hoegeng bukan sekadar nama di buku sejarah, melainkan simbol keteladanan dan integritas yang kian langka.
Butet Kartaredjasa bahkan menyambangi langsung kediaman Meriyati Hoegeng, sang istri, yang telah berusia lebih dari 100 tahun, pada September 2025 silam. Ia datang untuk “ngalap berkah”, memohon restu, karena lakon “Pasien No. 1” terinspirasi dari watak dan pemikiran Hoegeng.
“Sikap dan watak Pak Hoegeng yang senantiasa berani dan jujur demi menegakkan kebenaran, bahkan berani menolak perintah atasan karena sang atasan mengkhianati kebenaran, menjadi jiwa pertunjukan terbaru di Indonesia Kita,” tutur Butet.







