Oleh Aendra Medita*)
PAMERAN Seni Instalasi Fotografi Rupa Andi Sopiandi di Braga dibuka dalam konteks budaya dan refleksi makna ada pertunjukan pantomimer Ismime (Iskandar Mime). Ia tampil dengan Topeng Putih dan lebih makin membawa Makna di Balik Pembukaan pameran seni Instalasi forografi rupa karya Andi Sopiandi bukan sekadar momentum untuk melihat karya yang dipajang di dinding mini galeri.
Ia (Iskandar Mime) kerap menjadi sebuah peristiwa budaya yang menghubungkan ragam ekspresi seni, dari rupa, musik, hingga pertunjukan. Hal inilah yang terasa begitu kuat ketika pameran Andi Sopiandi dibuka Morce 15 Braga sore (22/9/25) — Morce adalah sebuah kawasan legendaris yang sejak lama menjadi pusat denyut seni fotografi dan di Bandung, dimana hampir sejumlah fotografer akan hadir di Morce No 15 itu. Pameran bertajuk “Bekas Dibalik Foto” akan berlangsung sampai 22 Oktober 2025, dikuratori oleh Aendra Medita.
Di tengah ruang pamer yang ada 7 karya kuat ada energi perjumpaan, hadir Ismime, seorang pantomimer, yang dengan tubuh yang lentur dan topeng putih yang memukau. Ismime hadirkan sebuah narasi gerak diam yang justru lantang penuh makna.
Pantomim Sebagai Bahasa Tubuh
Pantomim kerap dianggap seni sederhana: tubuh yang bergerak tanpa suara. Tetapi Ismime menunjukkan bahwa diam tidaklah berarti kosong. Dalam penampilannya, setiap gerak tubuh seakan diatur dengan presisi untuk menyampaikan pesan emosional. Ia melangkah dengan ritme terukur, mengangkat tangan dengan penuh kesadaran, lalu membiarkan tatapan penonton mengikuti setiap transisi.
Topeng putih yang menutupi wajahnya seolah meniadakan identitas personal, namun sekaligus memperbesar universalitas ekspresi: siapa pun bisa melihat dirinya di sana. Ismime mengingatkan bahwa pantomim adalah seni membaca tubuh sebagai teks. Gerakan tubuhnya bukan sekadar estetika, tetapi juga bahasa alternatif yang melawan dominasi kata-kata. Ia menegaskan, tubuh manusia mampu menjadi instrumen puitis yang menghadirkan tafsir luas bagi yang menyaksikan.
Musik Ilustrasi dan Aura Pertunjukan
Salah satu hal menarik dari penampilan Ismime adalah penggunaan musik ilustrasi yang mengiringinya. Musik itu tidak mendominasi, melainkan memberi ruang resonansi bagi gerakan tubuh. Sesekali musik mengalun lirih, menegaskan nuansa melankolis, lalu melonjak untuk memberi aksen dramatik. Keterpaduan ini menciptakan atmosfer yang tak hanya visual tetapi juga auditif, sehingga audiens merasakan pengalaman multisensorik.
Jika karya-karya Andi di dinding berbicara dalam warna dan garis, maka Ismime dan musik pengiringnya berbicara melalui gerak dan bunyi. Perpaduan itu membuat pembukaan pameran menjadi lebih dari sekadar acara formal: ia berubah menjadi ruang interaksi seni lintas medium.
Topeng Putih sebagai Simbol
Topeng putih yang dikenakan Ismime menjadi pusat perhatian. Dalam tradisi seni, topeng sering hadir sebagai medium ambivalen: menutupi sekaligus membuka, menyembunyikan sekaligus menyingkap. Warna putih di sini menimbulkan impresi kesucian, netralitas, sekaligus kehampaan. Tetapi dalam pertunjukan Ismime, topeng itu justru menjadi cermin bagi penonton. Ketika wajah personal disembunyikan, penonton bisa lebih bebas menafsirkan emosi yang mereka lihat. Topeng putih itu seakan berkata: seni tidak selalu harus menunjuk pada individu, ia bisa menjadi ruang universal bagi siapa pun untuk melihat dirinya sendiri. Kehadiran topeng juga mengingatkan pada akar tradisi teater dan tari topeng Nusantara, yang sejak lama menggunakan media ini untuk mengangkat kisah manusia sekaligus mitos.
Menambah Makna pada Pameran Andi Sopiandi
Pameran seni Fotografi rupa sering kali berisiko menjadi ritual seremonial yang kaku: karya dipajang, pidato sambutan disampaikan, lalu selesai. Kehadiran Ismime memberi dimensi berbeda. Ia menghadirkan performativitas yang menyambungkan karya-karya Andi dengan pengalaman audiens secara lebih emosional.
Pameran tidak lagi hanya menjadi peristiwa visual, tetapi juga pengalaman tubuh. Di titik ini, penampilan Ismime bisa dibaca sebagai strategi kuratorial spontan: menghadirkan “jembatan” antara karya Andi dan publik. Jika karya Andi merefleksikan imaji, pengalaman, atau gagasan yang lahir dari dunia forografi dan internal dirinya, maka pantomim Ismime membuka ruang interpretasi publik melalui tubuh yang bergerak. Hasilnya adalah dialog yang cair: antara seniman dan penonton, antara karya dan peristiwa.
Konteks Kawasan Braga dan Tradisi Seni
Bandung Tak bisa dilepaskan, konteks lokasi juga penting. Braga bukan sekadar jalan tua dengan kafe-kafe art deco; ia adalah simbol sejarah seni Bandung. Dari masa kolonial hingga kini, Braga menjadi ruang di mana seni rupa, musik, dan pertunjukan berinteraksi.
Kehadiran Ismime di sana bukanlah kebetulan. Ia seperti melanjutkan tradisi performatif yang sudah lama hidup di kawasan itu, sekaligus menegaskan bahwa seni di Bandung selalu hidup dalam interaksi lintas medium.
Akhirnya diam yang menggugah apa yang kita saksikan dalam penampilan Ismime pada pembukaan pameran karya Andi di Morce Braga bukan hanya hiburan tambahan. Ia adalah bagian integral dari pengalaman seni itu sendiri. Dengan tubuh yang diam namun lantang, dengan topeng putih yang menutupi namun sekaligus membuka, Ismime memberi kita pelajaran tentang seni sebagai bahasa universal. Dan akhirnya, pertunjukan ini mengingatkan kita bahwa seni bukan hanya tentang melihat karya di dinding atau mendengar musik di telinga. Ia adalah pengalaman holistik yang menggerakkan tubuh, menggugah pikiran, dan menyentuh rasa. Ismime membuktikan, kadang-kadang diam lebih kuat dari seribu kata. Tapi hari itu Ismime tampil menohok dan Menggugah Estetik. Salute…!!!
*) kurator pameran Andi Sopiandi