![]()
Neo Pop dan Hingar-Bingarnya Saat Ini
Saat penulis masih menjadi kontributor sebuah majalah penerbangan di Indonesia (inflight magazine) sekitar tahun 2006 sampai 2010, industri seni rupa kita membludak pun gejalanya nyeleneh.
Fenomena unik tercipta, tetiba saja pengempisan pasar seni drastis terjadi usai penggelembungan dahsyat. Ingatan tentang bubble market, sebagai misal: mata uang Yendaka masa lalu; atau terkini dengan ‘kempisnya eforia crypto currency’ dengan ikon-nya bit-coin.
Penulis masih ingat usai sosok-sosok etnis/ suku bangsa tertentu yang biasa melukis ‘laris’ di pameran-pameran lukisan eksklusif merajai gelaran eksibisi seni rupa saat itu.
Rumah lelang, art fair sampai bentuk-bentuk industri seni rupa lain pada 2006-2010, memaksa para investor dan ‘bebotoh seni’ memunculkan seloroh konyol – konon seorang pelayan restoran yang beretnis tersebut diminta mendadak menjadi seorang melukis.
Lelaku absurditas menggejala saat itu, sebab pelukis dengan etnis yang rerata mendiami pulau terbesar ke-3 di Indonesia itu menjadi trade mark melariskan pasar lukisan. Bahkan, sampai diyakini kanvas yang kosong akan menimba cuan tak terbatas, sekali lagi seloroh—layaknya arloji Patek Phillipe atau mobil luks Ferrari musti sistem indent dan antri untuk membelinya.
Disanalah trend bergaya ‘neo-pop ala Indonesia’ hadir dengan kekayaan sebutan lain low-brow art atau klaim pop-surealisme mendadak menjadi hype. Dengan mengkombinasikan isu-isu gaya hidup urban, dongeng-dongeng dan narasi fantastis yang ganjil, dilabur warna-warni cerah, menjumput skill ilustrasi, kartun dan anime serta kemampuan compu-grapic yang dilukis dengan tangan serta menampilkan jenis trimatra obyek seni dan ‘art toys’ mengemuka.
Penulis saat itu, melaporkan ‘karya-karya pop-art’ tersebut itu berupa tulisan features panjang empat halaman. Imbuhan juga foto-foto luks yang memikat dan penulis diundang diberbagai hajatan pameran dan menyaksikan aktifitas-aktifitas rumah lelang yang padat dan sibuk.
Saat sama, merasai perasaan tergelitik yang sungguh sepenuh-penuhnya di pameran-pameran nan sumringah tersebut.
Setelah lima belas tahun berlalu dan usainya ‘anomali boom seni rupa’ yang ganjil itu; kemudian menjadikan kita semua berefleksi bahwa hukum alam serta berbagai gejala alamiah menyeleksi para seniman-seniman kita untuk unjuk gigi sebenar-benarnya. Karya-karya yang benar-benar tangguh tampil silih-berganti tak terkecuali seni berbau pop-art.
Dalam amatan penulis, mulai muncul fenomena sedasawarsa ini perupa-perupa pop-art masa kini yang terseleksi dengan ketat. Pemilihan ungkapan-ungkapan estetika yang lebih elok dan menggugah rasa sekaligus tiga hal utama secara sahih mengemuka, yakni: industri, nalar dan rasa sekaligus

Mencerahkan Industri, Nalar dan Rasa
Dalam industri benda-benda seni, selalu ada keberimbangan hukum permintaan dan penawaran terjadi. Fundamen ilmu ekonomi klasik bahwa pasar seni rupa akan menolak dan menyerap berbagai penawaran yang membludak berlebihan. Resiko sebagian kecil darinya untuk dibeli dan sebaliknya, jika tawaran menipis, tentunya marak pemintaan serta pemilihan yang selektif pola-pola bentuk estetika dan jam terbang tinggi para perupanya.
Seniman-seniman dengan nama moncer dan pengakuan manca-negara, seperti art Fair, Museum ternama dan hajatan bergengsi event Biennale akan terbuka lebar, selain ajang kompetisi seni yang melahirkan talenta-talenta baru yang segar dan tajam secara estetis.
Meski kita semua tahu, kita bertumpu pada dunia seni lokal dengan ‘ekosistem seadanya’ tanpa Museum Negara dan Privat Museum yang representatif. Selain, minim kolektor-kolektor yang well informed serta institusi Pendidikan Tinggi bergengsi seni rupa tak mampu memaksimalkan suara-suara dengan menyumbang hidupnya kritik seni. Pemerintah, seperti biasa, ‘program tambal-sulam tiap tahun’ digeber tak memiliki konsistensi membangun dari akar—bottom up suara-suara komunitas seni kita, sebagai bentuk investasi mewakili kekuatan kultural negeri majemuk ini ke peta global.
Neo pop art usai ‘kelesuan pasar’ paska tahun 2010, yakni sekitar tahun 2014 menggeliat lagi rumah lelang serta pameran yang mengusung pola-pola karakter dan jenis rupa-rupa seni pop. Yang sebagian mereka klaim, dalam pasar seni rupa turunan dari kombinasi Animamix, Pop-Art, Low-Brow Art sampai yang disebut Pop Surealisme di Kawasan Asia, yang merembet dahyat secara niscaya ke Indonesia.

Penulis masih ingat, melaporkan tulisan features sejumlah seniman dengan kriteria seniman-seniman dengan fundasi kuat dan terlatih secara skill dengan konsep- konsep jenial berlalu-lalang dalam demam ‘boom seni’ beberapa tahun sebelum saat itu tiba; kembali tampil di pameran-pameran.
Sampai kini tetap mengemuka bahkan memberi masa depan yang bagus dengan meletakkan tonggak-tonggak ala ‘pop-art Indonesia’ dengan ekspresi terciamiknya. Kawasan Asia, sebagai misal menampilan gaya lain dari seniman-seniman Jepang yang membeda dengan sejawatnya di Amerika serikat, seperti sosok legendaris Takashi Murakami dan Yoshitomo Nara yang ternyata laku keras di kalangan kolektor dan rumah lelang.
Apa yang terjadi disekitar tahun 2020-2022 adalah bukti seni Asia yang bercorak Nara atau Murakami ‘meletup’ di Balai lelang se-Asia, disamping kecenderungan seniman lokal kita mengikuti ulah perintis lama salah satu anggota gerakan Fluxus, Yayoi Kusuma di Barat (AS), yang bahkan diterima di Kawasan Eropa Barat.








