Menuju 100 Tahun Indonesia Merdeka 2045, Indonesia Kaya untuk Rakyat
“Indonesia bukan sekadar nama, ia adalah tanah air yang penuh berkah. Kekayaan alamnya tak tertandingi, tapi semua itu akan sia-sia bila rakyatnya tidak makmur.”
— H.O.S. Tjokroaminoto
Indonesia adalah negeri kaya.Ya kaya sekali. Kekayaannya terbentang dari puncak gunung hingga dasar laut, dari hamparan hutan tropis hingga perut bumi yang menyimpan emas, nikel, minyak, dan gas. Tidak ada bangsa lain yang memiliki laut seluas kita, hutan sebesar kita, dan keanekaragaman hayati sebanyak kita.
Namun, di balik semua itu seperti ada ironi. Negeri kaya ini sering membuat rakyatnya masih miskin.
Kaya Sumber Daya, Miskin Pengelolaan
Berulang kali kita mendengar kabar kontrak tambang dikuasai asing, hutan digunduli demi kepentingan segelintir, laut dieksploitasi tanpa aturan, hingga tanah rakyat digusur atas nama pembangunan. Kekayaan itu memang nyata, tetapi yang menikmatinya bukan rakyat kebanyakan. Di kampung-kampung, saya melihat bagaimana orang-orang kecil bekerja keras hanya untuk sesuap nasi. Di sana para petani menanam padi dengan penuh peluh, tapi harga gabah sering tidak adil. Rakyat berjuang di tengah negeri yang kaya, tetapi hasil kekayaan itu sering mampir ke meja para elite, bukan ke meja makan rakyat.
Kekayaan yang Seharusnya Menjadi Berkah
Kekayaan Indonesia bukan sekadar angka ekspor atau laporan APBN. Ia adalah amanah. Kekayaan ini seharusnya menjamin setiap anak bangsa bisa sekolah, setiap orang sakit bisa berobat layak, dan setiap keluarga bisa hidup tanpa takut lapar.
Tetapi apakah itu sudah terjadi? Belum.
Justru yang kita lihat, jurang kaya–miskin makin lebar. Sebagian kecil orang menguasai kekayaan luar biasa, sementara mayoritas rakyat masih berkutat dalam hidup yang pas-pasan.
Kaya Budaya, Kaya Manusia
Kekayaan Indonesia tidak hanya soal alam. Lebih besar dari itu, Indonesia kaya manusia. Kita punya 280 juta jiwa (dan kelah akan ada penambahan besar di 2045), dengan ratusan bahasa, ribuan tradisi, dan seni yang tiada habisnya. Dari teater rakyat hingga seni rupa modern, dari gamelan hingga musik kontemporer, semua adalah kekayaan yang tidak bisa dihitung dengan angka. Namun kekayaan budaya ini sering dipandang sebelah mata, dianggap sekadar hiburan, bukan kekuatan bangsa. Padahal, justru di sanalah letak jiwa Indonesia. Bangsa lain mungkin bisa meniru teknologi kita, tapi tidak bisa meniru kebudayaan kita.
Kaya, Tapi Harus Bijak
Kekayaan tidak akan ada artinya tanpa kebijaksanaan. Kita bisa belajar dari banyak negeri yang kaya sumber daya tetapi akhirnya miskin karena salah urus, penuh korupsi, dan terjebak utang. Kita tidak boleh mengulang kesalahan itu. Kekayaan Indonesia harus dikelola dengan kejujuran, keberlanjutan, dan keberpihakan pada rakyat. Jika tidak, maka kekayaan hanya akan menjadi kutukan, bukan berkah.
Menuju Indonesia Emas Indonesia 2045 sering dibayangkan sebagai Indonesia Emas. Tetapi emas itu bukan sekadar nikel, bukan batu bara, bukan juga hasil tambang yang kita ekspor. Emas itu adalah manusia Indonesia yang sehat, berpendidikan, kritis, kreatif, dan merdeka. Jika kekayaan alam hanya dihabiskan, maka yang tersisa hanyalah lubang-lubang menganga di tanah dan air mata rakyat.
Tetapi jika kekayaan itu dikelola untuk pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan, maka Indonesia benar-benar akan menjadi bangsa emas. Refleksi Indonesia kaya, tapi kita harus berani bertanya: “Kaya untuk siapa?” Apakah kekayaan ini hanya akan jadi cerita di panggung politik, atau benar-benar menjadi kenyataan di meja makan rakyat?
Saya percaya, kekayaan Indonesia bisa membawa kebaikan besar. Tetapi itu hanya akan terjadi bila kita jujur dan biajk pada amanah sejarah. Kekayaan ini bukan milik segelintir orang. Kekayaan ini adalah milik bangsa. dan untuk rakyat ini. Tabik.