Melodius Memerah
Cerpen Taufan S. Chandranegara
Bulan merah menjadi saksi sakral, benar, mirip sebuah pembantaian, itu terjadi akibat suatu pola anonim. Bagaimana hal macam itu bisa terjadi di wilayah pedesaan kaki gunung nan indah nian. Tak satupun paham. Datang secepat kilat serupa hantu bola api, serentak tanpa suara dar der dor, hanya sunyi menghanyutkan.
Mendadak sore terlewati waktu berubah menjadi malam, berubah menjadi cuaca sulit dipahami, seolah-olah terjadi begitu saja. Namun simultan adaptif, tak terduga, terkadang terjadi perubahan cuaca secara tiba-tiba hanya di tempat kejadiaan perkara. Tanpa tanda-tanda apapun. Sulit rekam jejak peristiwa untuk dijadikan tolok ukur dasar penyidikan
Terkadang pula mendadak hujan petir, mendadak hujan batu, mendadak banjir bandang, mendadak bukit-bukit berubah meninggi, berubah merendah bahkan pernah bukit-bukit mengelilingi sekitar desa itu serupa jatuh terjerebab tak bisa bangkit lagi, bukit-bukit itu seperti lenyap begitu saja seolah-olah tak pernah ada sebagaimana tertampak sehari-hari.
Kabut tebal warna-warni datang pergi sesuka hati. Misteri? Mungkin bukan, tapi mirip cerita dunia khayali. Seolah-olah pembantaian itu ada hadir setiap hari. Dia, menghela napas di tempat pelariannya di puncak-puncak gedung megapolitan, tak juga bisa lega. Bukan dia pelakunya, tapi fakta tuduhan hukum telah menuding, bagai seisi dunia tengah menghakiminya.
Padahal terjadi sebaliknya, tak ada satupun paham tentang pola kejadian sebenarnya. Para petugas penegakkan hukum dibikin berpusing seolah-olah sang waktu memainkan peran misterius di antara putaran kejadian. Paling mengherankan para petugas resmi tak mampu menemukan indikasi kejadian awal mula, tak ditemukan penanda apapun serupa bukti kejadian sebelum ataupun sesudah kisah peristiwa.
Para pakar kriminal tingkat tinggi semakin pelik mencari berbagai cara studi kasus fakta berlari kian kemari. Namun nampaknya hal tersebut baru permulaan. Mungkin jawabannya akan segera ditemukan setelah kedatangan ahli-ahli di bidangnya masing-masing secara strata proporsional terlihat sangat piawai membaca cepat liku-liku di belakang kejadian misterius itu.
Tim ahli pembuka tabir kejahatan serupa misteri akan di datangkan pula dari dunia impor. Namun satuan tugas lokal kejahatan menolak mentah-mentah. Ini bukan perkara ekspor impor perdagangan keilmuan. Kejahatan itu bukan kriminal pada umumnya sebagaimana teori penjelasan tentang kasus itu secara legal formal merata telah menjadi tolok ukur di pelajari di dunia.
Bukan pula sekadar hal sepele semacam itu. Persoalannya dari mana awal mulanya akan mencapai puncak sudut pandang penyidikan untuk mencapai puncak fakta kunci. Kalau ruang waktu, tempat peristiwa berubah secara ajaib. Sekalipun korban-korbannya telah ditemukan dalam keadaan utuh tak bernyawa namun seolah-olah masih menunjukkan kehidupan.
“Lantas sebaiknya apa. Bagaimana mencapai puncak fakta. Kalau puncak dari data sulit ditelusuri dari sejak awal mulanya.” Dalam benaknya, setelah berkali-kali berhasil memimpin tim penyidikan untuk kasus-kasus kriminal terpelik. Namun membongkar peristiwa seribet itu sungguh tak serupa, sangat berbeda dengan penyidikan kasus-kasus terselubung misteri pada umumnya.
Segala upaya tampaknya telah mencapai puncaknya, namun tidak menemukan jawaban apapun. Tapi dia tidak pernah sendiri datang ke tempat kejadian perkara, senantiasa dengan tim lengkap forensik terkini tercanggih berteknologi terbarukan. Namun hasilnya tetap sia-sia, pelakunya terkadang ada tiada tertangkap bayang-bayangnya, sekalipun telah tepat sasaran untuk penyergapan kelompok serupa gerombolan itu, namun cara kerja mereka tak seperti lazimnya tak serupa aneh pula. Namun nyata bagai film diputar ulang.
“Sudah aku duga. Peristiwa lima belas tahun silam akan terulang. Akan hadir dengan kodrat sama persis seperti ini. Sekalipun mata rantai markas persembunyian mereka telah di bumi hanguskan lima belas tahun berlalu. Tampaknya biang keladinya masih eksis di kurun waktu.”
“Mereka memang kaum bangsat. Pencuri kekayaan negeriku.”
“Lembaga formal lima belas tahun lalu sudah aku kasih ingat. Jangan pernah beranggapan para makhluk begundal itu telah terbasmi. Belum kawan, sebab mereka makhluk berbeda dari manusia pada umumnya.” Kedua petugas dengan tim canggih terkemuka, tetap belum berhasil menemukan apa sesungguhnya kemauan dari peristiwa sama persis seperti lima belas tahun lalu.
“Apakah ini terkait peristiwa politik berdarah sebelum lima belas tahun lalu itu.”
“Belum bisa dipastikan kawan. Kita tak menemukan jejak apapun, tanda-tanda sebelum ataupun sesudah pembantaian itu. Darah pun tak ada. Semua korban melenyap, hanya terkadang bisa terlihat terkadang tidak, bahkan fisik dari tempat kejadian perkara senantiasa berubah-ubah.”
“Jadi apa kira-kira tengah kita hadapi. Mungkin politik fatamorgana.”
“Baru kemungkinan.”
“Kurang lebih begitu kira-kira.”
“Politik melankoli fatamorgana.”
“Bisa juga kemungkinan demikian.”
“Kalau dilihat dari tolok ukur peristiwa kejadian demi kejadian. Penetrasi konsep benang merahnya bisa memungkinkan dari berbagai arah peristiwa.”
“Manipulasi politik fatamorgana.”
“Hampir mirip tapi agak berbeda. Sedikit.”
Ketika kedua penyidik sedang serius di tempat kejadian perkara. Berita paling spektakuler menyebutkan bahwa korban-korban tersebut sesungguhnya hanyalah makhluk asing mungkin serupa robot menyerupai manusia, itupun masih dalam tahapan kemungkinan dugaan. Bisa juga salah satu pola cara-cara manipulasi politik kontemporer di planet bumi.
Politik manipulatif pura-pura matisuri
Melihat dengan mata berkaca bening
Para manekin geleng-geleng kepala
Kepalsuan ngumpet di balik simbol
berkelambu ungu muda.
Ra kata-kata ya ye yo
Serigala mengaum
Manipulasi ngumpet
Senyum manis kiss bye
***
Jakarta SENI, November 03, 2024. Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.