Kemarau
Taufan S Chandranegara
DIA selalu memalingkan wajahnya. Setiap kali berhadapan dengan siapapun, di manapun. Dia tidak peduli siapapun. Selama makhluk itu berwujud manusia. Baginya tak ada lagi bentuk apapun patut dihormati kecuali dirinya.
“Bangsat.” Kalimat sederhana itu senantiasa meluncur begitu saja, di mana saja. Entah hal itu disengaja atau memang spontan terucap begitu saja. Telaah menyoal hal itu telah lama disampaikan.
“Abstrakisme akan membunuh realisme.” Dia mencoba memahami kalimat itu.
“Bangsat.” Namun tak jua dia mampu memahami makna di balik kalimat itu. Baik secara konsep sosial budaya maupun keilmuan lebih luas lagi sehubungan dengan apapun selingkar ranah perilaku makhluk hidup.
Terkait dengan filsafat berikut ilmu pengetahuan menyertainya ataupun tersambung dengan hal ihwal kesejarahan tradisi nenek moyangnya kait berkait ke lain kultur tradisi berkesinambungan secara lebih luas. Sampai pada waktunya kini. Dia pun tak mampu memahami.
Kekacauan tengah menggelegak di dalam dirinya. Mengganggu sukmanya. Terkadang pula, sukmanya mendadak lepas semena-mena keluar dari badannya pergi entah kemana. Lantas kembali lagi sesuka hati, terjadi begitu saja tanpa basa-basi.
“Maafkanlah.” Tak pernah pula meluncur kata itu. Minimum dari benaknya laiknya setetes embun sepagi buta, setulus terucap dari benak alami tanah leluhur purba di pijak demi hidup kini maupun akan datang. Meski dia senantiasa terjaga demi tanah leluhur purba.
Dia, benar-benar menjengkelkan seenak perilakunya. Tak peduli sekalipun banyak kejadian aneh-aneh di luar dirinya. Lama kelamaan dongkol juga rupanya pada sukmanya sendiri. Sampai tiba waktu tertepat, untuk dia bertanya pada sukamanya. Namun tampaknya sukmanya, selalu menghindar sebelum dia bertanya.
Kemuskilan itu masih dalam rekaan paradigma praduga keilmuan dalam bentuk adaptifnya. Itu sebabnya pula dia berat sekali untuk bertanya.
Meski dia sama sekali tak mengkhawatirkan dirinya sekalipun untuk masa depannya. Dia tak ingin sukmanya kecewa, minggat tak mau kembali padanya. Kekhawatiran cukup mencemaskannya. Tapi memang tak ada akal lain lagi. Agar konflik antara tubuh dengan sukmanya tak terjadi. “Kamu seenaknya keluar masuk tubuhku. Kamu ini siapa sebenarnya.” “Bukan siapa-siapa.” Jawab sukmanya.
Mengulas pemberitaan tak sekadar berdasar fakta atau apapun menyertainya. Ada banyak hal sekitar sumber dari mata air informasi sebelum digodok dicuci dulu agar tak terkontaminasi fakta pesanan ataupun serupa penyusupan data dari balik meja. Demi bersih-bersih panorama jejak-jejak anonim penggelapan cahaya demi suatu pola tak tampak mata.
Sekalipun secara umum merembes kepermukaan di manapun, kapan saja sesuka sang waktu. Meski belum tentu sewarna dasar untuk mencapai gelaran multi warna. Seumpama dalam kanvas lukisan uji coba.
Laiknya uji coba senjata perang modern. Jeger! Jeger! Glar! Matilah kemanusiaan di korbankan demi uji coba politik di balik peperangan tak terlihat sebelum menjadi hakikat konflik, berikut makhluk silumannya seolah-olah tak punya mata. Siapapun, dimanapun, bodok amat, terpenting telah tersedia kelengkapan perang, sekalipun bersifat pengkhianatan demi menguntungkan kesahan pundi-pundi dalam gelap malam terisi penuh.
Apapun sah saja untuk dikorbankan. Tak penting lagi adabiah spirit kemanusiaan. Tak penting lagi perilaku lestari hijau lingkungan. Kalau niatnya akan berkhianat pada Alam Semesta. Hanya dengan modal bumbu masak merek politik konflik lantas menuai keuntungan. Oh! Wow! Ehem. Iyau! Sekalipun dunia telah memiliki batasan ketentuan peperangan; wajib berpegang pada moral saling menghormati. Telaah perilaku kebudayaan amat penting. Sekalipun luluh lantak apapun kehidupan kemanusiaan sebagai akibat dari konflik-peperangan; kehancuran seluruh martabat kehidupan. Tetaplah wajib saling menghormati. Kisah peperangan dalam bentuk apapun, dari konflik politik kepentingan hingga peristiwa berdarah sekalipun. Seyogianya pula tetap menghormati dialog antar budaya di muka Bumi ini. Sekalipun di kelak kemudian hari sebuah kisah akan tertulis dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa di planet Bumi. Lantas telaah keilmuan lanjutan sebagai pengetahuan kehidupan moral sosial, selingkar kehidupan kemanusiaan bersejarah, beserta informasi melingkupinya di waktu kemudian.
Terpenting kembali pada kesadaran mendasar transendental pencapaian keseimbangan hidup kemanusiaan berdampingan di Bumi. “Hah! Uji coba perang?” “Mengapa tidak. Sembari menguji siapa sang pengecut ngumpet di kolong meja. Siapa berani nagkring di atas meja.”
“Wah!” “Tak usah sok kaget seperti itu kale.” “Penjungkirbalikan fakta.” “Laiknya sebuah permainan domino.”
“Lantas kalau bukan siapa-siapa. Kenapa begitu berani seenaknya keluar masuk badanku. Oke. Jawab sejujurnya. Kau ini sukmaku atau bukan.” Agak sebersit kesal, sekalipun belum membuncah. Tapi cukup tampak terasa mulai menjengkelkan pihak lain perilaku macam itu.
“Kenapa kau pandir. Itu kan jawaban dari pertanyaanmu.” “Sebab kau aneh. Jangan-jangan kau sukma palsu penyusup ke badanku. Jawab pertanyaanku.” “Sila sobat.” “Kau sukmaku asli atau abal-abal.”
“Asli.” “Kalau asli mengapa pula kau keluar masuk tubuhku sesuka kau mau.” “Aku tak punya jawaban untuk itu.”
“Baiklah. Oke. Mencoba memahamimu semampuku.” “Misalnya.” “Apa kita baru saling mengenal. Kau berpolitik sejak sebagai sukma berada di dalam tubuhku. Justru macam hal satu itu senantiasa mengganggu waktuku di manapun pula aku berada.” “Ya sejak kau mewujud di dalamnya.
Pandir sekali kau tampaknya. Tak sepadan dengan tampilanmu sangat necis kini. Terlihat perfeksi gaya hidup aduhai.
Seolah-olah kau tak tau pula perilaku politik perang kontemporer di balik tekno terkini. Lantas mewujud.” “Apa sebabnya dari mana sumber konfliknya.” “Itu selalu sebuah pertanyaan di adab tekno politik termodern, konon sih begitu.” “Hal sederhana bahkan nyaris sepele macam itu pun masih kau pertanyakan. Kau ini model manusia macam mana rupanya.”
“Kontemporer Bro.” Keduanya meledak ngakak terpingkal-pingkal. “Wah dahsyatnya sebuah istilah macam itu.”
“Gaya hidup kontemporer kawan.”
“Hah! Gaya hidup.” “Tak usahlah kaget-isme macam itu. Kemewahan hal biasakan. Simbol status.”
“Wkwkwk.”
“Hahaha.” Keduanya ngakak lebih terpingkal-pingkal lagi.
“Nah ini salah satu tanda-tanda kemodern. Sedikit-sedikit ngakak.”
Lantas keduanya saling bersalaman, menuju kiprah lanjutan. Sembari melangkahi korban-korban, menuju kisah tutur kata menjadi cerita lebih kontemporer lagi kelak.
Sejarah terus menulis abstraksi peradaban kemodernan sebagai pelengkap kisah-kisah lanjutan di kurun waktu disegala musim pancaroba. *
Jakarta Indonesia, Seni, April 13, 2025
*)praktisi seni, penulis
Sponsor