SENI.CO.ID — Puisi yang baik bukan diukur dari kadar kata-kata yang digunakan, melainkan karena kepekaannya dalam mengekspresikan simbol, metafora dan imajinasi ke dalam susunan kata dan kalimat. Begitulah benang merah kesan dan ulasan terhadap Antologi Puisi Karya Murniatun Margono bertajuk “Filsafat Imajinasi”, disampaikan Direktur Eksekutif The Global Review Hendrajit dalam sambutan sekaligus pidato pada acara peluncuran buku “Filsafat Imajinasi” di Wisma Daria, Jakarta pada Selasa, 20/5/2025.
“Imajinasi hanya akan hidup dan menghidupkan manakala kita punya asumsi dan sesuatu yang bergolak dan menggelisahkan di benak”, berkata Giri Basuki sang pelukis, mengulas sekilas antologi puisi karya Murni yang saat ini aktif sebagai Direktur Divisi Hukum, advokasi HAM dan Kesehatan Global di Global Future Institute (GFI).
Dalam peluncuran buku ini, hadir jurnalis senior Nasir Tamara, dan dua wartawati senior yang juga penyair mumpuni, Linda Djalil dan Mariska Lubis. Perupa dan budayawan Giri Basuki , Kartunis Sudi Purwono. Novelis Benny Barman , jurnalis senior dan Pemimpin Redaksi Jakartasatu.com Aendra Medita , dan Fotografer Drigo Tobing.
Kebolehan Murni dalam mengekspresikan simbol atau metafora ke dalam penggunaan kata seperti nyamuk, lavender atau bibir kawah, menuai pujian dari Linda Djalil dan Mariska Lubis.
“Saya menangkap kesan dalam puisi Murni mengandung protes atau ketidakpuasan atas apa yang berlangsung saat ini, namun disuguhkan secara santun dan beradab. Saya kira itulah yang dibutuhkan bangsa kita saat ini,” demikian testimoni Mariska Lubis yang kebetulan sudah sempat membaca Antologi puisi Murni tiga hari sebelum acara peluncuran buku.
Giri Basuki pelukis yang sempat gabung komunitas teater Koma besutan Nano Riantiarno dan alumni IKIP Jakarta, juga tak kalah menarik dan menggugah.
“Orang seringkali lupa, imajinasi bukan monopoli para seniman. Di semua bidang, pun juga sains, hanya akan melahirkan temuan temuan baru jika imajinasi hidup dalam diri jiwa setiap orang. Maka itu, imajinasi harusnya hidup pula dalam benak para elit kepeminpinan nasional kita. Saya yakin, kalau para pemimpin kita imajinatif, saya optimis Indonesia masih punya masa depan,” ungkap Giri.
Boleh jadi, harapan dan optimisme Giri Basuki memang mewakili spirit penyelenggara, para audiens, dan barang tentu, Murni sang penulis Antologi Puisi itu sendiri. Murni pernah merambah bidang jurnalisme beberapa tahun, delapan tahun aktif di dunia perbankan, sepertinya cuma menjadi sarana sarana istimewa untuk menjadi apa adanya ia sekarang.
Lewat Antologi Puisinya, Murni sejatinya bukan mengobarkan api, tapi menyalakan Bara. Boleh jadi inilah penglihatan puisi Murni yang secara intuitif berhasil dibaca secara tepat oleh Linda Djalil, Mariska Lubis, Nasir Tamara, Aendra Medita, Benny Barman, Drigo Tobing dan Sudi Purwono dan beberapa undangan yang hadir dalam forum tersebut.
Mengakhiri warta singkat luncuran buku perdana Murni, ada baiknya merenungkan kabar gembira sekaligus peringatan dari Benny Barman. Sebagai novelis yang secara intuitif mampu membaca karakter, Benny sangat mengagumi JK Rawlings, penulis kondang Inggris yang karya monumentalnya sudah mendunia, Harry Poter.
Setelah sekilas berkisah mengenai karya Rawlings berikut keutamaan sosok sang pengarang sohor Inggris itu sontak Benny berujar “Manakala saya hari ini bertemu langsung, sontak saya ingat Rawlings. Sontak saya membatin, wah anak ini mengerikan sekali.”
Tentu saja Benny sedang menganalogikan Rawlings dengan Murni. Sebelum adanya ia sekarang, pengalaman pahit Rawlings adalah menghadapi penolakan karya karyanya dari penerbit satu ke penerbit berikutnya. Banjir penolakan alih alih penawaran. Sampai akhirnya menemukan sebuah penerbit yang boleh jadi sama keras kepala dan gilanya seperti Rawlings. Dan bersedia menerbitkannya dan dari sanalah jalan kejayaan bermula.
Ya siapa tahu, Benny Barman bukan sedang membesarkan hati Murni. Siapa tahu itu memang kabar gembira sekaligus peringatan buat Murniatun Margono. Blasteran Blora dan Yogyakarta. (Yoss)