Estetika sebagai Bahasa Perlawanan
“Seni bukanlah cermin yang memantulkan kenyataan, tetapi palu untuk membentuknya,”
Bertolt Brecht, tokoh teater epik asal Jerman.
Di dunia yang semakin penuh kebisingan informasi, ilusi citra, dan realitas yang disusun oleh kepentingan, seni hadir sebagai medium yang tetap setia pada kejujuran batin manusia. Estetika—yang sering dianggap hanya soal keindahan visual—sejatinya adalah bahasa.
Ia bisa menjadi bahasa kesadaran, bahasa kegelisahan, bahkan bahasa perlawanan. Seni tidak pernah netral. Dalam setiap karya, tersimpan keberpihakan. Dalam setiap komposisi, tersembunyi gagasan.
Maka ketika seniman memilih garis, warna, cahaya, tubuh, atau sunyi, itu bukan sekadar estetika, melainkan sikap. Ia adalah cara untuk berkata tanpa harus berteriak.
Dalam masa ketika kata-kata kehilangan makna, seni justru menjadi cara paling tulus untuk menyampaikan kebenaran.
Dalam dunia teater, hal ini menjadi sangat nyata. Estetika panggung bukan hanya soal properti dan tata cahaya, melainkan tentang makna yang hidup dalam tubuh aktor.
Jerzy Grotowski adalah seorang pemimpin internasional dalam teater eksperimental / sumber foto;American Theatre
Jerzy Grotowski, pelopor teater laboratorium, dan seorang pemimpin internasional dalam teater eksperimental yang menjadi terkenal pada tahun 1960-an sebagai sutradara produksi yang dipentaskan oleh Teater Laboratorium Polandia di Wrocław pernah mengatakan bahwa tindakan aktor yang membuka diri dan menanggalkan topeng kehidupan sehari-hari adalah sebuah hadiah bagi penonton.
Ia tidak hanya memainkan peran, tapi menyampaikan kesaksian manusia. Di situlah kekuatan dramaturgi: membongkar realitas, memicu empati, dan menggugah kesadaran.
WS Rendra/ ist
Sementara itu WS Rendra, tokoh besar teater Indonesia, pernah menyatakan bahwa “Seni adalah kesaksian manusia atas zamannya.” Maka, ketika seni tidak lagi menyentuh zaman, ia kehilangan rohnya.
Estetika yang sekadar cantik tanpa nyawa, hanya menjadi ornamen yang kosong. Sebaliknya, estetika yang jujur—meski sederhana—mampu mengetuk ruang-ruang batin yang terdalam.
Dalam kanvas lukisan, warna yang kacau bisa bicara lebih banyak daripada harmoni palsu. Dalam puisi, jeda dan diam bisa lebih kuat daripada seribu kata. Dan dalam tubuh aktor yang gemetar di panggung kosong, ada keberanian yang tidak bisa diwakili oleh pidato atau poster. Inilah kekuatan estetika: ia bisa membakar tanpa api, menggugat tanpa kekerasan, menyentuh tanpa menyentuh.
Ketika keadilan dilumpuhkan, dan kebohongan menjadi norma, seni berdiri sebagai ruang paling jujur. Ia tidak membawa senjata, tapi membawa kesadaran. Ia tidak menjanjikan solusi, tapi menanamkan pertanyaan. Estetika bukan hanya tentang apa yang terlihat indah, tetapi tentang apa yang terasa benar.
Seni, dalam bentuk apapun—teater, rupa, sastra, musik—adalah cara manusia merawat kemanusiaannya. Dalam estetika yang jujur, manusia menemukan kembali dirinya: rapuh, resah, namun tetap mampu bermimpi dan melawan. Di situlah letak kekuatan sejati seni.
Bandung, Juni 2025
*Aendra Medita pernah kuliah di jurusan Teater
Sponsor