ESTETIKA GENERASI BARU: SENI MILENIAL & GEN Z DALAM GELOMBANG DIGITAL DAN IDENTITAS (2)
BAGIAN 1 SENI DALAM FRAGMEN: ESTETIKA GENERASI BARU DAN BUDAYA sudah tayang. Kini masuk kebagian 2.
Di tengah pusaran dunia yang makin cair, estetika dan dunia seni tidak lagi bersandar pada “mungkin” pakem-pakem lama yang kaku. Generasi milenial dan Gen Z—dua generasi yang tumbuh bersama internet, krisis iklim, dan revolusi identitas—menawarkan pendekatan baru terhadap penciptaan dan apresiasi seni.
Seni bagi mereka bukan sekadar objek indah untuk dikagumi, tetapi ruang ekspresi yang luas, personal, dan sarat makna sosial. Mereka tak menunggu validasi dari galeri atau kurator. Mereka memamerkan karya mereka di Instagram, TikTok, atau media social lainnya atau bahkan Behance, atau Discord.
Mereka menjual lukisan bisa lewat NFT, memproyeksikan karya mereka ke ruang realitas virtual, atau menempelkan mural di sudut kota dengan tagar politis.
Ini bukan sekadar revolusi medium, melainkan juga revolusi makna: seni menjadi bahasa generasi yang tidak ingin diatur, tetapi ingin didengar.
Estetika Swipe dan Fragmen
Visual Estetika generasi ini terbentuk dari kecepatan. Dari budaya scroll dan swipe. Mereka menyerap ratusan visual setiap hari, membentuk preferensi estetik yang tak bisa dipisahkan dari ritme digital.
Warna-warna neon, glitch art, retro-futurisme, dan ilustrasi vektor mendominasi. Meme menjadi alat ekspresi seni bahkan jadi cara politik. Tipografi menjadi alat suara. Filter menjadi simbol emosi. Estetika bukan hanya soal indah, tetapi soal impact visual yang instan.
Tapi di balik itu, ada kehausan akan makna yang mendalam. Mereka menyelipkan kritik sosial dalam gaya yang absurd. Menyentil kekuasaan dengan bahasa visual yang jenaka. Menertawakan norma dengan gaya post-ironi.
Mereka tahu seni bisa digunakan sebagai soft weapon untuk membongkar ketimpangan, dari isu gender hingga lingkungan. Estetika mereka adalah estetika responsif—cepat, tajam, dan kadang tak nyaman.
Seni dan Identitas dalam Fragmentasi Zaman Milenial dan Gen Z
Seni dan Identitas dalam Fragmentasi Zaman Milenial dan Gen Z hidup dalam era penuh ketidakpastian: perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, politisasi agama, hingga krisis eksistensi digital. Mereka pun menjadikan seni sebagai ruang perlawanan dan penyembuhan.
Dalam lukisan, musik, dan performance mereka, termuat keresahan tentang siapa diri mereka, dari mana mereka berasal, dan bagaimana mereka ingin diakui. Tema identitas menjadi kuat. Kita melihat banyak karya yang mengangkat isu tubuh, seksualitas, trauma, akar budaya, dan representasi.
Mereka menolak dikotomi “tinggi-rendah”, “tradisi-modern”, “pusat-daerah”. Seni Gen Z dan Milenial justru merayakan keberagaman dan keberantakan. Mereka memadukan wayang dengan anime, musik lo-fi dengan mantra atau nilai tradisi batik dengan glitch dimana adalah Cacat atau burik adalah sebuah kesalahan jangka pendek dalam sebuah sistem, seperti kesalahan transien yang mengkoreksi dirinya sendiri, menjadikannya sulit atau tegang. Istilah tersebut umum terjadi dalam industri komputer dan elektronik, dalam kemampuan sirkuit, serta di kalangan pemain games.
Di sinilah letak keunikan mereka: mereka tidak ingin memilih satu aliran, tapi ingin menggabungkan semuanya dalam satu narasi pribadi yang otentik.
Medium Baru, Tantangan Baru Perubahan
Medium Baru, Tantangan Baru Perubahan terbesar datang dari medium. Generasi ini sangat akrab dengan media digital. Mereka tidak takut menggunakan AI, virtual reality, augmented reality, bahkan machine learning dalam berkarya.
Mereka menciptakan seni di ruang digital seperti metaverse, dan menjual karya lewat blockchain. Teknologi bukan lagi sekadar alat, tapi bagian dari narasi itu sendiri. Namun, tantangan besar mengintai. Seni digital mudah viral tapi mudah dilupakan.
Platform digital mengedepankan kuantitas (like, share, view), tapi minim kritik substansial. Banyak karya populer yang miskin konteks. Banyak seniman muda yang cepat naik, lalu tenggelam. Itu bukti.
Demokratisasi seni membawa peluang besar, tapi juga memunculkan pertanyaan: apa arti kedalaman di era kecepatan?
Kebutuhan Ruang Baru dan Kritik Baru Generasi
Kebutuhan Ruang Baru dan Kritik Baru Generasi ini membutuhkan ruang baru: bukan hanya galeri elit, tetapi ruang inklusif—kafe, ruang komunitas, taman kota, layar ponsel, hingga panggung metaverse. Ruang yang tidak membatasi, tapi justru memberi kebebasan untuk berekspresi. Namun, dunia seni kita masih tertinggal.
Kritik seni masih terpusat di lingkaran akademik dan media lama. Kurator dan institusi sering kali belum membuka pintu untuk bahasa dan bentuk baru dari generasi ini. Maka dibutuhkan regenerasi kurator, kritikus, dan pengamat seni yang siap membaca zaman dari sudut pandang lintas generasi.
Akhirnya tulisan ini seni sebagai Refleksi dan Resistensi Seni milenial dan Gen Z bukan seni yang lemah. Ia seni yang berani, meski bentuknya cair. Ia tidak takut melawan dominasi pasar, institusi, bahkan sejarah. Mereka tidak ingin hanya mengenang masa lalu, tetapi menciptakan masa depan seni yang lebih demokratis, interaktif, dan reflektif.
Tugas kita bukan meremehkan, tapi memahami. Bukan menertawakan, tapi berdialog. Karena mereka, generasi ini, sedang menulis ulang peta estetika dan peta seni kita. Kami diskusi di tim redaksi bahwa untuk membaca lanskap seni kontemporer dari kacamata lintas generasi. Nah bila Anda adalah seniman baik muda atau sudah establish, kurator, atau pengamat seni milenial dan Gen Z, kami membuka ruang untuk pandangan Anda. Silakan..
(Aendra Medita, pemimpin redaksi)
Sponsor