SENI.CO.ID – Seseorang menciptakan suatu karya seni tidak cukup hanya dengan mengatakan: ‘saya maksudkan ini sebagai karya seni’ , sebab tidak sedikit pulasyarat-syarat yangmesti dipenuhi di luar maksud paraperupa.
Dalam koridor perbincangan seni yang menekankan pergumulan emosi, makna mengekspresikan perasaan serta pikiran secara luas dianggap bagian penting dalam membedakan antaraseni dan yang bukan seni.
Watak kegiatan artistik serta hasrat perupa untuk mengekspresikan dirinya telah cukup lama jadi aspek yang digunakan untuk menandai apa yang khas mengenai seni. Mengingat nilai dan fungsi ekspresif seni tak hanya berlaku terbatas bagi para perupa, melainkan terkait erat pada objek dan penikmatnya, maka nilai ekspresi tidak tergantungsebatashubungankausal antarakarya dan penikmatnya.
Intensi dan fungsi ekspresif seni niscaya melibatkan pula cara dan bagaimana gagasan didekati, dieksekusi sekaligus diharapkan mempengaruhi orang yang melihatnya.
Sebab itu, tidak mengherankan jika klaim mengenai keekspresifan pada dasarnya merupakan klaim tentang perasaan yang dibangkitkan ketika mengalami seni. Perasaan berada dalam karya seni, bukan perasaan yang sesungguhnya, melainkan gagasan tentang perasaan tersebut.
Mengingat pengalaman adalah unit koheren yang menghubungkan ciri (ke)hadir(an) dalam interaksi yang rumit antara manusia dengan tatanan chaos dunia benda-benda yang berpengaruh terhadapnya, maka proses mengalami ini berbeda dari sekadar menjalani hidup keseharian.
Gejala bentuk sangat mungkin menimbulkan perasaan, namun hal itu tidak dapat kita terima secara otomatis. Mengenali perasaan yang diekspresikan seni, terlebih dari budaya yang tidak kita kenali, tentu tidaklah mudah.
Menurut teoritikus Suzanne K. Langer, kita tidak dapat menjelaskan dengan baik mengenai nilai keekspresifan seni hanya melalui penjelasan asosiasi sederhana yang kita tentukan antaraciri formal (warna, bentuk, tekstur) denganperasaan manusia.
Bahwa gagasan dianggap perlu mendahului perwujudan fisik, pasalnya terkait dengan keterampilan memformulasikan gagasan termasuk didalamnya memilih medium yang dianggap tepat.
Sistemisasi berpikir semacam ini selain cenderung mendorong untuk lebih memperhatikan konsep artistik ketimbang tindakan yang mesti dilakukan oleh perupa dalam memproduksi karya seni, memproyeksikan pula irisan kenyataan bahwa ikhwal ekspresi sebenarnya merupakan fenomena mental.
Beragam teori mengenai ekspresi dan gagasan lain yang melampaui pengalaman pribadi, pengalaman yang dikomunikasikan kepada penikmat terus berkembang. Namun, bagaimanapun teori-teori itu hanya menangkap sebagian dari apa yang dikandungfrasa‘mengekspresikan’.
Secara umum, karya-karya yang tampil dalam pameranini selain memperlihatkan keragaman teknik dan ungkapan, memperlihatkan pula bagaimana pendekatan dan sikap atas medium yang dipilihnya menjadi penting.
Karya-karya yang hadir dalam pameran ini selain berpijak pada konvensi ungkapan nilai ekspresi dalam bidangdatar (duadimensi), memperlihatkan pula kemungkinan media baru serta pendekatan yangberlandaskan tindakan mengolah konsep ruang.
Intensi artistik yang ditawarkan oleh Eddy Hermanto, Deden Mulyana, Abdulah Suryo, dan A.K.Patra Suwanda, misalnya, bertolak dari kepekaan, keintiman dan keterampilan teknis yangdimilikinya dalam mengelolapotensi formal (anasir rupa) menuju konfigurasi bentuk-bentuk yang bermakna.
Meskipun samaberpijak pada keutamaan corak nonrepresentasional, namun manifestasi estetiknya mengarah padakecenderungan yangberbeda. Melalui susunan imaji yangbersifat liris, Eddy Hermanto mengartikulasikan lapisan persoalan yang melekat pada pengetahuan liguistik ikhwal parole, suatu konsep tindakan yang lebih kongkrit dibanding langue.
Susunan imaji liris yang digubahnya, nampak diarahkan pada dua realitas tindakan tak terpisah: tulis dan tutur. Suatu gagasan yang mengingatkan pada makna khusus ikhwal menulis pidato di atas permukaan bidang datar.
Demikian Abdulah Suryo, cara dan bagaimana lukisan dibuat merupakan aspek yang berperan penting dalam penciptaan, kepekaannya dalam mengolah aspek geometris yangdisandingkan dengan berbagai kualitasefek sapuanspontan, tidak hanyamenyiratkan luapanekspresi emosi yangmelampaui pengalaman sesaat.
Bahwa ekspresi bukan sekadar tindakan yangmemberi jalan bagi impulsperasaan, nampak tersirat dalam karya Deden Mulyana, kepekaan dan penghayatan dirinya lebih diarahkan pada penghargaan terhadap sensasi material yang dipilihnya. Deden Mulyana tidak mengarahkan imaji yang muncul dari karakter media menuju makna yang mengarah ke luar, melainkan nampak meresepsinya sebagai aspek pembentuk makna dalam realitas (ke)padat(an) bidang datar.
Dalam bentuk yang berbeda, bagaimana sensasi material adalah aspek yang berperan penting dalam mengartikulasikan nilai artistik, terlihat pula dalam gubahan A.K.Patra Suwanda. Tekstur atau barik yang lahir berdasarkan pengolahan material itu tidak ditanggapi hanyasebagai potensi artistik yangdingin.
Di seberang kecenderungan semacam itu, dalam koridor ungkapan yang bersifat representasional, karya-karya Taat Joeda, DhinusMahatva, Raden Surachman, Ika Aik K.M, Yoppi Yohana, Supriatna, Arti Sugiarti dan Agus Koecink, menawarkan keragaman acuan, intensi dan orientasi artistik.
Bagi para perupa tersebut, nilainilai ekspresi tidak hanya bermula dari pergumulan perasaan atas tematik yang dipilih, melainkan berkaitan puladengan pencarian kemungkinan yang mengarah padakerjasimbolik (permainanmetaphor).
Penguasaan teknik yang tumbuh selaras dengan pengalaman empiris yang panjang, tercermin dalam karya-karya Taat Joeda. Intensi artistik yang muncul kuat menjadi kecenderungan yang khas dalam karya-karyanya menunjukan bagaimana gagasan perasaan tentang tema yang didukung penguasaan material memberi jalan keluar yang signifikan atas pencapaian kualitas artistiknya.
Gubahan yang dilakukannya dalam banyak segi merupakan kenyataan pictorial yang diindahkan, namun juga memancing ikhwal lain yang tersembunyi dalam lapisan kesadaranorangbanyak.
Pada sisi yang lain, bagaimana resepsi pribadi atas subject matter dan permainan metaphor berperan penting dalam penciptaan, diperlihatkan Raden Surachman, Dhinus Mahatva, Supriatna dan Arti Sugiarti. Dalam karya para perupa tersebut, imaji yang mengingatkan pada kenyataan hanyalah titik tolak dalam menyusun narasi lain.
Melalui eksplorasi yang lebih mengutamakan pergumulan perasaan, bentuk-bentuk itu didorongjauh menuju analogi, personifikasi bahkan permainan metaphor.
Kehadiran imaji berdasar keterlibatan emosional itu dalam karya Raden Surachman dan juga Arti Sugiarti merupakan titik tolak untuk membicarakan ikhwal lain yang maknanya mengarah ke luar menuju permasalahan dalam lapisan sosial masyarakat.
Sementara melalui kelenturan tarikan garis yang membentuk imaji, Dhinus Mahatva memainkan narasi yang berkembang berdasar persilangan antara kekuatan teks (tertulis) yang dilucuti maknanya dengan kekuatan visual ekspresif.
Pergumulan dan pencurahan nilai ekspresi yang ditunjukan Supriatna bertolak dari penghargaan atas nilai tradisi. Imaji yang hadir hanyalah titik tolak bagi pencurahan gagasan tentang perasaan terkait tematik yangdiusungnya.
Narasi lain yang berkelindan dengan eksplorasi imaji melalui artikulasi repetitive bisa kita saksikan melalui tawaran Agus Koecink. Keteguhan serta keyakinannya terhadap keutamaan garis, misalnya, tak hanya sebatas mengantarkannya pada kemungkinan eksporasi geometrik di sekitar imaji raut wajah atau topeng, tetapi mendorong lebih jauh pada tataran dialektika mengenai magi suatu garis.
Suatu narasi visual yang tak hanya berhenti pada bentuk primordialnya, melainkan jauh bergerakmenuju konteks lain yang lebih luas, sebagaimana ditawakran Ika Kurnia Mulyati (Ika Aik.KM).
Potensi gambaran (drawing) merupakan basis reproduksi yang memungkinkannya mengolah narasi yang mengatasi ikhwal ketekunan dan keintiman dirinyamengenai hakikat garissebagai aspekpentingpembentuk imaji.
Perkara ilusi ganda yang dilahirkan oleh bentuk dan penekanan intensitas garis yang membentuk gambaran, selain diarahkan sebagai bagian dari pembentuk narasi, menyiratkan pulaupayake arahpencarian ungkapansimbolik.
Dalam pendekatan lain, potensi ilusi ganda yang dimungkinkan oleh garis dapat pula kita saksikan melalui karya Yoppi Yohana. Berbeda dengan kecenderungan umum para surrealis yang mengarahkan potensi ilusi ganda sebagai bagian dari kejutan psikologis, Yopi lebih mendorong potensi ilusi ganda ke arah ungkapan simbolik, sebagaimana tercermin pula melalui penggandaan imaji.
Sementara itu, Bonie mendorong pergulatan tematiknya melalui eksplorasi citra digital. Proses pencarian nilai artistik yang ditempuhnya meski nampak berujung pada potensi yang mungkin dijangkau teknologi cetak di atas kain satin, tak menutup peluang bagi munculnya nilai ekspresi yang lebih bebas.
Dalam rel yang ditempuh Bonie, namun dalam kecenderungan yang lebih mengarah pada konteks inter imajerial, nampak dalam tawaran Tjutju Widjaja.
Potensi dan keutamaan simbolik kaligrafi (china) disandingkannya dengan realitas fotografis yang dimungkinkan teknologi cetak digital. Intensi ekspresi yang ditawarkannya berada dalam koridor simbolik. Tjutju Widjaja dalam banyak segi, tidak hanya sebatas mengajak kita mengingat kekuatan (kearifan) yang datang dari masa lalu, tetapi juga ajakan melampaui maknapermukaan dari kerja apropriasi. Berdasar keintiman dan penguasaannya atas medium baru, Andang Iskandar mengeksplorasi sejauh mungkin peluang ekspresi yang dikonstruksi media baru. Teknologi (digital) yang menandai denyut hidup realitas masa kini, dalam banyak segi, memungkinkannya menjangkau pula potensi artikulasi estetik yang niscaya dimiliki waktu (durasi).
Aspek simultan yang memungkinkan teralaminya makna dimensi keempat, relativitas, kecepatan, penggadaan realitasdan berbagai aspek lainnya, kini tak agi berhenti sebagai hal mustahil untukdihadirkan. Dalam koridor semacam itu, Andang Iskandar menjelajahi kemungkinan ungkapan ekspresi dari media baru. Sikap kritis atas medium dan intensi kreatif yang ditawarkannya, tentu merupakan hal penting dalam meraih makna keterjangkauan terjauh dari mediabaru.
Karya instalasi yang dikongkritkan Ahmad Nizar bertolak dari kegelisahan dirinya mengenai keniscayaan perubahan yang ditimbulkan globalisasi dan hasrat untuk kembali mempertimbangkan kekuatan dan kearifan lokal sebagai bagian penting. Perupayanglahir dan di besarkan di Plered ini meresepsi keutamaan potensi yang dimiliki tanah kelahirannya sebagai basis reproduksi karyanya.
Sentra keramik di sekitar kawasan dirinya tinggal, dalam banyak segi bagaikan Gilda terbuka, yang menjadi semacam alter ego yang kuat mempengaruhi dan mendorongnya untuk tmengeksplorasi lebih jauh potensi dari terakota.
Riset yang dijalaninya terkait kekayaan ornament Nusantara, selain mengantarkannya padapemikiran reflektif di sekitar mitologi, konsepsi filosofis ilhwal tanah, air dan udara, sekaligus menghadapkan pada tegangan lain yang membayangi, yakni ikhwal sikap dan penerimaan atas keniscayaan sang ‘lian’ yang hadir bersama gerak laju modernitas. Para perupa dalam pameran ‘elipsis’ berhadapan dengan situasi terbuka yang kurang lebih sama : kebebasan menyikapi semangat zaman (zeit geist) di tengah simpang- siurnyapenggayaan dan fragmentasi budaya.
Dalam tegangan semacam itu, dimana kecenderungan praktik, pencarian nilai ekspresi melalui fragmentasi budaya (parodi, hibridisasi dan sebagainya) kian jadi gejala umum, keteguhan sikap atas pilihan yang ditempuh masing-masing perupa tentu menjadi taruhan bermaknadalam bingkai pluralisme estetik.
Dan dalam realitas semacam itu pula, niscaya terletak harapan bahwa seni tetap punya daya.
Diyanto, kurator
Foto-foto : Andi Sopiandi