Penipu yang Jadi Pemimpin
Di sebuah negeri kecil bernama Negara Alasan, rakyatnya dikenal sebagai bangsa yang mudah terpesona oleh kata-kata indah. Mereka sangat menghormati orator ulung, meskipun sering lupa untuk memeriksa isi kepalanya.
Hiduplah seorang pria bernama Akali Saktiawan, mantan makelar tanah, calo proyek, dan pelobi kawakan. Di kalangan teman-temannya, ia dikenal sebagai Si Mulut Emas. Apa pun bisa ia jual — dari lahan tidur, janji surga, hingga mimpi-mimpi kosong.
Suatu hari, terdengar kabar bahwa Negara Alasan akan mengadakan pemilihan pemimpin baru. Akali, yang sedang duduk di warung kopi, berujar sambil terkekeh: “Hei, bukankah saatnya aku naik panggung? Bukankah rakyat lebih suka pemanis kata daripada pahitnya kenyataan?”
Teman-temannya tertawa terbahak. Namun, di balik tawa itu, Akali sudah merancang strategi. Ia menyewa tim pencitraan: Fotografer untuk memotretnya sedang menanam pohon (lalu pohonnya mati keesokan harinya). Videografer yang merekam dirinya menangis di makam pahlawan (padahal sebelumnya ia bertaruh siapa yang bisa meneteskan air mata paling cepat).
Ada Penulis bayangan yang menulis slogan bombastis: “Bersama Rakyat, Demi Masa Depan Bersih!” Kampanye pun dimulai.
Ia janji membangun rumah untuk kaum miskin (padahal tanahnya sudah di-mark-up). Ia janji pendidikan gratis (padahal kontrak seragam sekolah sudah ia bagi-bagi ke koleganya).
Ia janji menumpas korupsi (padahal ia adalah guru besar kelas koruptor).
Lucunya, rakyat bersorak. Mereka terpukau oleh gaya bicaranya yang memesona. Lawan politik yang mengungkap masa lalunya malah dicap “penyebar hoaks.”
Hari pemungutan suara tiba. Akali menang telak. Di malam pelantikan, saat berdiri di podium, ia memandang lautan manusia dan dalam hati berbisik: “Ternyata benar kata pepatah lama: di negeri di mana kejujuran langka, penipu pun bisa jadi raja.” Maka berkuasalah Akali. \
Tahun pertama ia sibuk membangun istana mewah untuk dirinya. Tahun kedua ia sibuk menyingkirkan pejabat yang tak mau menurut. Tahun ketiga rakyat mulai mengeluh. Tapi, setiap protes dibungkus dengan janji baru. Di akhir masa jabatannya, Akali tak lupa berpidato:
“Saya bangga telah memimpin dengan hati nurani, membawa negeri kita ke arah yang cerah!” Dan rakyat — seperti biasa — bertepuk tangan. Lupa lagi. Terpesona lagi.
Saat rakyat mulai bertanya, Om Akali hanya tersenyum: “Sabar, semua butuh proses. Janji itu bukan untuk ditepati, janji itu… untuk mempererat hubungan antara pemimpin dan rakyat.” Rakyat pun… tertawa lagi. Mereka memang negara paling periang sedunia, meskipun terus ditipu.
Sementara Akali sudah menyiapkan koper penuh uang dan tiket pesawat ke luar negeri. Kadang rakyat yang malas berpikir, membuka jalan bagi penipu untuk menjadi pemimpin. Nah…
Sponsor