Home AGENDA Ay Tjoe Christine: Harga Selangit, Kerapuhan Jiwa dan Lirisisme Abstrak

Ay Tjoe Christine: Harga Selangit, Kerapuhan Jiwa dan Lirisisme Abstrak

0
Ay Tjoe Christine/ @IG tumurun museum

Loading

Ay Tjoe Christine: Harga Selangit, Kerapuhan Jiwa dan Lirisisme Abstrak

Salah satu seniman perempuan Indonesia, Ay Tjoe Christine awal tahun ini membuat heboh penampang ekosistem industri seni Asia. Karya cat minyaknya tahun 2011, Lights for the Layer, Januari 2025 lalu terjual dengan harga fantastis Rp 34,7 miliar di Singapura.
Instalasi Ay Tjoe Christine, Lama Sabakhtani #03, 2010, SAM, Singapore Art Museum (istimewa)
Di saat sama, lukisan Raden Saleh sosok yang dikenal dunia mewarisi semangat awal seni lukis modern kita telah terkalahkan harganya. Karya menawannya berjuluk Javanese Landscape: View of Talagabodas dan Javanese Landscape: View of Merbabu and Merapi, 1862.
Ay Joe tak terbendung dengan menyiapkan solo show-nya kali ini bulan depan, pada 27 Juni – 22 Agustus 2025 menuju pusat industri seni dunia, New York. Ia telah lama digandeng galeri ternama global, White Cube, New York. Kita tak hendak membahas bagaimana selang dalam enam bulan usai lelang yang mengejutkan di Singapura karya-karyanya kamudian menggebrak New York pada 2025 dan 2016 lalu galeri White Cube di Bermondsey, London telah juga membuat kejutan-kejutan para kolektor dunia.
Tentu saja logika industri — yang selalu menjadi “wacana khusus” tersendiri, secara intimasi antar art dealer dan kolektor papan atas dunia serta rumah lelang–tak selalu berbanding lurus dengan elemen kesejarahan—taruhlah seperti pencapaian lukisan-lukisan Raden Saleh, yang sangat terispirasi lansekap-lansekap alam karya Eugène Delacroix. Dengan demikian, pencapaian-pencapian estetika tertentu serta institusi berwibawa semacaman museum global, taruhlah Guggenheim Museum atau MOMA (museum of modern art) yang belum memajang karya ay Tjoey tak juga menjadi parameter utama selain kesejarahan lokal dan harga selangit yang dihadirkan.
Sebab kita tahu galeri “cadas” White Cube adalah gerbang utama seniman-seniman yang memang dipilih untuk ‘menggoyang pasar dunia’. Seperti seniman konseptual Tracey Emin yang terpilih lebih awal dengan masa lalu fenomenalnya di Young British Art-nya. Atau seniman perempuan lain, seniwati berdarah Libanon yang mengeksplorasi tubuh, patung dan instalasi yang tenar itu, Mona Hatoum. Ay Tjoe berderet dengan seniman-seniman seni kontemporer
papan atas dunia tersebut di White Cube.
Lirisisme: Kerapuhan dan Spiritualitas
Satu waktu, Ay Tjoe diwawancarai sebuah media dan ia mengaku bahwa karyanya melumuri ekspresi-ekspresi di kanvas tentang kelebatan simbol-simbol tak jelas yang terang dan gelap silih berganti. Gelap dan terang adalah kepastian hidup manusia, katanya.
“Saya ingin menyiratkan pesan bahwa segelap apa pun hidup kita, selalu ada harapan di balik keputusasaan, tapi tidak dengan menyumbat emosi apalagi mengabaikannya!” imbuhnya.
Benak langsung menerawang jika galeri White Cube New York dalam situs resmi online menyebut bahwa perupa Indonesia ini pada pameran ke depan memberi tema pameran Ay Toe sebuah Kondisi Manusia. Yang diwujudkan dengan karya-karya ekspresif tentang tema-tema kejiwaan yang menyuruk tentang spiritualitas dan emosi-emosi terkuatnya.
Merespon hal diatas, perintis seni abstrak Barat dengan ciri lirisme yakni Vasilly Kandinsy, sebenarnya yang menjadi ‘oeuvre/ inti berkarya karya Ay Tjoe’ jika kita amati. Dengan berargumen bahwa seni memang tak hanya mengejar bentuk dan upaya penonjolan material. Abstrakisme versi Kandisky adalah kuasa atas ruang-ruang batin yang menjadi milik kehidupan spiritual paling privat sang seniman sebagai amunisi awal estetikanya.
Seni yang diwakilkan dalam benuk-bentuk jelas atau reperesentasional belaka tidak akan pernah mampu menyampaikan kedalaman kehidupan batin sehingga seni selayaknya berkarakter non representasional. Kehidupan batin tidak akan mampu ditangkap atau diwakili oleh representasi bentuk fisik, yang menjadi simbol dari sesuatu yang lebih besar dan mendalam, misalnya: tentang perasaan dan emosi-emosi kerapuhan dan kesia-siaan hidup.
Kandinsky juga menekankan bahwa jalan satu-satunya dalam berkarya seni dengan
membebaskan pikiran dari asosiasi dangkal dunia fisik sehari-hari dengan jalan menghidupkan emosi kehidupan batin. Dari sana, kontribusi besar Kandinsky dalam konteks lukisan Ay Tjoe adalah titik proses berkaryanya bukanlah konsep-konsep yang tertata—kerja-kerja nalar yang ketat, namun spontanitas yang mengekplorasi kebutuhan batin. Ini semacam resonansi dasar dari jiwa .
Sebagai pengakuan Ay Tjoe, tentang kerapuhan dan pertanyaan besar dalam hidupnya yang kemudian ia manifestasikan dalam karya adalah, ia mengungkap bahwa ia pernah merasa berada di titik nadir kejatuhan, merasa kalah, dan marah. Kemudian, ia bangkit kembali, dan berupaya melampaui saat sama mencoba berdamai, menerima dan ikhtiar mengubah sudut pandang memahami hidup dan tantangan-tantangan yang dihadapi. Kompleksitas kejiwaan apa
yang disebut Ay Tjoe diatas tentang kondisi “ups and down”; sebagai apa yang disebut juga oleh galeri White Cube dengan “Human Condition”.
Sejatinya, konsep spiritualitas pada seni kontemporer di sisi lain tak berupaya mengungka realitas batin sebenar-benarnya. Merujuk Donald Kuspit, kritikus seni dengan kritiknya tentang karya Kandinksy di bukunya Reconsidering the Spiritual in Art, bahwa seniman kontemporer tidak menggunakan tema ikonik atau narasi dari berbagai tradisi reliji secara jelas.
Lukisan cat minyak berjudul Lights for the Layer (2011), 200×180 cm,
karya Ay Tjoe Christine di Sotheby's Singapore (istimewa)
Setidaknya dibandingkan dengan upaya avant gardis yang berambisi menemukan kosa rupa baru dengan mengenalkan ikonografi baru, seniman-seniman kontemporer, layaknya Ay Tjoe pastinya menghargai citra-citra tradisional meski acapkali tak memberi ruang-ruang paling utama dan jelas merujuk pada makna aselinya. Ini bisa kita lihat tak jauh dari rasa mencekam dan perasaan rapuh dalam jiwa Ay Toey dengan karyanya instalasi Lama Sabakhtani #03, 2010, yang dikoleksi oleh Singapore Art Museum (SAM). Setahun kemudian, ia melukis yang sama sekali membeda dan kontras dengan lukisan “rasa binar-binar kehidupan’ dengan warna-warna terang yang kemudian kita saksikan sebagai lukisannya yang paling mahal dengan medium cat minyak di kanvas berjudul Lights for the Layer (2011), 200×180 cm. Sumringahnya karya tahun 2011 itu, rupanya Ay Tjoe sedang menunggu kehadiran putra pertamanya. Sebagai ibu, ia meluapkan kebahagiaan.
Balik ke karya instalasi yang dikoleksi SAM, yang muram nan soliter. Obyek seni itu adalah seonggok mesin ketik tua yang sendirian—sesuai dengan praktik seni posmodernis memiliki karakter ludis (menggunakan pastische, ironi, dan kegilaan), mampu mengolah dan mempermainkan ikonografi reliji secara artistik dalam ambisi memunculkan asosiasi dan manipulasi emosi.
Judul Lama Sabakhtani #03, instalasi tersebut jelas menyiratkan sebuah frasa dalam tradisi reliji Kristiani yang menyampaikan kesia-siaan hidup dan merasakan ditinggal olehNYA. Sebagai apa yang Ay Tjoe ceritakan dalam sebuah wawancara dengan jurnalis, “cara saya dalam menggunakan emosi negatif, kembali pada keyakinan saya bahwa setiap orang mempunyai sisi ‘gelap’. Meski manusia berusaha menjadi orang baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap orang bisa berpotensi memiliki perilaku yang berlawanan dengan sifat baik.”
Secara lugas, seniman-seniman kontemporer hadir dalam spektrum permainan semantik. Apa yang dilakukan bukan menautkan praktik berkaryanya mengupas tuntas transendensi, namun lebih pada mengaktivasi rangkaian refleksi atas fenomena intimasi batin dan dirinya dengan isu tentang yang sosial pun yang relijiusitas secara personal. Ay Tjoe dengan modus abstraksinya
serta karya-karya instalasi serta beragam medium dan teknik cetaknya pun dry point serta drawing-drawing abstrak-nya; memang adalah upaya untuk menyuruk kedalam hakikat dan eksistensi manusia. Seniman perempuan ini menghadirkan ruang makna emotif yang enigmatif sekaligus mendalam.
Bambang Asrini Widjanarko, kerani seni
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here